Pelatihan Kepala Sekolah |
Berdasarkan
Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tugas guru
pada lembaga pendidikan formal adalah mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik
berarti melanjutkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan, mengajar artinya
melanjutkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang ada pada siswa. Namun dalam melaksankan tugasnya
sebagai pendidik, pengajar dan pelatih, guru bekerjasama dengan orang tua sebagai
pendidik informal dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal.
Untuk mengemban tugas dan tanggung
jawabnya, guru harus memiliki budaya kerja yang meliputi jiwa kepemimpinan sebagai pengendali dan mengatur serta menentukan
arah aktivitas kependidikannya. Memelihara istiqamah (keteguhan pendirian),
tepat janji dan disiplin waktu.
Memperhitungkan dan merencanakan
kerja secara matang. Menghargai waktu, tidak pernah merasa puas dalam
berbuat kebaikan, berhemat dan efisien waktu, ulet dan pantang menyerah, serta
berorientasi pada produktivitas. Selain itu guru juga harus memiliki kinerja
yang baik sehingga dapat melakukan kegiatan pembelajaran sesuai
dengan tanggung jawab dan sesuai dengan hasil seperti yang diharapkan.
Agar peningkatan mutu pendidikan
dapat berhasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tilaar: “Peningkatan kualitas
pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya”.[1]
Untuk menjadikan guru yang memiliki budaya kerja dan kinerja yang tinggi,
diperlukan adanya supervisi kepala madrasah sebagai pembinaan secara
berkesinambungan. sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan secara terus
menerus dan berkesinambungan, sehingga dapat menjadikan guru sebagai tenaga
kerja yang diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru bukan
semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional.
Memandang guru sebagai tenaga kerja
profesional maka usaha-usaha untuk membuat mereka menjadi profesional tidak
semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran,
pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi namun perlu juga
memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian
motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang
layak sesuai dengan profesionalitasnya, sehingga memungkinkan guru bekerja
dengan baik.
Penemuan berbagai studi menunjukkan bahwa budaya
kerja dan kinerja guru merupakan faktor yang konsisten dan kuat dalam menentukan mutu
pendidikan. Guru yang memiliki budaya kerja dan kinerja yang baik secara
otomatis berkualitas dan mampu membelajarkan siswa secara aktif dan efektif
sesuai dengan keadaan sumber daya dan lingkungannya dan mampu melahirkan
lulusan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan penyelenggara. Untuk itu maka pembinaan
budaya kerja dan kinerja guru melalui supervisi yang dilaksanakan kepala
madrasah untuk peningkatan kualitas guru perlu direalisasikan.
Pentingnya menaikkan mutu pendidikan melalui
berbagai upaya (termasuk supervisi kepala madrasah) sebenarnya sudah
dicanangkan pemerintah. Anggaran biaya pendidikan nasional dialokasikan 20%
dari RAPBN 2003 yang bertambah menjadi Rp 465,7 trilyun. Namun hal itu belum
sepenuhnya terlaksana karena di dalam pembangunan pendidikan nasional, ternyata
memberikan prioritas lebih kepada aspek kuantitasnya. Rencana yang luhur ini
belum disertai dengan usaha-usaha yang konkrit untuk meningkatkan mutu guru
yang optimal.
Menurut hasil penelitian bahwa jumlah guru yang
berpendidikan sarjana (S1) juga cenderung lebih banyak pada sekolah yang besar
di perkotaan seperti di SLTP/MTs dan SMU/Aliyah. Hal ini tidak hanya disebabkan
rendahnya kesadaran dan motivasi guru-guru tersebut untuk bertugas di daerah
(luar kota ),
juga disebabkan kurang bijaksananya pemerintah dalam mengalokasikan tenaga guru
sarjana yang merata sesuai kebutuhan dan demi peningkatan pendidikan di daerah.
Pada bagian lain, jumlah guru yang mengikuti penataran/pelatihan tersebut tidak
mempunyai pola yang jelas. Artinya tidak tampak di sini bahwa di lembaga
pendidikan yang besar telah memberikan kesempatan bagi sejumlah guru untuk
mengikuti penataran/pelatihan.[2]
Di sisi lain masalah
tenaga pendidikan di madrasah hingga sekarang sebenarnya juga masih kurang
menggembirakan, yaitu masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan
bidangnya dan under qualified. Hingga
saat ini secara keseluruhan guru yang mengajar di madrasah sebanyak 254.383
orang guru (66,55%) adalah memiliki spesialisasi pendidikan agama, sementara
128.421 orang (33,5%) adalah memiliki spesialisasi pendidikan umum. Jumlah guru
yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya jauh lebih besar dialami oleh MI
dan MTs dan terakhir MA. Adapun secara
rinci guru yang mengajar di MI dan MTs sebanyak 102.342 (63,5%) memiliki latar
belakang pendidikan SLTA-D1, 58.903 (36,5%) memiliki latar belakang pendidikan
D2-S1, dan guru yang mengajar di MA sebanyak 16.752 (29,3%) memiliki latar
belakang pendidikan SLTA-D3 dan 40.492 (70,7%) memiliki latar belakang
pendidikan S1. Total guru yang mengajar di madrasah (Negeri dan Swasta) yang
kurang memadai berjumlah 179.329 (46,8%).[3]
Menyikapi kondisi di atas
maka usaha peningkatan kemampuan guru dalam mengajar harus banyak dilakukan
pemerintah seperti melalui pendidikan, penataran dan sejenisnya. Dalam hal ini
Departemen Agama RI telah melakukan usaha peningkatan mutu
guru-guru. Untuk guru-guru yang bertugas di Madrasah Ibtidaiyah atau guru agama
yang bertugas di Sekolah Dasar dilaksanakan program penyetaraan D2. Untuk
guru-guru yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah atau guru agama yang mengajar di
SMP diberikan pendidikan program penyetaraan D3. Untuk guru-guru yang bertugas
di Madrasah Aliyah diberikan pendidikan Guru Bina Tingkat Magister (S2),
pendidikan matrikulasi bidang studi non gelar dan program penyetaraan lainnya.
Di samping upaya di atas,
pemerintah juga melakukan upaya lainnya yaitu dengan menjadikan jabatan guru
sebagai jabatan fungsional dengan sistem kepangkatan yang mensyaratkan kredit
poin. Dengan sistem kredit poin ini diharapkan akan memberikan motivasi yang
tinggi bagi guru agar lebih kreatif meningkatkan kemampuan profesionalnya
melalui budaya kerja dan kinerjanya secara optimal. Kinerja seseorang biasanya
ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi; sikap, minat, intelegensi, motivasi, pengetahuan dan
kepribadian. Faktor eksternal meliputi; sarana dan prasarana, insentif atau
gaji, suasana kerja dan lingkungan.[4]
Masih berkaitan dengan
peningkatan kemampuan guru madrasah untuk memacu peningkatan budaya kerja dan kinerjanya
yang lebih baik, maka perlu dilakukan pemberian pembinaan melalui supervisi
oleh kepala madrasah dan peningkatan motivasi guru serta pengalaman
pendidikannya.
Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) di Kota Medan ,
melakukan proses pembelajaran sesuai dengan sistem pendidikan nasional,
persoalan yang muncul adalah budaya kerja dan kinerja guru. Supervisi kepala madrasah merupakan salah satu
tugas kepala madrasah dalam membina guru melalui fungsi pengawasan. Pengawasan
yang dilakukan oleh kepala madrasah pada intinya yaitu melakukan pembinaan,
bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk masalah yang dihadapi
guru secara bersama dan bukan mencari kesalahan guru.
Guru yang mempunyai persepsi yang
baik terhadap supervisi kepala madrasah maka guru akan memiliki budaya kerja
yang baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah perbaikan
dalam kerja mendidik, mengajar, memfasilitasi dan membimbing siswa. Begitu
sebaliknya jika saran dan nasehat dari supervisor (pengawas) diabaikan oleh
guru maka bisa berdampak pada kegiatan mengajarnya yang kurang baik.
Supervisi kepala madrasah merupakan upaya pembinaan secara struktural untuk perbaikan dan
peningkatan kualitas guru, termasuk budaya kerja dan kinerja guru. Guru menjadi
seorang pendidik yang berbudaya dan berkinerja karena adanya pembinaan melalui supervisi kepala madrasah. Bila supervisi kepala madrasah tidak dilaksanakan dengan
baik maka tidak diketahui dengan jelas budaya kerja dan kinerja guru, sehingga
guru tidak akan berhasil untuk mendidik/mengajar atau mengajar dengan tidak
terorganisir. Keberhasilan guru dalam mengajar sebagai pertanda apa yang telah
dilakukan oleh guru itu telah sesuai dengan rambu-rambu pembelajaran.
[1]H. A. R.,Tilaar,
Beberapa Agenda Refomasi Pendidikan Nasional Dalam Persepektif Abad 21 (Magelang:
Tera Indonesia, 1999), h. 104.
[2]Balitbang Depdiknas, Laporan Studi Biaya Pendidikan di SMP dan
SMU,http://www.Balitbang Depdiknas. GO ID. Akses Tanggal 5 Juni 2004. h. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar