Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

kontribusi supervisi kepala madrasah terhadap budaya kerja dan kinerja guru MAN se-Kota Medan

Pelatihan Kepala Sekolah
Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tugas guru pada lembaga pendidikan formal adalah mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti melanjutkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan, mengajar artinya melanjutkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan yang ada pada siswa. Namun dalam melaksankan tugasnya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih, guru bekerjasama dengan orang tua sebagai pendidik informal dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan nonformal.
Untuk mengemban tugas dan tanggung jawabnya, guru harus memiliki budaya kerja yang meliputi jiwa kepemimpinan sebagai pengendali dan mengatur serta menentukan arah aktivitas kependidikannya. Memelihara istiqamah (keteguhan pendirian), tepat janji dan disiplin waktu.
Memperhitungkan dan merencanakan kerja secara matang. Menghargai waktu, tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan, berhemat dan efisien waktu, ulet dan pantang menyerah, serta berorientasi pada produktivitas. Selain itu guru juga harus memiliki kinerja yang baik sehingga dapat melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan tanggung jawab dan sesuai dengan hasil seperti yang diharapkan.
Agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tilaar: “Peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya”.[1] Untuk menjadikan guru yang memiliki budaya kerja dan kinerja yang tinggi, diperlukan adanya supervisi kepala madrasah sebagai pembinaan secara berkesinambungan. sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga dapat menjadikan guru sebagai tenaga kerja yang diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru bukan semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional.
Memandang guru sebagai tenaga kerja profesional maka usaha-usaha untuk membuat mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak sesuai dengan profesionalitasnya, sehingga memungkinkan guru bekerja dengan baik.
Penemuan berbagai studi menunjukkan bahwa budaya kerja dan kinerja guru merupakan faktor yang konsisten dan kuat dalam menentukan mutu pendidikan. Guru yang memiliki budaya kerja dan kinerja yang baik secara otomatis berkualitas dan mampu membelajarkan siswa secara aktif dan efektif sesuai dengan keadaan sumber daya dan lingkungannya dan mampu melahirkan lulusan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan penyelenggara. Untuk itu maka pembinaan budaya kerja dan kinerja guru melalui supervisi yang dilaksanakan kepala madrasah untuk peningkatan kualitas guru perlu direalisasikan.
Pentingnya menaikkan mutu pendidikan melalui berbagai upaya (termasuk supervisi kepala madrasah) sebenarnya sudah dicanangkan pemerintah. Anggaran biaya pendidikan nasional dialokasikan 20% dari RAPBN 2003 yang bertambah menjadi Rp 465,7 trilyun. Namun hal itu belum sepenuhnya terlaksana karena di dalam pembangunan pendidikan nasional, ternyata memberikan prioritas lebih kepada aspek kuantitasnya. Rencana yang luhur ini belum disertai dengan usaha-usaha yang konkrit untuk meningkatkan mutu guru yang optimal.
Menurut hasil penelitian bahwa jumlah guru yang berpendidikan sarjana (S1) juga cenderung lebih banyak pada sekolah yang besar di perkotaan seperti di SLTP/MTs dan SMU/Aliyah. Hal ini tidak hanya disebabkan rendahnya kesadaran dan motivasi guru-guru tersebut untuk bertugas di daerah (luar kota), juga disebabkan kurang bijaksananya pemerintah dalam mengalokasikan tenaga guru sarjana yang merata sesuai kebutuhan dan demi peningkatan pendidikan di daerah. Pada bagian lain, jumlah guru yang mengikuti penataran/pelatihan tersebut tidak mempunyai pola yang jelas. Artinya tidak tampak di sini bahwa di lembaga pendidikan yang besar telah memberikan kesempatan bagi sejumlah guru untuk mengikuti penataran/pelatihan.[2]
Di sisi lain masalah tenaga pendidikan di madrasah hingga sekarang sebenarnya juga masih kurang menggembirakan, yaitu masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya dan under qualified. Hingga saat ini secara keseluruhan guru yang mengajar di madrasah sebanyak 254.383 orang guru (66,55%) adalah memiliki spesialisasi pendidikan agama, sementara 128.421 orang (33,5%) adalah memiliki spesialisasi pendidikan umum. Jumlah guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya jauh lebih besar dialami oleh MI dan MTs dan terakhir MA. Adapun  secara rinci guru yang mengajar di MI dan MTs sebanyak 102.342 (63,5%) memiliki latar belakang pendidikan SLTA-D1, 58.903 (36,5%) memiliki latar belakang pendidikan D2-S1, dan guru yang mengajar di MA sebanyak 16.752 (29,3%) memiliki latar belakang pendidikan SLTA-D3 dan 40.492 (70,7%) memiliki latar belakang pendidikan S1. Total guru yang mengajar di madrasah (Negeri dan Swasta) yang kurang memadai berjumlah 179.329 (46,8%).[3]
Menyikapi kondisi di atas maka usaha peningkatan kemampuan guru dalam mengajar harus banyak dilakukan pemerintah seperti melalui pendidikan, penataran dan sejenisnya. Dalam hal ini Departemen Agama RI telah melakukan usaha peningkatan mutu guru-guru. Untuk guru-guru yang bertugas di Madrasah Ibtidaiyah atau guru agama yang bertugas di Sekolah Dasar dilaksanakan program penyetaraan D2. Untuk guru-guru yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah atau guru agama yang mengajar di SMP diberikan pendidikan program penyetaraan D3. Untuk guru-guru yang bertugas di Madrasah Aliyah diberikan pendidikan Guru Bina Tingkat Magister (S2), pendidikan matrikulasi bidang studi non gelar dan program penyetaraan lainnya.
Di samping upaya di atas, pemerintah juga melakukan upaya lainnya yaitu dengan menjadikan jabatan guru sebagai jabatan fungsional dengan sistem kepangkatan yang mensyaratkan kredit poin. Dengan sistem kredit poin ini diharapkan akan memberikan motivasi yang tinggi bagi guru agar lebih kreatif meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui budaya kerja dan kinerjanya secara optimal. Kinerja seseorang biasanya ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi; sikap, minat, intelegensi, motivasi, pengetahuan dan kepribadian. Faktor eksternal meliputi; sarana dan prasarana, insentif atau gaji, suasana kerja dan lingkungan.[4]
Masih berkaitan dengan peningkatan kemampuan guru madrasah untuk memacu peningkatan budaya kerja dan kinerjanya yang lebih baik, maka perlu dilakukan pemberian pembinaan melalui supervisi oleh kepala madrasah dan peningkatan motivasi guru serta pengalaman pendidikannya.
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Kota Medan, melakukan proses pembelajaran sesuai dengan sistem pendidikan nasional, persoalan yang muncul adalah budaya kerja dan kinerja guru. Supervisi kepala madrasah merupakan salah satu tugas kepala madrasah dalam membina guru melalui fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala madrasah pada intinya yaitu melakukan pembinaan, bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk masalah yang dihadapi guru secara bersama dan bukan mencari kesalahan guru.
Guru yang mempunyai persepsi yang baik terhadap supervisi kepala madrasah maka guru akan memiliki budaya kerja yang baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah perbaikan dalam kerja mendidik, mengajar, memfasilitasi dan membimbing siswa. Begitu sebaliknya jika saran dan nasehat dari supervisor (pengawas) diabaikan oleh guru maka bisa berdampak pada kegiatan mengajarnya yang kurang baik.
Supervisi kepala madrasah merupakan upaya pembinaan secara struktural untuk perbaikan dan peningkatan kualitas guru, termasuk budaya kerja dan kinerja guru. Guru menjadi seorang pendidik yang berbudaya dan berkinerja karena adanya pembinaan melalui supervisi kepala madrasah. Bila supervisi kepala madrasah tidak dilaksanakan dengan baik maka tidak diketahui dengan jelas budaya kerja dan kinerja guru, sehingga guru tidak akan berhasil untuk mendidik/mengajar atau mengajar dengan tidak terorganisir. Keberhasilan guru dalam mengajar sebagai pertanda apa yang telah dilakukan oleh guru itu telah sesuai dengan rambu-rambu pembelajaran.



[1]H. A. R.,Tilaar, Beberapa Agenda Refomasi Pendidikan Nasional Dalam Persepektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia, 1999), h. 104.
[2]Balitbang Depdiknas, Laporan Studi Biaya Pendidikan di SMP dan SMU,http://www.Balitbang Depdiknas. GO ID. Akses Tanggal 5 Juni 2004. h. 3.
    [3] Depdiknas; Laporan…h. 20.
    [4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar