A. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam
pandangan Islam, segala sesuatu yang dilaksanakan, tentulah memiliki dasar
hukum baik itu yang berasal dari dasar naqliyah
maupun dasar aqliyah. Begitu juga
halnya dengan pelaksanakan pendidikan pada anak usia dini. Berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan anak usia dini, dapat dibaca firman Allah berikut ini:
Artinya:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur". (An Nahl: 78)
Berdasarkan
ayat tersebut di atas, dipahami bahwa anak lahir dalam keadaan lemah tak
berdaya dan tidak mengetahui (tidak memiliki pengetahuan) apapun. Akan tetapi
Allah membekali anak yang baru lahir
tersebut dengan pendengaran, penglihatan dan hati nurani (yakni akal yang menurut pendapat yang sahih pusatnya berada di hati). Menurut pendapat yang lain adalah
otak. Dengan itu manusia dapat membedakan di antara segala sesuatu, mana yang
bermanfaat dan mana yang berbahaya. Kemampuan dan indera ini diperoleh
seseorang secara bertahap, yakni sedikit demi sedikit. Semakin besar seseorang
maka bertambah pula kemampuan pendengaran, penglihatan, dan akalnya hingga
sampailah ia pada usia matang dan dewasanya.[1] Dengan
bekal pendengaran, penglihatan dan hati nurani (akal) itu, anak pada
perkembangan selanjutnya akan memperoleh pengaruh sekaligus berbagai didikan
dari lingkungan sekitarnya. Hal ini pula yang sejalan dengan sabda Rasul
berikut ini:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ [2]
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama
Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”.(HR. Bukhari, Abu Daud, Ahmad)
Meskipun
anak lahir dalam keadaan lemah tak berdaya serta tidak mengetahui apa-apa,
tetapi ia lahir dalam keadaan fitrah, yakni suci dan bersih dari segala macam
keburukan. Karenanya untuk memelihara sekaligus mengembangkan fitrah yang ada
pada anak, orang tua berkewajiban memberikan didikan positif kepada anak sejak
usia dini atau bahkan sejak lahir yang diawali dengan mengazankannya. Hal ini
dikarenakan pada prinsipnya fitrah manusia menuntut pembebasan dari kemusyrikan
dan akibat-akibatnya yang dapat menyeret manusia kepada penyimpangan watak dan
penyelewengan serta kesesatan di dalam berfikir, berencana dan beraktivitas.
Bagi manusia kepala merupakan pusat penyimpanan informasi alat indera yang
mengatur semua eksistensi dirinya, baik psikologis maupun biologis. Indera
pendengaran, penglihatan, penciuman dan indera perasaan diatur oleh kepala.
Tatkala azan berikut kalimah yang dikandungnya, yaitu kalimah Takbir dan
kalimah Tauhid, meyentuh pendengaran si bayi, maka kalimah azan tersebut ibarat
tetesan air jernih yang berkilauan ke dalam telinganya, sesuai dengan fitrah
dirinya. Pada waktu itu si bayi belum dapat merasakan apa-apa, hanya
kesadarannya dapat merekam nada-nada dan bunyi-bunyi kalimah azan yang
diperdengarkan kepadanya. Kalimah terebut dapat mencegah jiwanya dari
kecenderungan kemusyrikan serta dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan.
Demikian pula kalimah azan seolah-olah melatih pendengaran manusia (dalam hal
ini anak bayi/usia dini) agar terbiasa mendegarkan panggilan nama yang baik,
sehingga hal ini menuntut para orang tua untuk memberi (menamai) anaknya dengan
nama yang baik serta memiliki makna yang baik pula. Hal ini sejalan dengan
sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْوَرَّاقُ الْبَصْرِيُّ
حَدَّثَنَا مُعَمَّرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ
الْمَكِّيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ “أَحَبُّ
الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ” قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ[3]
Artinya: “Nama yang paling disukai Allah
adalah Abdullah dan Abdurrahman”.(HR. At-Tirmizi)
Nama
yang indah sesungguhnya tidak hanya sekedar nama atau panggilan, tetapi
sesungguhnya merupakan cerminan tentang adanya pujian atau do'a, harapan atau
gambaran semangat dan dambaan indah kepada anak-anaknya.
Dalam
mendukung perkembangan anak pada usia-usia selanjutnya, termasuk pada usia
dini, yang menjadi kewajiban orang tua adalah memberikan didikan positif
terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tersebut tidak menjadi/mengikut
ajaran Yahudi, Nasrani atau Majusi, melainkan menjadi muslim yang sejati.
Mendidik anak dalam pandangan Islam, merupakan pekerjaan mulia yang harus
dilaksanakan oleh setiap orang tua, hal ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَعْلَى عَنْ نَاصِحٍ عَنْ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ خَيْرٌ مِنْ أَنْ
يَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ [4]
"Seseorang yang mendidik anaknya adalah lebih
baik daripada ia bersedekah dengan satu sha'(R. Tirmidzi)
Dalam
pandangan Islam anak merupakan amanah di tangan kedua orang tuanya. Hatinya
yang bersih merupakan permata yang berharga, lugu dan bebas dari segala macam
ukiran dan gambaran. Ukiran berupa didikan yang baik akan tumbuh subur pada
diri anak, sehingga ia akan berkembang dengan baik dan sesuai ajaran Islam, dan
pada akhirnya akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jika anak sejak dini dibisakan dan dididik
dengan hal-hal yang baik dan diajarkan kebaikan kepadanya, ia akan tumbuh dan
berkembang dengan baik dan akan memperoleh kebahagiaan serta terhindar dari
kesengaraan/siksa baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Hal ini
senada dengan firman Allah:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.(At Tahrim: 6)
Terhadap ayat ini Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan,
bahwa ayat ini menganjurkan kepada setiap individu muslim bertakwa kepada Allah
dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah. Ibnu Kasir
menjelaskan bahwa Qatada mengatakan bahwa engkau perintahkan mereka untuk taat
kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadapNya, dan
hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan
mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya.
Jika engkau melihat di kalangan keluargamu suatu perbuatan maksiat kepada
Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka
melakukannya. Hal yang sama juga dikemukakan Ad-Dahlak dan Muqatil, bahwa sudah
merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya,
baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya, hal-hal yang difardukan
oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang
harus mereka jauhi.[5]
Berdasarkan
ayat tersebut, dipahami bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara
diri dan keluarga (anak-anaknya) dari siksaan api neraka. Cara yang dapat
dilakukan oleh orang tua ialah mendidiknya, membimbingnya dan mengajari
akhlak-akhlak yang baik. Kemudian orang tua harus menjaganya dari pergaulan
yang buruk, dan jangan membiasakannya berfoya-foya, jangan pula orang tua
menanamkan rasa senang bersolek dan hidup dengan sarana-sarana kemewahan pada
diri anak, sebab kelak anak akan menyia-nyiakan umurnya hanya untuk mencari
kemewahan jika ia tumbuh menjadi dewasa, sehingga ia akan binasa untuk selamanya.
Akan tetapi seharusnya orang tua sejak dini mulai mengawasi pertumbuhannya
dengan cermat dan bijaksana sesuai dengan tuntutan pendidikan Islam.[6]
Dari
uraian di atas kiranya dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan anak usia dini
dalam pandangan Islam adalah memelihara, membantu pertumbuhan dan perkembangan
fitrah manusia yang dimiliki anak, sehingga jiwa anak yang lahir dalam kondisi
fitrah tidak terkotori oleh kehidupan duniawi yang dapat menjadikan anak
sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Atau dengan kata lain bahwa pendidikan
anak usia dini dalam pendidikan Islam
bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai keislaman kepada anak sejak dini,
sehinga dalam perkembangan selanjutnya anak menjadi manusia muslim yang kāffah,
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hidupnya terhindar dari
kemaksiatan, dan dihiasi dengan ketaatan dan kepatuhan serta oleh amal soleh
yang tiada hentinya. Kondisi seperti inilah yang dikehendaki oleh pendidikan
Islam, sehingga kelak akan mengantarkan peserta didik pada kehidupan yang
bahagia di dunia maupun di akhirat.
B. Kurikulum dan Materi Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif
Pendidikan Islam
a.
Pendidikan akidah, hal ini diberikan karena
Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar, terlebih
lagi bagi kehidupan anak, sehingga dasar-dasar akidah harus terus-menerus
ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan pertumbuhannya
senantiasa dilandasi oleh akidah yang benar.
b.
Pendidikan ibadah, hal ini juga penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Karenanya tata peribadatan
menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqih
Islam hendaklah diperkenalkan sedini mungkin dan dibiasakan dalam diri anak
sejak usia dini. Hal ini dilakukan agar kelak mereka tumbuh menjadi insan yang
benar-benar takwa, yakni insan yang taat melaksanakan segala perintah agama dan
taat pula dalam menjauhi segala larangannya.
c.
Pendidikan akhlak, dalam rangka mendidik akhlak
kepada anak-anak, selain harus diberikan keteladanan yang tepat, juga harus
ditunjukkan tentang bagaimana menghormati dan bertata krama dengan orang tua,
guru, saudara (kakak dan adiknya) serta bersopan santun dalam bergaul dengan
sesama manusia. Alangkah bijaksananya jika para orangtua atau orang dewasa
lainnya telah memulai dan menanamkan pendidikan akhlak kepada anak-anaknya
sejak usia dini, apa lagi jika dilaksanakan secara terprogram dan rutin.[8]
Dalam
rangka mengoptimalkan perkembangan anak dan memenuhi karakteristik anak yang
merupakan individu unik, yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang
berbeda, maka perlu dilakukan usaha yaitu dengan memberikan
rangsangan-rangsangan, dorongan-dorongan, dan dukungan kepada anak. Agar para
pendidik dapat melakukan dengan optimal maka perlu disiapkan suatu kurikulum
yang sistematis. Selain pembentukan sikap dan perilaku yang baik, anak juga
memerlukan kemampuan intelektual agar anak siap menghadapi tuntutan masa kini
dan masa datang. Sehubungan dengan itu maka program pendidikan dapat mencakup
bidang pembentukan sikap dan pengembangan kemampuan dasar yang keseluruhannya
berguna untuk mewujudkan manusia sempurna yang mampu berdiri sendiri,
bertanggung jawab dan mempunyai bekal untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
Karenanya kurikulum untuk anak usia dini sebaiknya memperhatikan beberapa
prinsip. Pertama, berpusat pada anak, artinya anak merupakan sasaran
dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik. Kedua,
mendorong perkembangan fisik, daya pikir, daya cipta, sosial emosional, bahasa
dan komunikasi sebagai dasar pembentukan pribadi manusia yangh utuh. Ketiga,
memperhatikan perbedaan anak, baik perbedaan keadaan jasmani, rohani,
kecerdasan dan tingkat perkembangannya. Pengembangan program harus
memperhatikan kesesuaian dengan tingkat perkembangan anak (Developmentally
Appropriate Program).[9]
Acuan
menu pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini telah mengembangkan program
kegiatan belajar anak usia dini. Program tersebut dikelompokkan dalam enam
kelompok usia, yaitu lahir – 1 tahun, 1 – 2 tahun, 2 – 3 tahun, 3 – 4 tahun, 5
– 6 tahun dan 5 – 6 tahun. Masing-masing kelompok usia dibagi dalam enam aspek
perkembangan yaitu: perkembangan moral dan nilai-nilai agama, perkembangan
fisik, perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan sosial
emosional, dan perkembangan seni dan kreativitas.[10]
Masing-masing
aspek perkembangan tersebut dijabarkan dalam kompetensi dasar, hasil belajar
dan indikator. Indikator-indikator kemampuan yang diarahkan pada pencapaian
hasil belajar pada masing-masing aspek pengembangan, disusun berdasarkan
sembilan kemampuan belajar anak usia dini. Kecerdasan linguistic (linguistc intelligence) yang dapat berkembang
bila dirancang melalui berbicara, mendengarkan, membaca, menulis, berdiskusi,
dan bercerita. Kecerdasan logika-matematika (logico-mathematical
intelligence) yang dapat dirangsang melalui kegiatan menghitung membedakan
bentuk, menganalisis data, dan bermain dengan benda-benda. Kecerdasan
visual-spasial (visual-spatial intelligence) yaitu kemampuan ruang yang dapat dirangsang
melalui kegiatan bermain balok-balok dan bentuk-bentuk geometri melengkapi puzzle,
menggambar, melukis, menonton film maupun bermain dengan daya khayal
(imajinasi). Kecerdasan musikal (musical intelligence) yang dapat
dirangsang melalui irama, nada, berbagai bunyi, dan tepuk tangan. Kecerdasan
kinestik (kinesthetic intelligence) yang dirangsang melalui
kegiatan-kegiatan seperti melakukan gerakan yang teratur, tarian, olahraga, dan
terutama gerakan tubuh. Kecerdasan naturalis (naturalist intelligence)
yaitu mencintai keindahan dan alam. Kecerdasan ini dapat dirangsang melalui
pengamatan lingkungan, bercocok tanam, memelihara binatang, termasuk mengamati
fenomena alam seperti hujan, angin, banjir, pelangi, siang malam, panas dingin,
bulan dan matahari. Kecerdasan antarpersonal (interpersonal intelligence)
yaitu kemampuan untuk melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat
dirangsang melalui bermain bersama teman, bekerjasama, bermain peran, dan
memecahkan masalah, serta menyelesaikan konflik. Kecerdasan interpersonal, yaitu
kemampuan memahami diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan
konsep diri, harga diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol
diri dan disiplin. Kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yakni
kemampuan mengenal dan mencintai ciptaan Tuhan. Kecerdasan ini dapat dirangsang
melalui kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada penanaman nilai-nilai moral dan
agama. Kecerdasan-kecerdasan tersebut merupakan dasar bagi perumusan
kompetensi, hasil belajar dan kurikulum pembelajaran pada anak usia dini.[11]
Sesuai
dengan dasar, tujuan dan kompetensi pendidikan anak usia dini, maka ada
beberapa materi pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak di usia dini. Dalam
konsep Islam, secara umum materi yang harus diajarkan kepada anak usia dini,
sama dengan materi dasar ajaran Islam yang terdiri dari bidang aqidah, ibadah,
dan akhlak. Dalam pembelajaran terhadap anak usia dini, tentu saja uraian
materi yang diberikan tidaklah sama dengan yang diberikan kepada orang dewasa,
meskipun masih berada dalam lingkup akidah, ibadah dan akhlak.
Pada
bidang aqidah, meskipun anak usia dini belum layak untuk diajak berpikir
tentang hakikat Tuhan, malaikat, nabi (rasul), kitab suci, hari akhir, dan qadha
dan qadar, tetapi anak usia dini sudah dapat diberi pendidikan awal
tentang aqidah (rukun Iman). Pendidikan awal tentang aqidah, bisa saja diberikan materi yang berupa mengenal nama-nama Allah
dan ciptaan-Nya yang ada di sekitar kehidupan anak, nama-nama malaikat, kisah-kisah
Nabi dan Rasul, dan materi dasar lainnya yang berkaitan dengan aqidah
(rukun Iman). Di antara yang dapat dilakukan dalam memberi pendidikan aqidah
kepada anak ialah dengan cara mengazankan anak yang baru lahir, sebagaimana
diperintahkan rasul dalam sabdanya:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ
عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ[12]
Artinya:
Dari Abu Rafi’, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW ażan sebagaimana ażan
şalat, di telinga Husain bin Ali ketika Fathimah melahirkannya”(R. at-Tirmiżi)
Ibnu Qayyim seperti dikutip oleh Al Mun’im Ibrahim,
menyebutkan bahwa rahasia azan adalah agar awal yang didengar bagi seorang yang
baru dilahirkan adalah azan yang mengandung keagungan dan keluhuran Tuhan.
Sebagaimana kalimat syahadat bagi orang yang baru masuk Islam. Praktik tersebut
merupakan pengenalan terhadap syi’ar Islam di dunia ini[13].
Selain itu azan juga dimaksudkan agar suara yang pertama-tama didengar oleh
bayi adalah kalimat-kalimat yang berisi kebesaran dan keagungan Allah serta
syahadat yang pertama-tama memasukkannya ke dalam Islam. Azan juga merupakan
seruan menuju Allah, menuju agama Islam dan menuju peribadahan kepadaNya yang
mendahului ajakan-ajakan lainnya.[14]
Tatkala azan berikut kalimat yang dikandungnya, yaitu kalimat takbir dan
kalimat tauhid, menyentuh pendengaran bayi, maka kalimat azan tersebut ibarat
tetesan air jernih yang berkilauan ke dalam telinganya, sesuai dengan fitrah
dirinya. Pada waktu itu bayi belum dapat merasakan apa-apa, hanya kesadarannya
dapat merekam nada-nada dan bunyi-bunyi kalimat azan yang diperdengarkan
kepadanya. Kalimat tersebut dapat mencegah jiwa dari kecenderungan kemusyrikan,
serta dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan. Demikian pula kalimat azan
melatih pendengaran manusia balita agar terbiasa mendengarkan panggilan nama
yang baik beserta pengertian makna dan pengaruh yang terkandung di dalamnya.[15]
Dalam ajaran Islam,
membaca al-Qur´an dinilai juga sebagai ibadah, karenanya dalam sebuah hadisnya
Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا
حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ
مَرْثَدٍ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
السُّلَمِيِّ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ
وَعَلَّمَهُ [16]
Artinya: Sebaik-baik kamu
ialah orang yang mempelajari al-Qur´an dan mengajarkannya kepada orang lain.
(HR. at-Tirmiżi)
Setiap orang tua harus
menyadari bahwa mengajarkan al-Qur´an kepada anak-anak adalah suatu kewajiban
mutlak dan harus dilaksanakan sejak dini agar ruh al-Qur´an dapat membekas
dalam jiwa mereka. Sebab bagaimana anak-anak dapat mengerti agamanya jika
mereka tidak mengerti al-Qur´an. Selain itu untuk kepentingan bacaan dalam sholat,
anak-anak pun wajib mengetahui dan dapat membaca surah Al Fatihah dan lainnya
yang menjadi keperluan sebagai bacaan dalam sholat. Dengan adanya tuntutan
kewajiban sholat, maka mutlak bagi orang tua wajib memberi pendidikan al-Qur´an
kepada anak-anaknya. Islam juga memerintahkan untuk memberikan
pendidikan membaca Al Qur-an kepada anak sejak usia dini, tentu saja dalam
bentuk pendidikan awal. Pada masa sekarang ini pembelajaran membaca al Qur-an
pada anak usai dini dapat diberikan dengan cara pembelajaran metode Iqra', dan ternyata metode ini banyak
memberikan hasil positif bagi perkembangan dan kemampuan membaca al Qur-an anak
usia dini (usia Taman Kanak-kanak). Cara yang dapat ditempuh orang tua dalam memberikan
pendidikan al-Qur-an kepada anak-anaknya, antara lain adalah:
1.
Mengajarkannya sendiri dan
ini cara yang terbaik. Karena orang tua sekaligus dapat lebih akrab dengan
anak-anaknya dan mengetahui sendiri tingkat kemampuan anak-anaknya. Ini berarti
orang tualah yang wajib terlebih dahulu dapat membaca Al Qur-an dan memahami
ayat-ayat yang dibacanya.
2.
Menyerahkan kepada guru
mengaji al-Qur-an atau memasukkan anak-anak pada sekolah-sekolah yang
mengajarkan tulis baca al-Qur-an.
3.
Dengan alat yang lebih
modern, dapat mengajarkan al-Qur-an lewat video casette, dan atau vcd, jika
orang tua mampu menyediakan peralatan semacam ini, tetapi ingatlah bahwa cara
yang pertamalah yang terbaik.[17]
Pada usia dini anak juga
perlu diberi pengajaran tentang ibadah, seperti tentang bersuci, do'a-do'a, dan
ayat-ayat pendek, cara mengucap salam, dan sedikit tentang tata cara
melaksanakan şalat, serta beberapa hal lain yang dikategorikan kepada amal dan
perbuatan baik yang diridhoi Allah. Dalam hal memberi
pendidikan şalat kepada anak di usia
dini dapat dilakukan orang tua dengan mulai membimbing anak untuk mengerjakan şalat dengan mengajak melakukan şalat di sampingnya, dimulai ketika ia sudah
mengetahui tangan kanan dan kirinya.[18] Jangan diamkan anak menonton televisi, sementara azan
berkumandang. Jika orang tua menghendaki anak mengerjakan şalat, berilah ia
teladan. Orang tua perlu menjelaskan bahwa şalat merupakan satu wujud rasa
syukur, karena Allah telah memberikan nikmat berupa rezki yang halal dan
kesehatan.[19]
Rahasianya adalah agar anak dapat mempelajari hukum-hukum ibadah şalat sejak
masa pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh besar, ia telah terbisa
melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hak-hakNya, bersyukur
kepada Allah, di samping itu anak akan mendapatkan kesucian ruh, kesehatan
jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan di dalam ibadah şalat yang dilaksanakannya.[20]
Dalam mengajari şalat, dapat dibaca pada firman Allah berikut ini:
Artinya:
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang
memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa." (Thaha: 132)
Ayat ini mengandung arti, selamatkanlah mereka dari azab
Allah dengan mengerjakan şalat secara rutin dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.[21]
Dan karenanya dewasa ini
adalah menjadi keharusan bagi setiap orang tua memberi pendidikan şalat kepada
anak-anak sejak usia dini. Meskipun dalam hadis Rasul disebutkan mengajari anak
şalat setelah usia 7 (tujuh), bukan berarti pada usia sebelumnya anak tidak
diajari şalat sama sekali. Pada usia ini setidaknya anak dikenalkan dengan
şalat misalnya kedua orang tua bisa mulai membimbing anak
mengerjakan şalat dengan cara mengajak anak untuk melakukan şalat di samping
mereka. Dalam mengajarkan şalat kepada anak-anak hendaklah diberikan secara
bertahap, yaitu bagi anak-anak umur 7 (tujuh) tahun pertama yang diajarkan
adalah tentang rukun-rukun şalat, kewajiban-kewajiban dalam mengerjakan şalat
serta hal-hal yang bisa membatalkan şalat [22],
setelah itu diajarkan pula gerak-geriknya terlebih dahulu, kemudian bacaannya
secara bertahap, bacaan yang paling mudah dibaca dan dihapal anak-anak, itulah
yang diajarkan terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan bacaan-bacaan lainnya.[23]
Jangan diamkan anak menonton televisi, sementara azan berkumandang. Jika orang
tua menghendaki anak mengerjakan şalat, berilah ia teladan. Orang tua perlu menjelaskan bahwa
şalat merupakan satu wujud rasa syukur, karena Allah telah memberikan nikmat
berupa rezki yang halal dan kesehatan.[24]
Rahasianya adalah agar anak dapat mempelajari hukum-hukum ibadah şalat sejak masa
pertumbuhannya, sehingga ketika anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan
dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hak-hakNya, bersyukur kepada
Allah, di samping itu anak akan mendapatkan kesucian ruh, kesehatan jasmani,
kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan di dalam ibadah şalat yang
dilaksanakannya.[25]
Pendidikan
akhlak juga merupakan materi penting untuk diberikan pada anak usia dini, hal
ini senada dengan sabda Rasululah Saw:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ
الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازُ حَدَّثَنَا
أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ
أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ [26]
Artinya:
"Tidaklah ada pemberian yang lebih baik dari seorang ayah kepada anaknya
daripada akhlak yang baik" (R. Tirmizi)
Dalam
hadis lain Rasul bersabda:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ
الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ
بْنُ عُمَارَةَ أَخْبَرَنِي الْحَارِثُ بْنُ النُّعْمَانِ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
أَكْرِمُوا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوا أَدَبَهُمْ[27]
Artinya:
"Muliakanlah anak-anakmu dan ajarkanlah mereka budi pekerti yang
baik" (R. Ibnu Majah).
Di antara pendidikan akhlak yang perlu
diberikan kepada anak usia dini, antara lain adalah akhlak terhadap orang tua,
keluarga, teman, guru, lingkungan dan masyarakat secara umum. Pendidikan tentang cinta kepada keluarga,
sangat penting diberikan kepada anak usia dini, agar anak sejak dini mengerti
hak dan kewajibannya dalam kehidupan berkeluarga. Termasuk dalam materi ini,
adalah pengajaran tentang hormat dan taat kepada orang tua, jasa dan kasih
sayang orang tua kepada anak, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tata
krama dalam kehidupan keluarga. Berkenaan dengan kasih sayang terhadap keluarga
pernah dicontohkan oleh Rasulullah dalam mencintai anak-anak seperti yang
disebutkan dalam hadis berikut:
Artinya:
Belum pernah saya melihat orang yang lebih mengasihi keluarganya dibandingkan
Rasulullah SAW.(R. Muslim)
Selain
itu juga perlu diberikan akhlak atau adab ketika membaca Al Qur-an, adab ketika
menyantap makanan dan minuman, adab keluar masuk kamar
mandi, dan lain-lainnya yang berkaitan dengan pencipataan akhlakul karimah pada
anak usia dini. Rasul juga memberikan pedoman tentang pendidikan makan dan
minum terhadap anak-anak orang Islam, hal ini dapat dibaca pada hadis berikut
ini:
حدثنا محمد بن سليما
ن بن بلال عن أبي وجزة عن عمر بن أبي سلمة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم اد ن
بني فسم الله و كل يمينك و كل مما يليك[29]
(رواه أبوداود)
Artinya: Hadis Muhammad
ibn Sulaiman Luain dari Sulaiman ibn Bilal dari Abi Wajzah dari Umar ibn Abi Salamah,
Rasul saw bersabda: “Mendekatlah padaku hai anakku, bacalah bismillah, makanlah
dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat denganmu”.
Selain
materi-materi tersebut di atas, anak pada usia dini juga masih perlu diberikan
materi pendidikan tentang kesehatan dan kebersihan badan, gerak badan (olah
raga), belajar bermain dengan teman sebaya, belajar membaca dan menulis latin,
belajar menghitung, menggambar, melipat, dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi
perkembangan dan pertumbuhan psiko motorik anak.
C. Metode Pendidikan Anak Usia Dini dalam Perspektif Pendidikan Islam
Untuk
merealisasikan pelaksanaan kegiatan pendidikan pada anak usia dini serta guna
mencapai hasil yang menggembirakan, para pendidik hendaklah senantiasa mencari
berbagai metode yang efektif, serta mencari kaidah-kaidah pendidikan yang
berpengaruh dalam mempersiapkan dan membantu pertumbuhan anak usia dini, baik
secara mental dan moral, spiritual dan etos sosial, sehingga anak dapat
mencapai kematangan yang sempurna guna menghadapi kehidupan dan pertumbuhan
selanjutnya. Dengan bersumberkan kepada Al Qur-an dan hadis, ada beberapa
metode pendidikan Islam yang dapat dan layak diterapkan pada kegiatan
pendidikan terhadap anak usia dini. Metode dimaksud adalah:
1.
Metode dengan Keteladanan
Keteladanan
dalam pendidikan Islam, merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti berhasil
dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak
sejak usia dini. Hal ini karena pendidik adalah figure terbaik dalam pandangan
anak didik yang tindak tanduknya dan sopan santunnya, disadari atau tidak akan
menjadi perhatian anak-anak sekaligus ditirunya. Keteladanan menjadi faktor
penting dalam menentukan baik buruknya pertumbuhan dan perkembangan anak usia
dini. Jika pendidik dan orang tua jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia,
berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama, maka si anak akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
agama. Anak usia dini, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk
kebaikannya, bagaimanapun sucinya fitrah, tidak akan mampu memenuhi
prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia (anak usia
dini) tidak melihat pendidik dan orang tua sebagai teladan dari nilai-nilai
moral yang tinggi. Kiranya sangat mudah bagi pendidik untuk mengajari anak
dengan berbagai materi pendidikan, tetapi teramat sulit bagi anak untuk
melaksanakannya jika ia melihat orang yang memberikan pengajaran tidak
mengamalkan-nya.
Allah
swt, juga telah mengajarkan bahwa rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah
samawi kepada umat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur,
baik spiritual, moral maupun intelektual. Sehingga umat manusia meneladaninya,
belajar darinya, memenuhi panggilannya, menggunakan metodenya dalam hal
kemuliaan, keutamaan dan akhlak yang terpuji. Allah mengutus Muhammad Saw.
Sebagai teladan yang baik bagi umat Islam sepanjang jaman, dan bagi umat manusia
di setiap saat dan tempat, sebagai pelita yang menerangi dan purnama yang
memberi petunjuk. Allah berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 21:
Artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah."
Ayat
tersebut ditafsirkan oleh Baidhawi, bahwa uswatun hasanah yang dimaksud
adalah perbuatan baik yang dapat dicontoh[30]. Dalam
ringkasan tafsir Ibnu Kasir disebutkan bahwa ayat ini merupakan prinsip utama
dalam meneladani Rasulullah SAW, baik dalam ucapan, perbuatan maupun sikap dan
perilakunya.[31]
Islam telah menyajikan pribadi Rasul sebagai suri teladan yang terus-menerus
bagi seluruh pendidik, suri teladan yang selalu baru bagi generasi demi
generasi, dan selalu aktual dalam kehidupan manusia, setiap kali kita membaca
riwayat kehidupannya bertambah pula kecintaan kita kepadanya dan tergugah pula
keinginan untuk meneladaninya. Islam tidak menyajikan keteladanan ini sekedar
untuk dikagumi atau sekedar untuk direnungkan dalam lautan hayal yang serba
abstrak. Islam menyajikan riwayat keteladanan itu semata-mata untuk diterapkan
dalam diri setiap individu muslim baik itu anak-anak maupun orang dewasa.
Dalam
memberikan pendidikan kepada anak usia dini, pendidikan dengan memberi teladan
secara baik dari para pendidik dan orang tua, teman bermain, pengajar, atau
kakak, akan merupakan faktor yang sangat memberikan bekas dalam membina
pertumbuhan anak, memberi petunjuk, dan persiapannya untuk menjadi melanjutkan
kehidupannya di fase-fase perkembangan selanjutnya. Dengan demikian perlu
dipahami oleh para pendidik dan orang tua bahwa mendidik dengan cara memberi
teladan yang baik, terutama pada masa anak usia dini sesungguhnya penopang
utama dan dasar dalam meningkatkan anak usia dini pada keutamaan, kemuliaan dan
etika sosial yang terpuji.[32]
Manusia
telah diberi fitrah untuk mencari suri teladan agar menjadi pedoman bagi
mereka, yang menerangi jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang
menjelaskan kepada mereka bagaimana seharusnya melaksanakan syrai'at Allah.
Karenanya, untuk merealisasikan risalahNya di muka bumi, Allah mengutus para
rasulNya yang menjelaskan kepada manusia syari'at yang diturunkan Allah kepada
mereka. Anak usia dini merupakan tingkat usia yang dalam pertumbuhannya
memiliki keterkaitan besar terhadap keteladanan dari pihak luar dirinya. Di
dalam kehidupan berkeluarga misalnya, anak usia dini membutuhkan suri teladan,
khususnya dari kedua orang tuanya, agar sejak dini (masa kanak-kanak) ia
menyerap dasar tabiat perilaku Islami dan berpijak pada landasannya yang luhur.
Keteladanan yang baik memberikan pengaruh besar terhadap jiwa anak, sebab anak
banyak meniru kedua orang tuanya. Anak-anak akan selalu memperhatikan dan
mengawasi perilaku orang tuanya atau orang dewasa lainnya, dan mereka akan
mencontohnya, jika anak mendapati orang tuanya berlaku jujur, mereka akan
tumbuh dengan kejujuran. Kedua orang tua dituntut mengimplementasikan
perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul sebagai perilaku dan amalan serta
terus menambah amalan-amalan sunnah tersebut semampunya, karena anak-anak akan
terus mengawasi dan meniru mereka setiap waktu. Kemampuan anak dalam menerima
teladan dari orang dewasa secara sadar atau tidak sadar sangatlah tinggi,
meskipun anak-anak sering dianggap sebagai makhluk kecil yang belum mengerti
dan paham ajaran Islam, tetapi dengan melihat teladan yang diberi orang dewasa
hal itu akan memberi bekasan pada diri anak.[33] Di sekolah, anak-anak juga membutuhkan suri
teladan yang dilihatnya langsung dari setiap guru yang mendidiknya, sehingga
dia merasa pasti dengan apa yang dipelajarinya. Pada perilaku dan tindakan
guru-gurunya, hendaknya anak dapat melihat langsung bahwa tingkah laku utama
yang diharapkan mereka melakukannya adalah hal yang tidak mustahil dan memang
dalam batas kewajaran untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.[34]
2. Pendidikan dengan Latihan dan Pengamalan
Islam
merupakan agama yang menuntut para pemeluknya mampu merealisasikan berbagai
ajaran Islam dalam bentuk amal nyata yaitu berupa amal şaleh yang diridhai
Allah SWT. Islam menuntut umatnya agar
mengarahkan segala tingkah laku, naluri, aktivitas dan hidupnya untuk
merealisasikan adab-adab dan perundang-undangan yang berasal dari Allah secara
nyata.
Dalam
hal pendidikan melalui latihan pengamalan, Rasulullah SAW, sebagai pendidik
Islam yang pertama dan utama sesungguhnya telah menerapkan metode ini dan
ternyata memberikan hasil yang menggembirakan bagi perkembangan Islam di
kalangan sahabat. Dalam banyak hal, Rasul senantiasa mengajarkannya dengan
disertai latihan pengamalannya, di antaranya; tatacara bersuci, berwudhu,
melaksanakan şalat, berhaji dan berpuasa.
Atas
dasar ini, maka dalam pelaksanaan pendidikan Islam baik kepada orang dewasa,
apalagi terhadap anak-anak usia dini pendidikan melalui latihan dan pengamalan
merupakan satu metode yang dianggap penting untuk diterapkan. Metode belajar learning
by doing atau dengan jalan mengaplikasikan teori dan praktik, akan lebih memberi
kesan dalam jiwa, mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan.
Di antara yang dapat dilatihkan sebagai amalan bagi anak-anak usia dini antaranya
ialah; cara menggosok gigi, latihan mencuci tangan yang benar, cara beristinja,
latihan berwudhu', mengucapkan salam ketika masuk rumah, serta beberapa do'a
yang harus diamalkan sebagai mengawali berbagai aktivitas sehari-hari, seperti
do'a hendak dan sesudah makan, do'a hendak dan bangun tidur, do'a masuk kamar
mandi, dan do'a lain yang mudah diamalkan oleh anak-anak usia dini.
Orang
tua wajib membiasakan atau melatih anak-anak mereka pergi ke masjid, juga
melaksanakan şalat di rumah maupun di sekolah.
Hal ini dapat dibaca pada hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ
قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ
سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي قَالَ وَجَعَلْتُ يَدَيَّ بَيْنَ
رُكْبَتَيَّ فَقَالَ لِي أَبِي اضْرِبْ بِكَفَّيْكَ عَلَى رُكْبَتَيْكَ قَالَ
ثُمَّ فَعَلْتُ ذَلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَضَرَبَ يَدَيَّ وَقَالَ إِنَّا نُهِينَا
عَنْ هَذَا وَأُمِرْنَا أَنْ نَضْرِبَ بِالْأَكُفِّ عَلَى الرُّكَبِ[35]
Artinya: Hadis Saad bin
Abi Waqqas r.a: Diriwayatkan daripada Mus'ab bin Saad r.a katanya: Aku pernah
sembahyang di sisi ayahku. Aku rapatkan tangan antara kedua lututku. Lalu
ayahku berkata kepadaku: Letakkan kedua telapak tanganmu pada lututmu. Kemudian
aku melakukan hal itu sekali lagi. Lalu ayah memukul tanganku sambil
mengatakan: Sesungguhnya kita dilarang dari melakukan ini yaitu meletakkan
tangan di antara dua lutut dan kita diperintahkan supaya meletakkan tangan di
atas lutut. (HR. Muslim)
Nilai pendidikan yang
terdapat dalam hadis di atas adalah tentang praktik melatih anak dalam
melaksanakan şalat. Praktik pendidikan şalat seperti inilah yang seyogiyanya
diterapkan oleh para orang tua dalam memberi pendidikan sholat kepada
anak-anaknya, sehingga anak tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis tentang
şalat, tetapi juga memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sifatnya praktis
tentang şalat, dan dengan demikian maka anak akan mampu melaksanakan şalat
dengan benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain ditemukan
juga bagaimana Rasulullah memberi pendidikan şalat kepada anak-anak, seperti sabda beliau yang diriwayatkan
dari Anas:
حَدَّثَنَا أَبُو حَاتِمٍ مُسْلِمُ بْنُ حَاتِمٍ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
زَيْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ لِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ
وَالِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ الِالْتِفَاتَ فِي الصَّلَاةِ هَلَكَةٌ
فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَفِي التَّطَوُّعِ لَا فِي الْفَرِيضَةِ[36]
Artinya: Berkata Anas bin
Malik telah berkata Rasulullah SAW; “Hai anakku, janganlah engkau menoleh ke
sana ke mari dalam şalat, karena akan merusak şalat, jika engkau terpaksa
melakukan hal itu, maka boleh dilakukan hanya dalam şalat sunnah, dan bukan
dalam şalat fardhu”.(HR. at-Tirmiżi)
Hadis ini dikeluarkan oleh
Rasulullah dalam rangka memberi peringatan kepada anak-anak agar tidak menoleh
ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan şalat, dan ini sesungguhnya
merupakan bukti perhatian Rasul dalam mengajarkan kepada anak-anak tentang
tatacara şalat.[37]
Para sahabat juga menempuh cara yang sama dalam memberi pendidikan şalat kepada anak-anaknya dengan cara memberi contoh kepada
anak-anaknya tentang berbagai tata cara şalat sesuai dengan yang diajarkan Rasul Saw. Cara ini juga
pantas jika dipraktikkan oleh para orang tua Muslim dalam memberi pendidikan
şalat kepada anak-anaknya, terutama tentang ketertiban dalam şalat (larangan
menoleh ke kanan atau ke kiri pada waktu şalat).
Orang
tua juga berkewajiban melatih mereka melaksanakan puasa dan infaq,
bersedekah serta berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang fakir, juga
menolong orang-orang yang lemah. Disamping itu juga harus dilatih menghormati
orang yang lebih tua dan telah berumur, dilatih/dibiasakan melakukan berbagai
kegiatan dengan niat kerena keridhaan Allah semata, mencintai karena Allah dan
membenci karena Allah. Mengorbankan harta serta diri mereka di jalan Allah, melaksana-kan
kewajiban agama, menegakkan moral Islam, khususnya mengenakan jilbab bagi anak
perempuan.[38]
3. Mendidik melalui permainan, nyanyian, dan
cerita
Sesuai
dengan pertumbuhannya, anak usia dini memang lagi gemar-gemarnya melakukan
berbagai permainan yang menarik bagi dirinya. Berkaitan dengan ini, maka
pendidikan melalui permainan merupakan satu metode yang menarik diterapkan
dalam pendidikan anak usia dini. Tentu saja permainan yang positif dan dapat
mengembangkan intelektual dan kreativitas anak-anak. Bagi anak-anak usia
balita, bermain dengan ibu tentu lebih banyak dampak positifnya karena lebih
memperlancar komunikasi antara keduanya, adalah teman terbaik bagi mereka.[39] Hal ini dapat dibaca pada hadis Rasul yang
menjelaskan tentang cara memberi pendidikan
puasa kepada anak-anak berikut ini:
و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
الْمُفَضَّلِ بْنِ لَاحِقٍ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ
بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ
إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى
أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ[40]
Diriwayatkan daripada Ar-Rubaiyyi'
binti Muawwiz bin Afra' r.a katanya: Pada hari Asyura, Rasulullah s.a.w telah
mengirimkan surat ke perkampungan-perkampungan Ansar di sekitar Madinah yang
berbunyi: Siapa yang berpuasa pada pagi ini hendaklah menyempurnakan puasanya
dan siapa yang telah berbuka yaitu makan pada pagi ini hendaklah dia juga
menyempurnakannya yaitu berpuasa pada pagi harinya. Selepas itu kami pun
berpuasa serta menyuruh anak-anak kami yang masih kanak-kanak supaya ikut
berpuasa, jika diizinkan Allah. Ketika kami berangkat menuju ke masjid, kami
buatkan suatu permainan untuk anak-anak kami yang diperbuat dari bulu
biri-biri. Jika ada di antara mereka yang menangis meminta makanan, kami akan
berikan mainan tersebut sehingga tiba waktu berbuka. (HR.Muslim)
Dengan membaca hadis di
atas, dapat diketahui bahwa pendidikan puasa kepada anak dapat dilakukan dengan
cara melatih mereka berpuasa dan jika mereka menangis meminta makanan dapat
dialihkan keinginan mereka dengan cara memberi mainan kepada mereka, sehingga
anak-anak lupa akan rasa laparnya dan asik dengan permainannya, selain itu anak
juga merasa terhibur oleh permainan dan tidak merasakan panjangnya hari yang
mereka lalui dengan puasa. Ibnu Hajar seperti dikutip Suwaid, menjelaskan bahwa
hadis ini menjadi dalil mengenai disyariatkannya melatih anak-anak untuk
berpuasa, sebab usia yang disebutkan dalam hadis tersebut belum sampai pada
masa mukallaf, akan tetapi hal itu dilakukan sebagai bentuk latihan.[41]
Namun perlu diingat pula bahwa yang paling perlu orang tua usahakan pertama
kali sebelum mengenalkan dan melatih bepuasa adalah mengkondisikan anak dengan
lingkungan yang Islami. Kenalkan suasana puasa di lingkungan keluarga, karena
suasana itu bagi anak merupakan bekal dalam mempersiapkan dirinya, sehingga
anak terbiasa dengan suasana berpuasa. Anak tidak melihat ibu, bapak, dan
anggota keluarganya makan di siang hari, tetapi makan ketika terbenam matahari.
Perlu juga diingat adalah jangan sekali-sekali memaksa mereka melakukan puasa
secara terus menerus sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari, namun
latih mereka untuk melakukan puasa secara bertahap, mulai dari hitungan jam
sampai akhirnya mereka dapat terus berpuasa dari terbit fajar hingga berbuka
pada magribnya. Setelah anak mampu berpuasa selama satu hari penuh, kenalkan
mereka dengan hal-hal yang membatalkan puasa.[42]
Muhammad Suwaid menjelaskan bahwa hadis yang menceritakan
bahwa Nabi merestui A’isyah yang sedang bermain dengan boneka, menunjukkan
kepada kita bahwa anak kecil memang butuh mainan. Demikian
juga hadis tentang burung nughar kecilnya Abu Umair yang dibuat mainan olehnya
dan hal itu juga disaksikan oleh Nabi menjadi bukti lain akan adanya kebutuhan
mainan bagi anak agar ia bisa riang gembira. Dalam hal ini kedua orang
tuanyalah yang mesti memberikan mainan untuk anaknya yang sesuai dengan usia
dan kemampuannya, dan kemudian menyerahkannya secara lansgung, hal itu
dimaksudkan agar akal dan panca inderanya beraktivitas dan bisa tumbuh sedikit
demi sedikit.
Agar
mainan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka benar-benar bisa
bermanfaat, maka kedua orang tua perlu mempertimbangkan; apakah mainan itu
termasuk mainan yang akan membangkitkan aktivitas jasmani dan kesehatan yang
berguna bagi anak. Apakah mainan tersebut membeikan kesempatan bagi anak untuk
menyusunnya, dan apakah mainan tesebut bisa mendorong anak untuk meniru
perilaku orang-orang dewasa dan cara berpikir mereka. Jika jawaban atas semua
pertanyaan tersebut adalah “ya”, maka mainan tersebut berarti sesuai untuknya
dan memberikan manfaat edukatif.[43] Selain
memberi permainan kepada anak, bermain dengan anak dan bertingkah seperti
mereka dalam bergaul dengan mereka akan menumbuhkan semangat di dalam jiwanya
dan juga akan membantunya menampilkan serta mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya.[44]
Dalam al-Ishabah dikatakan bahwa Rasulullah saw pernah bermain-main dengan
Hasan dan Husin ra. Rasulullah saw. Merangkak di atas kedua tangan dan lututnya,
dan kedua cucunya tersebut bergelantungan dari kedua sisinya, dan merangkak
bersama keduanya.[45]
Bernyanyi
juga satu cara yang baik diterapkan dalam pembelajaran pada anak usia dini.
Bernyanyi di sini bukan hanya mengajari anak menyanyikan berbagai lagu, tetapi
dapat dilakukan untuk mengajarkan anak membaca huruf hijaiyah dengan cara membacanya
secara berirama sehingga anak merasa senang dan rilek dalam mengikuti
pembelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya. Selain itu, belajar sambil
bernyanyi juga akan memberi keceriaan dan kebahagiaan kepada anak dalam
belajar. Keceriaan dan kebahagiaan memainkan peran penting dalam jiwa anak
secara menakjubkan, serta memberikan pengaruh kuat. Anak-anak usia dini tentu
saja ingin selalu riang gembira, selanjutnya keceriaan dan kegembiraan anak itu
akan melahirkan rasa optimisme dan percaya diri serta akan selalu siap untuk
menerima perintah, peringatan atau petunjuk dari orang tua atau orang dewasa
lainnya. Adalah Rasulullah senantiasa menanamkan jiwa periang dan kegembiraan
di dalam jiwa anak dan hal itu beliau lakukan dengan bebagai macam cara. Di antaranya
adalah dengan menyambut mereka dengan sambutan yang hangat ketika bertemu
dengan mereka, mengajak mereka bercanda, menggendong mereka dan meletakkan
mereka di pangkuan beliau, mendahulukan mereka dengan memberi makanan yang
baik, dan dengan cara makan bersama-sama dengan mereka.[46]
Juga
tidak kalah pentingnya adalah pembelajaran dengan cara memberikan atau
menyajikan kisah-kisah Islami yang bersumber dari Al Qur-an dan Hadis Rasul.
Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat
diganti dengan bentuk penyampaian lain. Hal ini karena kisah Qur-an dan nabawi
memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai dampak psikologis dan
edukatif yang sempurna, rapi, dan
jangkauan yang luas. Di samping itu kisah eduktif dapat melahirkan kehangatan
perasaan dan vitalitas serta aktvitas di dalam jiwa, yang selanjutnya
memotivasi anak didik untuk mengubah perilakunya dan memperbarui tekadnya
sesuai dengan tuntunan, pengarahan dan ide-ide yang terkandung dalam kisah
tersebut.[47]
Kisah
Qur-ani bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan merupakan satu di
antara sekian banyak metode Qur-ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan
keagamaan dan ketuhanan serta satu cara untuk menyampaikan ajaran Islam
terutama bagi anak-anak usia dini. Tentu saja kemasan kisah qur-an yang dapat
diterapkan dalam memberikan pendidikan kepada anak usia dini, merupakan kisah
yang dikemas secara indah dan menarik bagi anak-anak usia dini. Misal
kisah-kisah yang dapat diberikan kepada anak usia dini antara lain adalah kisah
para Nabi dan Rasul-Rasul Allah, kisah anak durhaka, kisah-kisah anak soleh dan
kisah-kisah orang pemberani dalam kebenaran, serta kisah-kisah lain mengandung
nilai pendidikan dan mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan yang dialami
anak usia dini.
Artinya
"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran
serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman". (Huud: 120)
Dijelaskan
oleh Ibnu Kasir bahwa dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa semua kisah para
rasul terdahulu bersama umatnya masing-masing sebelum Muhammad, Kami ceritakan
kepadamu perihal mereka. Semua itu diceritakan untuk meneguhkan hatimu, hai
Muhammad, dan agar engkau mempunyai suri teladan dari kalangan
saudara-saudaramu para rasul yang terdahulu.[48]
Artinya
"Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir".(Al A'raaf: 176)
Ayat
176 ini diturunkan menceritakan kisah Bal’aam, untuk mengingatkan manusia bahwa
meskipun seorang itu sudah mencapai ilmu yang sangat tinggi sebagaimana yang
dicapai oleh para Nabi tetapi lalu ia maksiat dan condong kepada dunia, maka
akhirnya bernasib sebagaimana Bal’aam yang disebut oleh Allah: Famasaluhu
kamasalail kalbi in tahmil alaihi yalhas au tatrukhu yalhas. Orang itu
contohnya bagaikan anjing yang selalu menjilat-jilat dan tidak berguna baginya
segala peringatan, ancaman dan nasihat, tidak berguna baginya iman dan
pengetahuannya. Karena itulah ayat ditutup dengan kalimat “Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir" Ikutilah kisah ini
supaya mereka berpikir dan memperhatikan, dan dapat mawas diri dan berhati-hati
jangan sampai terjadi seperti itu[49].
Kisah
bisa memainkan peran penting dalam menarik perhatian, kesadaran pikiran dan akal
anak. Nabi biasa membawakan kisah di hadapan sahabat, yang muda maupun yang
tua, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap apa yang dikisahkan
beliau, berupa berbagai peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, agar bisa
diambil pelajarannya oleh orang-orang sekarang dan yang akan datang hingga hari
kiamat. Yang penting dicatat adalah bahwa kisah-kisah yang disampaikan oleh
Nabi bersandar pada fakta riil yang pernah terjadi di masa lalu, jauh dari
khurafat dan mitos. Kisah-kisah tersebut bisa membangkitkan keyakinan sejarah
pada diri anak, di samping juga menambahkan spirit pada anak untuk bangkit
serta membangkitkan rasa keislaman yang bergelora dan mendalam. Kisah-kisah para
ulama, ‘amilin dan orang-orang mulia
yang shalih merupakan sebaik-baik sarana yang akan menanamkan berbagai
keutamaan dalam jiwa anak serta mendorongnya untuk siap mengemban berbagai
kesulitan dalam rangka meraih tujuan yang mulia dan luhur. Di samping itu juga
akan membangkitkan untuk mengambil teladan orang-orang yang penuh pengorbanan
sehingga ia akan terus naik menuju derajat yang tinggi dan terhormat.[50]
4. Mendidik dengan Targhib
dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan
membuat senang terhadap sesuatu maslahat, kenikmatan, atau kesenangan
akhirat. Sedangkan tarhib adalah ancaman dengan siksaan sebagai akibat
melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah, atau akibat lengah
dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.[51] Ini
merupakan metode pendidikan Islam yang didasarkan atas fitrah yang diberikan
Allah kepada manusia, seperti keinginan terhadap kekuatan, kenikmatan,
kesenangan, dan kehidupan abadi yang baik serta ketakutan akan kepedihan,
kesengsaraan dan kesudahan yang buruk.
Ditinjau dari segi paedagogis, hal ini mengandung anjuran, hendaknya
pendidik dan atau orang tua menanamkan keimanan dan aqidah yang benar di dalam
jiwa anak-anak, agar pendidik dapat menjanjikan (targhib) surga kepada
mereka dan mengancam (tarhib) mereka dengan azab Allah, sehingga hal ini
diharapkan akan mengundang anak didik untuk merealisasikan dalam bentuk amal
dan perbuatan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Dalam memberikan pendidikan melalui targhib
dan tarhib, pendidik hendaknya lebih mengutamakan pemberian gambaran
yang indah tentang kenikmatan di surga dan berbagai kenikmatan lain yang
diperoleh sebagai balasan bagi amal sholeh yang dikerjakan, sekaligus juga
diberikan sedikit gambaran tentang dahsyatnya azab Allah yang diberikan sebagai
ganjaran pelanggaran yang dilakukan.[52]
Pendidikan dengan menerapkan metode ini
merupakan upaya untuk menggugah, mendidik dan mengembangkan perasaan Rabbaniyah
pada anak sejak usia dini, perasaan-perasaan yang diharapkan dapat dikembangkan
melalui metode ini antara lain; khauf kepada Allah, perasaan khusyu',
perasaan cinta kepada Allah, dan perasaan raja' (berharap) kepada Allah.
Targhib dan tarhib merupakan bagian dari metode
kejiwaan yang sangat menentukan dalam meluruskan anak, ia merupakan cara yang
jelas dan gamblang dalam pendidikan ala Rasul, beliau sering menggunakannya
dalam menyelesaikan masalah anak di segala kesempatan, terutama dalam masalah
berbakti kepada orang tua. Beliau mendorong anak agar berbakti kepada kedua
orang tuanya serta menakut-nakutinya dari berbuat durhaka kepada keduanya. Hal
itu tidak lain bertujuan agar anak itu menyambut hal ini dan mendapatkan
pengaruh sehingga ia bisa memperbaiki diri dan perilakunya.[53]
5. Pujian dan Sanjungan
Tidak diragukan lagi, pujian terhadap anak
mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap dirinya, sehingga hal itu akan
menggerakkan perasaan dan inderanya. Dengan demikian, seorang anak akan
bergegas meluruskan perilaku dan perbuatannya. Jiwanya akan menjadi riang dan
juga senang dengan pujian ini untuk kemudian semakin aktif. Rasulullah sebagai
manusia yang mengerti tentang kejiwaan manusia telah mengingatkan akan pujian
yang memberikan dampak positif terhadap jiwa anak, jiwanya akan tergerak untuk
menyambut dan melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.[54]
Anak kecil yang masih berada dalam umur tiga
tahun pertama bukannya tidak mempunyai perasaan kehormatan serta harga diri, ia
menyadari bahwasanya dirinya adalah anak kecil, akan tetapi dalam lubuk hatinya
ia tidak menerima jika dianggap remeh dalam bentuk dan sikap yang bagaimanapun.
Selama ia masih tumbuh berkembang maka perasaan dihargai dan dihormati ikut
tumbuh kembang dalam dirinya. Perasaan harga diri dan dihormati merupakan
pembawaan manusia secara fitrah, baik sebagai anak kecil maupun sebagai manusia
dewasa, sebab sesungguhnya manusia merupakan makhluk yang dihormati lagi
dimuliakan. Mengenai bentuk dan ragam pemberian pujian atau penghargaan cukup
banyak, yang terpenting adalah anak sejak dini dipandang sebagai manusia
sekaligus diperlakukan secara manusiawi.[55]
Secara lebih lanjut, pujian dan sanjungan dapat
diberikan dalam bentuk hadiah. Namun orang tua hendaklah berhati-hati dalam
memilih hadiah, agar tidak menimbulkan ketagihan. Hindarilah memberi hadiah
uang, karena selain benda ini sangat menggiurkan, orang tua pun harus bekerja
dua kali untuk membimbing anak agar mampu membelanjakan uangnya dengan baik.
Pilihlah hadiah yang bersifat edukatif, sehingga tak jadi persoalan jika
anak-anak kemudian ketagihan. Buku cerita, alat-alat sekolah serta perlengkapan
kegemaran anak akan cukup menyenangkan mereka. Pilih barang yang saat itu
sedang mereka butuhkan, sehingga orang tua tidak perlu membelikannya lagi,
misalnya jika sepatunya sudah mulai nampak berlubang, mengapa tidak
menjadikannya saja sebagai hadiah, sebab kalaupun tidak sebagai hadia toh
akhirnya orang tua harus membelikannya juga. Orang tua harus sejak awal dan
terus-menerus menanamkan pengertian bahwa hadiah yang diberikan kepada anak
bukan semata untuk menghargai prestasi akhir mereka, namun lebih
dititikberatkan pada usaha anak untuk mengubah dirinya.[56]
6. Menanamkan Kebiasaan yang Baik
Dalam usaha memberikan pendidikan dan membantu
perkembangan anak usia dini, selain pengembangan kecerdasan dan keterampilan,
perlu juga sejak dini ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang positif. Pendidikan
dengan mengajarkan dan pembiasaan adalah pilar terkuat untuk pendidikan anak
usia dini, dan metode paling efektif dalam membentuk iman anak dan meluruskan
akhlaknya, sebab metode ini berlandasakan pada pengikutsertaan. Tidak diragukan
lagi, mendidik dengan cara pembiasaan anak sejak dini adalah paling menjamin
untuk mendatangkan hasil positif, sedangkan mendidik dan melatih setelah dewasa
sangat sukar untuk mencapai kesempurnaan[57].
- Anak harus dibiasakan menjaga kebersihan, sebab Islam sangat mementingkan kebersihan, sebagaimana dapat dibaca pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (Taubah: 108)
Ayat di atas menjelaskan tentang kecintaan Allah
terhadap orang yang bersih, yaitu orang menyucikan dirinya dari segala macam
najis dan kotoran sekaligus membersihan jiwanya dari segala macam dosa.[58]
ِAyat ini sejalan dengan sabda Rasul:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ
بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ
يُحِبُّ النَّظَافَةَ…[59]
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai kebaikan, bersih dan
menyukai kebersihan”… (R. at-Tirmiżi)
Dalam rangka membiasakan hidup bersih dan hidup
sehat, pada anak usia dini, hendaklah anak dibiasakan untuk; berdo’a sebelum
tidur dan ketika bangun, mandi secara teratur, menggosok gigi setiap bangun dan
menjelang tidur, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, serta membuang
sampah pada tempatnya.
- Anak dilatih dan dibiasakan hidup teratur, misalnya dengan membiasakan anak makan secara teratur dan tidak berlebihan, sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”.(Al A’raaf ayat 31)
Makna yang terdapat pada ayat ini adalah makanlah
sesukamu dan berpakaianlah sesukamu selagi engkau hindari dua pekerti, yaitu
berlebih-lebihan dan sombong. Allah menghalalkan makan dan minum selagi dilakukan
dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk kesombongan[60].
Dalam hadis Rasul kita temukan tentang aturan
makan dan minum, yaitu seperti yang tersebut dalam hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِابْنِ
نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ
عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ جَدِّهِ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ[61]
Artinya: Dari Jaddah ibn Umar Rasulullah berkata:
“Jika makan salah seorang diantara kamu, maka makanlah dengan tangan kanan, dan
jika minum, maka minumlah dengan tangan kanan, karena sesungguhnya syaitan
makan dan minum dengan tangan kiri”(R. At-Tirmizi)
- Anak sejak dini
hendaknya dibiasakan hidup sederhana dan hemat. Untuk itu sebaiknya anak
tidak dibiasakan jajan, sebab jajan di samping merupakan kebiasaan yang
tidak baik, juga makananan yang ia beli belum terjamin kebersihannya
hingga bisa membahayakan kesehatannya.[62]
Itulah beberapa metode
pendidikan yang menurut hemat penulis layak untuk diterapkan pada pelaksanaan
pendidikan anak usia dini. Dengan metode-metode tersebut secara teoritis
akan memberikan hasil positif terhadap pembinaan dan pendidikan anak usia dini,
baik itu yang dilaksanakan orang tua di rumah, maupun oleh para guru di sekolah/lembaga
pendidikan anak usia dini.
D. Evaluasi Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
Rangkaian akhir dari suatu proses pendidikan
anak usia dini adalah evaluasi atau penilaian. Evaluasi merupakan suatu
kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan di dalam proses pendidikan.[63] Dalam
pendidikan Islam, termasuk juga pendidikan anak usia dini, evaluasi merupakan salah satu komponen penting
dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan
terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan
dicapai dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran.[64] Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan
dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan pendidikan dalam menyampaikan
materi pendidikan kepada peserta didik. Sedangkan dalam lingkup yang lebih
luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan
suatu proses pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.[65]
Sebagai satu komponen penting dalam pendidikan,
evaluasi yang dilaksanakan secara umum memiliki fungsi untuk; mengetahui peserta didik yang mana yang
terpandai dan terbodoh di kelasnya, mengetahui apakah bahan yang telah
diajarkan sudah dimiliki oleh peserta didik atau belum, mendorong persaingan
yang sehat antara sesama peserta didik, mengetahui kemajuan dan perkembangan
peserta didik setelah mengalami didikan dan ajaran, mengetahui tepat atau
tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai penyesuaian dalam kelas, dan
sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk rapor, ijazah,
piagam dan sebagainya.[66]
Mengigat pentingnya evaluasi bagi proses
pendidikan, maka dalam kegiatan pendidikan yang diberikan kepada anak usia dini
juga perlu dilakukan evaluasi. Terhadap kegiatan pendidikan anak usia dini,
evaluasi atau penilaian dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
melalui pengamatan dan pencatatan anekdot. Pengamatan dilakukan untuk
mengetahui perkembangan dan sikap anak yang dilakukan dengan mengamati tingkah
laku anak dalam kehidupan sehari-hari secara terus menerus, sedangkan
pencatatan anekdot merupakan sekumpulan catatan tentang sikap dan perilaku anak
dalam situasi tertentu.
Beberapa alat penilaian yang dapat digunakan
untuk memperoleh gambaran perkembangan kemampuan dan perilaku anak, antara lain
adalah:
1. Portofolio yaitu penilaian berdasarkan kumpulan hasil kerja anak yang
dapat menggambarkan sejauhmana keterampilan anak berkembang.
2. Unjuk kerja (performance) merupakan penilaian yang menuntut anak
untuk melakukan tugas dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati, misalnya
praktik menyanyi, olahraga, atau memperagakan sesuatu perbuatan; seperti cara
menggosok gigi, cara beristinja, cara berwudhu’ dan sedikit tentang
gerakan dalam sholat.
3. Penugasan (project) merupakan tugas yang harus dikerjakan anak
yang memerlukan waktu yang relativ lama dalam mengerjakannya, misalnya
melakukan percobaan menanam biji.
4. Hasil karya (product) merupakan hasil kerja anak setelah
melakukan suatu kegiatan.[67]
Seluruh kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam
pendidikan anak usia dini adalah untuk mengetahui perkembangan anak didik, yang
mencakup dua aspek utama yaitu aspek pembiasan dan kemampuan dasar. Pada aspek
pembiasaan, penilaian meliputi tentang perkembangan moral dan nilai-nilai
agama, social, emosional dan kemandirian. Sedangkan pada aspek kemampuan dasar
penilaiannya meliputi; kemampuan berbahasa, kemampuan kognitif, kemampuan
fisik/motorik, dan kemampuan seni. [68] Terhadap perkembangan moral dan nilai-nilai
agama, evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan anak dalam berdo’a,
mengucapkan salam, membedakan cipataan-ciptaan Allah, membaca beberapa do’a
pendek, sekaligus juga mengetahui perkembangan anak dalam berdisiplin,
kesopanan dalam berpakaian dan ketertiban dalam mengerjakan tugas-tugas di
sekolah. Adapun penilaian terhadap perkembangan sikap sosial, emosional dan
kemandirian, ditujukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan anak dalam
bergaul, berteman, mengambil keputusan sederhana, bertanya sederhana, mengendalikan emosi dan kemandirian dalam
mengurus keperluannya di sekolah. Sedangkan penilaian pada aspek kemampuan dasar
ditujukan untuk mengetahui perkembangan kemampuan anak dalam berbahasa, seperti
kemampuan melakukan macam-macam perintah, menceritakan pengalamannya, merespon
pertanyaan guru, dan kemampuan berkomunikasi dengan guru maupun temannya. Evaluas
perkembangan kemampuan kognitif dilakukan untuk menilai kemampuan anak
dalam menyatakan waktu yang dikaitkan dengan jam, membedakan macam-macam suara,
mengelompokan warna, mengenal dan membedakan macam-macam rasa, serta kemampuan
anak dalam menghitung bilangan tanpa menggunakan alat bantu. Evaluasi perkembangan
fisik/motorik dilakukan dalam rangka mengetahui kemampuan anak dalam hal
fisik/motoriknya seperti dalam kegiatan makan, menyisir rambut, mencuci dan
mengelap tangan, memantulkan, menangkap, melempar bola, menggunting, melipat,
dan meniru suatu gerakan terutama dalam bentuk senam atau tarian sederhana. Evaluasi
perkembangan seni adalah untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengapresiasikan
imajinasinya dalam bentuk seni, seperti menggambar bebas dengan menggunakan
krayon dan pensil berwarna, mewarnai gambar, menyanyikan lagu sambil bermain,
dan mengekspresikan gerak.
[1] Al Imam Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al
Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 14,
(Bandung : Sinar
Baru Algesindo,2003), h. 216.
[2]Abu Abdullah ibn Muhammad Isma’il
al-Bukhari, Shahih Bukhri Juz I, (Riyadh: Idaratul
Bahtsi Ilmiah,tt), h. 25.
[3] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas
Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,
Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 4, (Semarang: Toha Putra,tt,). H.
216.
[4] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas
Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,
Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,). h
227
[5] Ibnu Kasir, Tafsir Al Qur’an al- Ażīm juz 28…, h.
416.
[6] Muhammad Ali Quthb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah,
terjemahan Bahrum abu Bakar Ihsan, (Bandung: Diponegoro,1988), h. 59.
[7] M. Athiyah Al Abrasy, at-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Falasatuhā, (TTp: ’Isa al-Bābi al-Jalabī wa syirkāhu,1969),
h. 163.
[8] Mansur, Pendidikan Anak…, h.117.
[9] M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Jakarta : Mitra Pustaka,
2001), h. 25
[10]Depdiknas, Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Usia Dini (Pembelajaran
Generik), (Jakarta :
Depdiknas,2002), h. 21.
[11]Boediono, Acuan …, h. 8-10.
[12]Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa bin
Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi
al-Jami’us Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,). h 36.
[13] Abu A’isy Abd Al Mun’im Ibrahim, Tarbiyah Al-Banati fi Al- Islam,
terjemahan Herwibowo, Pendidikan Islam bagi Remaja Putri, (Jakarta:
Najla Press,2007), h. 96.
[14] Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, h. 75.
[15]Ali Quthb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyat al- Islamiyyah,
terjemahan Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1988), h. 48.
[16]at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih,
juz 4, h.246.
[17] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, (Yogyakarta:
Pustaka Al Kautsar, 1992), h. 106-107.
[18] Muhammad Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah an-Nabawiyyah lit-Tifl,
terjemahan Salafuddin Abu Sayyid, Mendidik Anak Bersama Nabi, (Solo:
Pustaka Arafah,2003), h. 175.
[20]Abdullah Nashih Ulwan,Tarbiyatu ‘l-Aulad
fi-‘l-Islam, terjemahan Saifullah Kamalie, Pedoman Pendidikan Anak dalam
Islam, (Semarang: Asy Syfa’,1981). h. 153.
[21] Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu
Kasir, juz 16, (Bandung : Sinar Baru Algesindo,2003). h.456.
[22]Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, terjemahan
Salafuddin Abu Sayyid, (Solo: Pustaka Arafah, 2004), h. 175.
[25]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad fi-all-Islam,
terjemahan Saifullah Kamalie, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang:
Asy Syfa’,1981). h. 153.
[26] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas
Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,
Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,). h
Sunan At-Tirmizi, hadis nomor 1875.
[27] Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Mājah, juz
1, (Bairut: Dār al-Fikr,tt), h. 597.
[29] Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud,
Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1401 H), juz 10, h. 179. lihat juga
dalam Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih,
juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,). h 189.
[30] Al-Baidhawi, Tafsir Baidhawi, (http://www.Altafsir.com) Juz 5 h. 9, baca
An-Naisaburi, Tafsir An-Naisaburi, juz 1 h. 81.
[31] M. Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Kasir, jilid 3
(Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 841.
[32] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al- Aulad Fi al- Islam, terj.
Jamaluddin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
1995), h.37
[33] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 458.
[34]Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan
Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Semarang:
Diponegoro,1989), h. 366.
[35] Muslim, Şahih Muslim Juz 1, h. 217.
[36] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas
Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,
Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 1, (Semarang: Toha Putra,tt,) h.
260.
[37] Suwaid, Mendidik Anak…, h. 178.
[38]Muhammad Zuhaili, Al Islam Wa Asy Syabab, terjemahan Arum Titisari,
Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, (Jakarta : AH. Ba’adillah Press, 2002), h. 70.
[39] Irawati Istadi, Mendidik Dengan Cinta, (Bekasi: Pustaka
Inti, 2006), h. 130.
[40]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi
an-Naisaburi, Şahih Muslim Juz 1, (Bandung: Al Ma’arif,tt), h 460.
[41] Suwaid, Mendidik Anak…, h. 194.
[42] Ummi Aghla, Mengakrabkan Anak…, h. 98.
[43] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 479-480.
[44] Ibid., h. 521.
[45] Ulwan, Pedoman Pendidikan…, h. 33.
[46] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 514.
[47]An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode…, h. 332.
[48] Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Al
Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 12,
(Bandung : Sinar
Baru Algesindo,2003), h. 184.
[49] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier, jilid III, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 509.
[50] Suwaid, Manhaj at-Tarbiyyah…, h. 486.
[51] An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode…, h. 412
[55] Ali Qutb, Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah, h. 72.
[58]Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 11,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 48.
[59] Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas
Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah at-Tirmiżi,
Sunan at-Tirmiżi al-Jami’us Şahih, juz 4, (Semarang: Toha Putra,tt,) h.
198.
[60] Al Imam abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir
Al Qur’an al-‘Ażīm, terjemahan Bahrum Abu Bakar, Tafsir Ibnu Kaśīr juz 8,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo,2003), h. 289.
[61]Imam al-Hafidz Abi ‘Abbas Muhammad ibn ‘Isa ibn
Saurah at-Tirmiżi, Sunan at-Tirmiżi
al-Jami’us Şahih, juz 3, (Semarang: Toha Putra,tt,) h. 166.
[62] Panitia Muzakarah Ulama, Memelihara
Kelangsungan Hidup Anak Menurut Ajaran Islam, (Jakarta: Kerjasama
Departemen Agama, MUI dan UNICEF, 1987/1988), h. 58-59.
[67] Boediono, ed. Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini Taman
Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal, (Jakarta :
Departemen Pendidikan Nasional, 2003), h. 13.
[68] Lihat pada buku Laporan
Perkembangan Anak Didik Taman Kanak-Kanak, yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia, tahun 2007.
mantap gan infony sangat bermanfaat sekali bagi sya yang awan tentang ilmu agama islm... terima kasih gan
BalasHapusSubhanallah...memang pendidikan anak dalam Islam sudah sangat baik, bahkan terbaik dalam dimensi penyempurnaan akhlak dan intelektual anak, dalam artikel ini rasanya sudah sangat jelas dan lengkap gambaran itu, terimakasih sudah dishare ..salam
BalasHapussyukron kasiron sudah membantu saya
BalasHapusterimakasih... atas ilmunya..
BalasHapus