Pages

Jumat, 17 Agustus 2012

Pendidikan Islam Di Aceh

Pendidikan di Aceh
Pendidikan Islam Di Aceh

Aceh merupakan pintu gerbang awal bagi perkembangan ajaran Islam di nusantara.[1] Islam begitu membumi di daerah ini setelah menampakkan keberadaannya di tengah-tengan masyarakat dengan menjadikan Islam sebagai agama rakyat dan sebagai agama resmi kerajaan yang berfungsi sebagai landasan dan azas pembinaan adat, budaya dan karakter masyarakat yang santun. Melalui bimbingan ajaran agama Islam secara komprehensif, masyarakat Aceh menjadi masyarakat madani yang jujur, adil, ikhlas dan berani menegakkan kebenaran dan menentang segala bentuk kebathilan dan kedhaliman.
            Eksistensi Islam di tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah perkembangan sosio-kultural bagi masyarakat yang berada di propinsi ujung utara pulau Sumatera. Secara historis,
Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalah (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[2]
            Dalam perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam masyarakat melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama lembaga pendidikan yang dibangun , diasuh dan dibinanya, yakni Dayah. Lembaga pendidikan ini di samping berperan sebagai tempat pembelajaran dan mendidik kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga berperan besar sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang  banyak memberikan jasa dan prakarsa bagi pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Ini terbukti bahwa tidak saja pada masa lampau, namun sampai saat ini alumni dayah tidak hanya berperan sebagai pendidik tetapi juga sebagai tokoh panutan masyarakat.
B. Pengertian Ulama, Dayah, Meunasah dan Rangkang.
            Sejak Islam pertama kali sampai ke Aceh, ulama telah memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah ahli memandang bahwa faktor jaringan ulama Haramain telah memberikan warna intelektual di Aceh.
Kehadiran mereka saat itu juga sangat diharapkan oleh masyarakat guna mengajar mereka ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka akhirnya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga saat sebelum kedatangan penjajah dari  benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyebarkan ajaran Islam ke daerah lain seperti Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja kemudian mengakibatkan Aceh semakin dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan bahan rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[3]
            Istilah “Ulama” adalah jamak dari ‘alim sebagai sighah mubalaghah, yang berarti orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu. Kata ulama menunjukkan kepada keahlian dan spesifikasi. Dengan demikian kata ‘alim berbeda dengan kata ‘alim yang berarti orang yang tahu tetapi belum tentu mendalam.[4] Di dalam al Qur’an sendiri kata ulama, disebut hanya dua kali. Pertama dalam surat al Fathr ayat 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Kedua dalam surat al Syu’ara ayat 197: “Dan tidakkah cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya.” Ayat 28 surat al Fathr berbicara dalam konteks fenomena alam semesta dengan segala isinya, sedangkan ayat 197 surat al Syu’ara berbicara dalam konteks bahwa kebenaran kandungan al Qur’an telah diakui (diketahui) oleh ulama Bani Israil. Berdasarkan dua ayat tersebut dapatlah dikedepankan bahwa alim ulama atau ulama itu, sesuai dengan makna kata ulama itu sendiri yakni dari alima (mengetahui) adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang bersifat kauniyah maupun yang bersifat qur’aniyah[5]
            Di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama memiliki posisi khusus di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai otoritas yang menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai persoalan sosial budaya dan persoalan-persoalan keseharian. Karena itu ulama dayah tersebut menjadi panutan rakyat dan memiliki kharisma yang tinggi di mata masyarakat.
            Lebih dari itu, di era perjuangan, ulama dayah adalah sebagai kekuatan dalam melawan penjajah. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah kolonial Belanda, menyarankan kepada pemerintahannya untuk menekan para ulama dan membatasi ruang gerak mereka hanya dalam bidang keagamaan dan seremonial ibadat saja.[6]Orang Aceh saat itu dianggap sebagai penjahat dan pembunuh oleh Belanda, karena melawan pemerintahannya, meskipun bagi orang Aceh hal tersebut adalah bagian dari perjuangan keagamaan mereka.[7] Semua gerakan ini dimotori oleh para ulama, dan dayah adalah pusat kekuatan dan sumber inspirasi bagi berbagai gagasan ke arah perjuangan dan perubahan.
            Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok[8] Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[9]  Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
            Ulama Dayah merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka adalah alumni dari dayah. Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, seperti lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat kecuali dayah dan mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern”, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[10]
            Sementara meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berobah menjadi meunasah.[11] Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an.[12]Ismuha mengungkapkan bahwa keberadaan  meunasah yang ada di setiap desa atau kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat lima waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya.[13] Jadi kalau disebut sesorang sebagai teungku meunasah, maka dia adalah orang yang mengajar mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik Abdullah, dalam Ismail Sunni,  mengatakan bahwa sebelum suatu kampung dibangun, mereka (masyarakat Aceh) terlebih dahulu membangun meunasah sebagai tempat beribadah dan belajar, baru kemudian mendirikan perkempungan. Di samping sebagai tempai beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu tempat belajar tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.[14]

C. Urgensitas Lembaga Pendidikan Dayah, Rangkang dan Meunasah.
.           Kendati Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini tidaklah persis sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.[15]Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip denagn pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada cantriknya.[16]Kata pesantren berasal dari “santri” yang berarti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.[17] Sedangkan surau di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era Hindu – Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas keagamaan. Menurut ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda.[18]Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya memiliki latar belakang historis yang berbeda, namun mempunyai fungsi yang sama.
            Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen, dan kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[19]
            Pada masa kesultanan Aceh, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, yakni rangkang (junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat rangkang dan balee, sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja. Meskipun demikian di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai junior sampai universitas. Sebelum murid belajar di dayah, mereka harus sudah mampu membaca al Qur’an yang mereka pelajari di rumah atau di meunasah dari seorang teungku. Kepergian untuk menuntut ilmu agama di dayah sering disebut dengan meudagang. Metode mengajar di dayah pada dasarnya dengan oral, meudrah[20] dan metode hafalan. Pada kelas yang lebih tinggi, metode diskusi dan debat (meudeubat) sangat dianjurkan dalam segala aktifitas proses belajar mengajar, dan ruang kelas hampir merupakan sebuah ruang seminar. Para teungku biasanya berfungsi sebagai moderator, yang kadang-kadang juga berperan sebagai pengambil keputusan.[21]
            Santri (aneuk dayah) biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukin/meudagang. Santri kalong merupakan bagian aneuk dayah yang tidak menetap dalam pondok, tetap pulang ke rumah masing-masing setelah belajar. Mereka biasanya berasal dari daerah sekitar dayah tersebut. Sementara santri meudagang adalah putra dan putri yang tinggal menetap dalam dayah dan biasanya berasal dari daerah jauh.[22]
            Pendidikan dayah terkesan sangat monoton dalam penyusunan kurikulum yang masih berorientasi kepada sistem lama. Artinya kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab abad pertengahan. Secara keseluruhan di bidang kurikulum ternyata tidak ada perubahan dan perkembangan, yang ada hanyalah pengulangan. Hal ini disebabkan pengaruh dari pendahulu yang begitu kuat sehingga tidak ada tokoh dayah yang berani untuk mengembangkan kurikulum yang representatif.
            Sistem pendidikan yang dikembangkan di dayah atau rangkang tidak berbeda dengan apa yang dikembang di pesantren-pesantren di Jawa atau surau-surau di Sumatera Barat, yakni bisa ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
  1. Ditinjau dari segi materi pelajarannya, yang diajarkan adalah mata pelajaran agama semata-mata yang bertitik tolak kepada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana (kitab jawoe/kitab arab melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, tingkatan suatu dayah dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[23] Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab-kitab Islam klasik yang di ajarkan di dayah, yakni 1) nahwu dan saraf (morfologi), 2) fiqh, 3) Ushul fiqh, 4) Hadist, 5) Tafsir, 6) Tauhid, 7) tasawuf dan etika, dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[24] Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari kitab yang dipelajarinya.
  2. Ditinjau dari segi metodenya adalah hafalan, meudrah dan muedeubat. Dalam tradisi pesantren di Jawa sering disebut sorogan dan wetonan.
  3. Ditinjau dari segi sistem pembelajaran adalah non-klasikal. Yakni santri (aneuk dayah) tidak dibagi berdasarkan tingkatan kelas, tetapi berdasarkan kitab yang dipelajarinya.
  4. Ditinjau dari segi manajemen pendidikan, maka di lembaga pendidikan ini tidak mengenal nomor induk pelajar, ada rapor, ada sertifikat dan lain sebagainya.[25]
Kebiasaan orang Aceh, belajar di dayah, atau sering disebut meudagang, biasanya membutuhkan waktu yang tak terbatas. Artinya seorang murid datang dan meninggalkan dayah kapan ia suka. Beberapa aneuk dayah (santri) belajar di beberapa dayah, berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya, setelah belajar beberapa tahun. Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid tergantung pada ketekunannya atau pengakuan guru bahwa murid itu telah selesai dalam studinya. Kadang-kadang murid tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah sampai ia sanggup mendirikan dayahnya sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada penghargaan secara diploma. Karena itu, setelah belajar dan mendapat pengakuan dari teungku chik (pimpinan dayah) mereka terjun ke dunia masyarakat dan bekerja sebagai teungku di meunasah-meunasah , menjadi da’i atau imam-imam di mesjid-mesjid.[26]

