UAN DALAM BINGKAI KEPENTINGAN TERSELUBUNG
TERLEPAS dari maksud baik apapun, dampak negatif pemberlakuan Ujian Akhir Nasional (UAN) tak terelakkan. Tindak kekerasan (perusakan sekolah) dan meneguk minuman keras termasuk reaksi atas ketidaklulusan menempuh UAN . Selain itu, metode "penilaian" hasil ujian siswa pelulusan, penguntungan dan perugian siswa perlu dipertanyakan.
Ketajaman intelektual mendapat sorotan istimewa dalam dunia pendidikan formal. Terkesan, keunggulan (arĂȘte, virtue) kepribadian seorang anak didik ditakar berdasarkan relativitas angka yang umumnya telah direkayasa. Secara tak langsung, dari satu sisi, sistem ini lebih menghargai pribadi anak-anak berintelektualitas tinggi daripada anak-anak berintelektualitas sedang dan rendah. Ini termasuk berita diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.
Demi perbaikan dunia pendidikan, sistem (penilaian) UAN perlu lebih dicermati. Pertama, model soal multiple choice acapkali membingungkan dan model ini dari satu sisi mengajar anak didik untuk berspekulasi dan mereka-reka dalam hidup. Kedua, metode konversi (jelmaan dari sistem "katrol-katrolan") perlu ditinjau ulang, sebab metode ini membuka peluang luas untuk mempermainkan (baca: menyulap) hasil keringat dan perasan otak siswa. Bukan mustahil, kesempatan berpolitik uang akan bertumbuh subur dalam dunia pendidikan formal. Ketiga, anak didik tidak dihadapkan dengan realitas hidup dan hasil perjuangannya sendiri, namun anak-anak didik diperkenalkan dengan budaya rekayasa.
Sistem penilaian UAN pada dasarnya mendidik anak-anak kita untuk mengubah sesuatu tanpa memperhatikan hak pihak lain. Merugikan pihak lain tanpa landasan yang adil. Suatu keberhasilan semu diperoleh tidak melalui proses normal, melainkan melalui sistem spekulatif yang berciri untung-untungan. Ketidakadilan muncul dalam dunia pendidikan formal karena siswa yang berhak menerima nilai semestinya merasa dirugikan oleh sistem.
Sementara itu, terdapat sejumlah siswa diuntungkan oleh sistem ini. Anak didik tidak diajar untuk menghargai hak orang lain sebagaimana mestinya. Biarkan anak didik sendiri yang menentukan hasil keringat mereka tanpa manipulasi yang merugikan dan menguntungkan. Apakah pencapaian 5,5 ( atau berapapun itu )dengan sendirinya telah menjamin kualitas anak didik dalam dunia pendidikan?
pak artikel keren
BalasHapuskunjungan balik ya pak