D. Signifikansi Lembaga Dayah.
            Realitas sejarah mengungkapkan bahwa lembaga dayah mempunyai empat kegunaan yang sangat signifikan bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai pusat belajar agama (the central of religious learning), sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah, sebagai agen pembangunan, dan sebagai sekolah bagi masyarakat.[27]
a.       Sebagai pusat belajar agama. (the central of religious learning)
Pada abad ke-17 M, Aceh telah menjadi pusat kegiatan intelektual. Banyak sarjana dari negara lain berbondong-bondong datang untuk balajar ke Aceh. Seorang ulama terkenal syekh Muhammad Yusuf al Makkasari (1626 – 1699 M.), salah seorang ulama tersohor diwaktunya di kepulauan Melayu pernah belajar di Aceh. Salah satu tarekat yang pernah dipelajarinya di Aceh adalah tarekat al Qadiriyah. Syekh Burhanuddin dari Minangkabau, yang kemudian menjadi ulama terkenal dan menyebarkan agama Islam Ulakan mendirikan surau di Minangkabau, juga pernah belajar di Aceh bawah bimbingan syekh Abdul Ra’uf al Singkili.
                  Atensi ulama dayah terhadap ilmu-ilmu agama tidaklah pupus, walau kondisi ekonomi dan politik era kesultanan Aceh mengalami masa kemunduran. Sebelum kedatangan Belanda, dayah-dayah di Aceh sering dikunjungi oleh masyarakat luar Aceh. Dari sejak Hamzah Fansuri sampai datangnya Belanda, ada 13 ulama dayah yang menulis kitab; karya yang ditulis jumlahnya 114 kitab.[28]Kitab-kitab tersebut terdri dari berbagai subjek, seperti tasawuf, kala, logika, filsafat, fiqh, hadist, tafsir, akhlaq, sejarah, tauhid, austronomi, obat-obatan, dan masalah lingkungan. Bahkan menurut al Attas, bahasa Melayu juga dikembangkan pada abad-abad tersebut. Hamzah Fansuri (1510 – 1580 M.) merupakan seorang pioner dalam perkembangan bahasa ini –secara rasional dan sistematis– serta dia sendiri menggunakannya dalam bidang flsafat.[29]Dan banyak karya-karya besar lainnya yang menidentifikasikan bahwa Aceh pernah menjadi sebagai pusat kajian keilmiahan yang masyhur melalui perhatian ulama dayah dengan lembaga dayahnya.
b.      Sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah.
             Ketika perang melawan kolonial Belanda meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh melawan tekanan-tekanan penjajah Belanda. Ketika para Sultan dan kaum uleebalang (kaum ninggrat) tidak sanggup lagi menjalankan roda pemerintahannya, para tentara menginginkan pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka. Maka saat itu ulama dayah dan dayahnya tampil sebagai benteng pertahanan yang cukup tangguh dan sulit ditembus oleh lawan.
Ulama dayah yang terkenal sebagai komandan perang antara lain Tgk. Abdul Wahab Tanoh Abee, Tgk. Chk Kuta Karang dan Tgk. Muhammad Saman (selanjutnya dikenal dengan Tgk. Chik di Tiro). Kontribusi mereka bagi tanah Aceh dalam menghadapi penetrasi penjajah sangat besar dan perlu dikenang oleh generasi selanjutnya, bahwa mereka adalah aneuk dayah yang menjelma menjadi panglima perang.
c.       Sebagai Agen Pembangunan.
Dalam beberapa waktu, beberapa lulusan dayah ada yang menjadi pemimpin formal yang duduk di kursi pemerintahan, di lain pihak ada juga yang menjadi pemimin informal. Biasanya mereka aktif dalam pembangunan masyarakat. Tradisi ini berlangsung sampai saat ini, meskipun alumni sekolah lain seperti madrasah dan sekolah umum juga dalam kehidupan masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah turut aktif dalam bidang ekonomi, khusunya bidang pertanian, sebagai contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin masyarakat membangun irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi dan Tgk. Chik di Rebee.[30]
Lulusan dayah telah menunjukkan bahwa mereka memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat dan berbagai kepentingan. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selama meudagang di dayah, mereka melewati pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman mereka ketika berada di kampung halaman. Jadi, lulusan dayah memiliki dua latar belakang kultur yang berbeda, di satu pihak realitas sosial yang mereka temui ketika berada di kampung dan di pihak lainsesuatu yang baru yang mereka pelajari di dayah. Dengan demikian mereka menemukan bagaimana konsep yang ideal dam membimbing masyarakat kala mereka terjun di kancah kemasyarakatan nantinya.

d.      Sebagai Sekolah Bagi Masyarakat
Belajar di dayah tidak membutuhkan dana yang banyak. Inilah yang menjadi faktor aternatif bagi masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Rakyat bisa belajar di dayah meskipun miskin. Umumnya, dayah-dayah tdak membebankan murid-muridnya untuk membayar uang pendidikan. Bagi murid yang fakir miskin dayah dengan sendirinya menyediakan makanan, yang diberikan oleh teungku (pimpinan dayah) atau dari masyarakat yang selalu siap membantu.
          Tidak seperti halnya dayah, sekolah meskipun bukan sekolah dasar dan madrasah mewajibkan murid-murid untuk membayar uang pendidikan. Sekolah-sekolah juga mewajibkan muruidnya untuk memakai pakaian seragam, hal mana menjadi berat bagi murid dari kalangan fakir miskin. Karena banyak tuntutan pengeluaran uang, bagi masyarakat menjadi alasan mengapa mereka memilih dayah sebagai tempat belajar. Lebih dari itu, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, belajar di dayah sangatlah komprehensif ketimbang belajar di tempat lain; karena dayah tidak hanya menawarkan materi agama Islam tetapi juga bimbingan spiritual dan latihan fisik. Sebagai guru, teungku bukan hanya bertanggungjawab dalam hal mengajar, namun juga berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, pelatih dan penolong. Hubungan antara murid dan guru lebih pada hubungan personal ketimbang hubungan birokrasi.


E. Penutup.
            Dayah dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam proses transmisi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi yang selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual di negeri Seuramo Meukkah.
            Di Aceh, ulama dan dayah tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dayah sudah menghasilkan berbagai lulusan agama semenjak pertama kali masyarakat muslim terbentuk di sana. Ulama dayah selalu merespons semua permasalahan yang terjadi di Aceh untuk membimbing masyarakat yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Konsistensi komitmen mereka kepada Aceh dan masyarakat telah membawa mereka menjadi kelompok yang dihormati dan berpengaruh di propinsi yang sekarang ini bernama Nanggroe Aceh Darussalam.
Wallahu a’lam


[1]Sebuah realitas bahwa Islam hadir ke nusantara dilakukan secara damai tanpa pendudukan wilayah oleh kekuatan militer. Islam dalam batasan tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak bertendensi apapun selain bertanggungjawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan sejarah dan prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran mereka. Ditambah lagi wilayah nusantara ini sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Oleh karena itu, wajar kalau terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam datang ke nusantara. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 7 – 8. 
[2]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 1.
[3]Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Membangun Kembali Jati Diri Ulama Aceh (Pengantar Penerjemah),” dalam M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. xi-xii.
[4]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2004), h. 29.
[5]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:Djambatan, 1992), h. 105.
[6]James T. Siegal, The Rope of God (Berkeley: 1969), h. 82 – 83.
[7]Anthony Reid, The Blood of The People: Revolution and The End of Tradisional Rule in Northern Sumatera (Kuala Lumpur: 1979), h. 7. 
[8]Muntasir, “Dayah Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh,” dalam Sarwah, vol II, h. 43.
[9]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 33.
[10]M. Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap Pembaruan Hukum Islam,” dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 119. 
[11]A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), h. 104.
[12]Amiruddin, Pranata Islam, h. 119.
[13]Ismuha,”Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah.” Dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja grafindo Persada, 1996),  h. 7.
[14]Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980), h. 211.
[15]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 34.
[16]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 125-126.
[17]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 7.
[18]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 3 (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 118.
[19]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 36 – 37. 
[20]Meudrah adalah suatu metode dimana murid datang satu per satu kepada seorang teungku rangkang dengan kitabnya atau copy teks (kurah) yang sedang mereka pelajari, kemudian teungku membaca teks, memberikan komentar dan catatan dalam bacaannya tersebut, lalu meminta murid untuk membaca kembali teks yang telah ia bacakan.
[21]Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: LIPI, 1987), h. 29.
[22]Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 52.
[23]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 144.
[24]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 51.
[25]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 128.
[26]Mengajar di suatu meunasah dan menjadi imam salat adalah pekerjaan suka rela. Dalam hal ini teungku tidak dibayar kecuali dari sedekah. penghasilan mereka sebagai guru tersebut didapatkan dari profesi sebagai pedagang atau petani; meski beberapa ulama yang memimpin dayah juga bekerja sebagai petani, tukang kayu, servis mekanik, dsb.
[27]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 42.
[28]Alyasa’ Abu Bakar dan Wamad Abdullah, “Manuskrip Dayah Tanoh Abee, kajian keislaman di Aceh pada masa kesultanan,” dalam Kajian Islam, No. 2. h. 35.
[29]Syed M. Naquib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990), h. 68.
[30]Baihaqin A.K, “Ulama dan Madrasah di Aceh.” dalam  Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 117. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar