Aceh merupakan
pintu gerbang awal bagi perkembangan ajaran Islam di nusantara.[1]
Islam begitu membumi di daerah ini setelah menampakkan keberadaannya di
tengah-tengan masyarakat dengan menjadikan Islam sebagai agama rakyat dan
sebagai agama resmi kerajaan yang berfungsi sebagai landasan dan azas pembinaan
adat, budaya dan karakter masyarakat yang santun. Melalui bimbingan ajaran
agama Islam secara komprehensif, masyarakat Aceh menjadi masyarakat madani yang
jujur, adil, ikhlas dan berani menegakkan kebenaran dan menentang segala bentuk
kebathilan dan kedhaliman.
Eksistensi Islam di
tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah memberikan warna tersendiri dalam
sejarah perkembangan sosio-kultural bagi masyarakat yang berada di propinsi
ujung utara pulau Sumatera. Secara historis,
Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalah (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[2]
Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalah (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[2]
Dalam
perkembangannya, agama Islam terus mengalami kemajuan dan begitu mengakar dalam
masyarakat melalui peran dan perjuangan para ulama. Hal ini dilakukan bersama
lembaga pendidikan yang dibangun , diasuh dan dibinanya, yakni Dayah.
Lembaga pendidikan ini di samping berperan sebagai tempat pembelajaran dan
mendidik kader ulama dan pemimpin Aceh secara berkesinambungan juga berperan
besar sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang banyak memberikan jasa dan prakarsa bagi
pemberdayaan masyarakat sekitarnya. Ini terbukti bahwa tidak saja pada masa
lampau, namun sampai saat ini alumni dayah tidak hanya berperan sebagai
pendidik tetapi juga sebagai tokoh panutan masyarakat.
B. Pengertian Ulama, Dayah, Meunasah dan Rangkang.
Sejak Islam pertama kali sampai ke Aceh, ulama telah memainkan peran
penting dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Aceh. Dalam hal ini, sejumlah
ahli memandang bahwa faktor jaringan ulama Haramain telah memberikan
warna intelektual di Aceh.
Kehadiran mereka saat itu juga sangat diharapkan oleh masyarakat guna mengajar mereka ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka akhirnya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga saat sebelum kedatangan penjajah dari benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyebarkan ajaran Islam ke daerah lain seperti Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja kemudian mengakibatkan Aceh semakin dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan bahan rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[3]
Kehadiran mereka saat itu juga sangat diharapkan oleh masyarakat guna mengajar mereka ajaran-ajaran Islam. Di samping itu, para ulama juga menjadi penasehat para raja. Dengan begitu, segala keputusan mereka akhirnya menjadi kebijakan kerajaan dalam bidang agama. Hingga saat sebelum kedatangan penjajah dari benua Eropa, ulama di Aceh telah dijadikan sebagai panutan dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam. Karena itu, tidak sedikit dari mereka yang kemudian menyebarkan ajaran Islam ke daerah lain seperti Sumatera Barat dan pulau Jawa. Diaspora ini tentu saja kemudian mengakibatkan Aceh semakin dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Bukan hanya disitu, karya-karya ulama yang tinggal di Aceh dijadikan bahan rujukan dalam tradisi keilmuan Islam di Nusantara.[3]
Istilah “Ulama”
adalah jamak dari ‘alim sebagai sighah mubalaghah, yang berarti orang
yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sesuatu. Kata ulama menunjukkan
kepada keahlian dan spesifikasi. Dengan demikian kata ‘alim berbeda dengan kata
‘alim yang berarti orang yang tahu tetapi belum tentu mendalam.[4]
Di dalam al Qur’an sendiri kata ulama, disebut hanya dua kali. Pertama dalam
surat al Fathr ayat 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Kedua dalam surat al Syu’ara ayat 197: “Dan
tidakkah cukup menjadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil
mengetahuinya.” Ayat 28 surat al Fathr berbicara dalam konteks fenomena
alam semesta dengan segala isinya, sedangkan ayat 197 surat al Syu’ara
berbicara dalam konteks bahwa kebenaran kandungan al Qur’an telah diakui
(diketahui) oleh ulama Bani Israil. Berdasarkan dua ayat tersebut dapatlah
dikedepankan bahwa alim ulama atau ulama itu, sesuai dengan makna kata ulama
itu sendiri yakni dari alima (mengetahui) adalah orang yang mempunyai
pengetahuan yang bersifat kauniyah maupun yang bersifat qur’aniyah[5]
Di Nanggroe Aceh Darussalam, ulama
memiliki posisi khusus di tengah-tengah masyarakat. Mereka bukan hanya sebagai
pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai otoritas yang menjadi rujukan
masyarakat dalam berbagai persoalan sosial budaya dan persoalan-persoalan
keseharian. Karena itu ulama dayah tersebut menjadi panutan rakyat dan memiliki
kharisma yang tinggi di mata masyarakat.
Lebih dari itu, di
era perjuangan, ulama dayah adalah sebagai kekuatan dalam melawan
penjajah. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje, seorang advisor pemerintah
kolonial Belanda, menyarankan kepada pemerintahannya untuk menekan para ulama
dan membatasi ruang gerak mereka hanya dalam bidang keagamaan dan seremonial
ibadat saja.[6]Orang
Aceh saat itu dianggap sebagai penjahat dan pembunuh oleh Belanda, karena
melawan pemerintahannya, meskipun bagi orang Aceh hal tersebut adalah bagian
dari perjuangan keagamaan mereka.[7]
Semua gerakan ini dimotori oleh para ulama, dan dayah adalah pusat
kekuatan dan sumber inspirasi bagi berbagai gagasan ke arah perjuangan dan
perubahan.
Lembaga pendidikan
khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang
pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama.
Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa
diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal
dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok[8]
Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat
Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw
berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami
sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena
itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tangah-tengah
masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada
saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari
kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam
di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan
bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh.[9] Di samping itu, nama lain dari dayah adalah
rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam
kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Ulama Dayah
merupakan suatu komunitas khusus di antara ulama Aceh. Mereka adalah alumni
dari dayah. Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan
orang yang menuntut ilmu di tempat/lembaga pendidikan lain, seperti lulusan
madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar di tempat kecuali dayah dan
mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern”,
walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.[10]
Sementara meunasah,
secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti
tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat
Aceh berobah menjadi meunasah.[11]
Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar
tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar
membaca al Qur’an.[12]Ismuha
mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah
yang ada di setiap desa atau kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan
Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat
lima waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan
keagamaan lainnya.[13]
Jadi kalau disebut sesorang sebagai teungku meunasah, maka dia adalah
orang yang mengajar mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah.
Taufik Abdullah, dalam Ismail Sunni,
mengatakan bahwa sebelum suatu kampung dibangun, mereka (masyarakat
Aceh) terlebih dahulu membangun meunasah sebagai tempat beribadah dan
belajar, baru kemudian mendirikan perkempungan. Di samping sebagai tempai
beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu tempat belajar tingkat
dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.[14]
C. Urgensitas Lembaga Pendidikan Dayah, Rangkang dan Meunasah.
. Kendati Dayah
atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau
di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini tidaklah persis
sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang historisnya. Pesantren
sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.[15]Masyarakat
Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip denagn pesantren yang
diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar
hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik.
Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan
nilai-nilai kepada cantriknya.[16]Kata
pesantren berasal dari “santri” yang berarti seorang yang belajar agama Islam,
demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama
Islam.[17]
Sedangkan surau di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli
Minangkabau yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era
Hindu – Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting dalam struktur
masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas keagamaan. Menurut
ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para remaja,
laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda.[18]Dengan
demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya memiliki latar belakang historis
yang berbeda, namun mempunyai fungsi yang sama.
Keberadaan lembaga dayah
dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen,
dan kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang
berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu
sarat dengan nilai. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan
Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia
untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang
diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin,
belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan
lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[19]
Pada masa
kesultanan Aceh, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, yakni rangkang
(junior), balee (senior), dan dayah manyang (universitas). Di
beberapa dayah hanya terdapat rangkang dan balee, sedangkan di
tempat lain hanya ditemui tingkat dayah manyang saja. Meskipun demikian
di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai junior sampai
universitas. Sebelum murid belajar di dayah, mereka harus sudah mampu
membaca al Qur’an yang mereka pelajari di rumah atau di meunasah dari
seorang teungku. Kepergian untuk menuntut ilmu agama di dayah
sering disebut dengan meudagang. Metode mengajar di dayah pada
dasarnya dengan oral, meudrah[20]
dan metode hafalan. Pada kelas yang lebih tinggi, metode diskusi dan
debat (meudeubat) sangat dianjurkan dalam segala aktifitas proses
belajar mengajar, dan ruang kelas hampir merupakan sebuah ruang seminar. Para teungku
biasanya berfungsi sebagai moderator, yang kadang-kadang juga berperan
sebagai pengambil keputusan.[21]
Santri (aneuk
dayah) biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukin/meudagang. Santri kalong merupakan bagian aneuk dayah yang
tidak menetap dalam pondok, tetap pulang ke rumah masing-masing setelah
belajar. Mereka biasanya berasal dari daerah sekitar dayah tersebut.
Sementara santri meudagang adalah putra dan putri yang tinggal menetap
dalam dayah dan biasanya berasal dari daerah jauh.[22]
Pendidikan dayah
terkesan sangat monoton dalam penyusunan kurikulum yang masih berorientasi
kepada sistem lama. Artinya kitab yang diajarkan adalah kitab-kitab abad
pertengahan. Secara keseluruhan di bidang kurikulum ternyata tidak ada perubahan
dan perkembangan, yang ada hanyalah pengulangan. Hal ini disebabkan pengaruh
dari pendahulu yang begitu kuat sehingga tidak ada tokoh dayah yang berani
untuk mengembangkan kurikulum yang representatif.
Sistem pendidikan
yang dikembangkan di dayah atau rangkang tidak berbeda dengan apa
yang dikembang di pesantren-pesantren di Jawa atau surau-surau di
Sumatera Barat, yakni bisa ditinjau dari berbagai segi, yaitu:
- Ditinjau dari segi materi pelajarannya, yang diajarkan adalah mata pelajaran agama semata-mata yang bertitik tolak kepada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana (kitab jawoe/kitab arab melayu) kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, tingkatan suatu dayah dapat diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[23] Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab-kitab Islam klasik yang di ajarkan di dayah, yakni 1) nahwu dan saraf (morfologi), 2) fiqh, 3) Ushul fiqh, 4) Hadist, 5) Tafsir, 6) Tauhid, 7) tasawuf dan etika, dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[24] Tinggi rendahnya ilmu seseorang diukur dari kitab yang dipelajarinya.
- Ditinjau dari segi metodenya adalah hafalan, meudrah dan muedeubat. Dalam tradisi pesantren di Jawa sering disebut sorogan dan wetonan.
- Ditinjau dari segi sistem pembelajaran adalah non-klasikal. Yakni santri (aneuk dayah) tidak dibagi berdasarkan tingkatan kelas, tetapi berdasarkan kitab yang dipelajarinya.
- Ditinjau dari segi manajemen pendidikan, maka di lembaga pendidikan ini tidak mengenal nomor induk pelajar, ada rapor, ada sertifikat dan lain sebagainya.[25]
Kebiasaan orang Aceh, belajar di dayah, atau
sering disebut meudagang, biasanya membutuhkan waktu yang tak terbatas.
Artinya seorang murid datang dan meninggalkan dayah kapan ia suka.
Beberapa aneuk dayah (santri) belajar di beberapa dayah,
berpindah dari satu dayah ke dayah lainnya, setelah belajar
beberapa tahun. Jumlah tahun yang dihabiskan oleh seorang murid tergantung pada
ketekunannya atau pengakuan guru bahwa murid itu telah selesai dalam studinya.
Kadang-kadang murid tersebut ingin melanjutkan studinya di dayah sampai
ia sanggup mendirikan dayahnya sendiri. Dalam kaitan ini, tidak ada
penghargaan secara diploma. Karena itu, setelah belajar dan mendapat pengakuan
dari teungku chik (pimpinan dayah) mereka terjun ke dunia masyarakat dan
bekerja sebagai teungku di meunasah-meunasah , menjadi da’i atau
imam-imam di mesjid-mesjid.[26]
D. Signifikansi Lembaga Dayah.
Realitas sejarah mengungkapkan bahwa lembaga dayah mempunyai
empat kegunaan yang sangat signifikan bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai pusat
belajar agama (the central of religious learning), sebagai benteng
terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah, sebagai agen pembangunan, dan
sebagai sekolah bagi masyarakat.[27]
a.
Sebagai pusat belajar agama. (the
central of religious learning)
Pada
abad ke-17 M, Aceh telah menjadi pusat kegiatan intelektual. Banyak sarjana
dari negara lain berbondong-bondong datang untuk balajar ke Aceh. Seorang ulama
terkenal syekh Muhammad Yusuf al Makkasari (1626 – 1699 M.), salah seorang
ulama tersohor diwaktunya di kepulauan Melayu pernah belajar di Aceh. Salah
satu tarekat yang pernah dipelajarinya di Aceh adalah tarekat al Qadiriyah.
Syekh Burhanuddin dari Minangkabau, yang kemudian menjadi ulama terkenal dan
menyebarkan agama Islam Ulakan mendirikan surau di Minangkabau, juga pernah
belajar di Aceh bawah bimbingan syekh Abdul Ra’uf al Singkili.
Atensi
ulama dayah terhadap ilmu-ilmu agama tidaklah pupus, walau kondisi
ekonomi dan politik era kesultanan Aceh mengalami masa kemunduran. Sebelum
kedatangan Belanda, dayah-dayah di Aceh sering dikunjungi oleh
masyarakat luar Aceh. Dari sejak Hamzah Fansuri sampai datangnya Belanda, ada
13 ulama dayah yang menulis kitab; karya yang ditulis jumlahnya 114 kitab.[28]Kitab-kitab
tersebut terdri dari berbagai subjek, seperti tasawuf, kala, logika, filsafat,
fiqh, hadist, tafsir, akhlaq, sejarah, tauhid, austronomi, obat-obatan, dan
masalah lingkungan. Bahkan menurut al Attas, bahasa Melayu juga dikembangkan pada
abad-abad tersebut. Hamzah Fansuri (1510 – 1580 M.) merupakan seorang pioner
dalam perkembangan bahasa ini –secara rasional dan sistematis– serta dia
sendiri menggunakannya dalam bidang flsafat.[29]Dan
banyak karya-karya besar lainnya yang menidentifikasikan bahwa Aceh pernah
menjadi sebagai pusat kajian keilmiahan yang masyhur melalui perhatian ulama
dayah dengan lembaga dayahnya.
b.
Sebagai benteng terhadap
kekuatan melawan penetrasi penjajah.
Ketika perang melawan kolonial
Belanda meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh
melawan tekanan-tekanan penjajah Belanda. Ketika para Sultan dan kaum uleebalang
(kaum ninggrat) tidak sanggup lagi menjalankan roda pemerintahannya, para
tentara menginginkan pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka
mempertahankan tanah air mereka. Maka saat itu ulama dayah dan dayahnya tampil
sebagai benteng pertahanan yang cukup tangguh dan sulit ditembus oleh lawan.
Ulama dayah yang terkenal
sebagai komandan perang antara lain Tgk. Abdul Wahab Tanoh Abee, Tgk. Chk Kuta
Karang dan Tgk. Muhammad Saman (selanjutnya dikenal dengan Tgk. Chik di Tiro).
Kontribusi mereka bagi tanah Aceh dalam menghadapi penetrasi penjajah sangat
besar dan perlu dikenang oleh generasi selanjutnya, bahwa mereka adalah aneuk
dayah yang menjelma menjadi panglima perang.
c.
Sebagai Agen Pembangunan.
Dalam
beberapa waktu, beberapa lulusan dayah ada yang menjadi pemimpin formal yang
duduk di kursi pemerintahan, di lain pihak ada juga yang menjadi pemimin
informal. Biasanya mereka aktif dalam pembangunan masyarakat. Tradisi ini
berlangsung sampai saat ini, meskipun alumni sekolah lain seperti madrasah dan
sekolah umum juga dalam kehidupan masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke
Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah turut aktif dalam bidang ekonomi,
khusunya bidang pertanian, sebagai contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin
masyarakat membangun irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi
dan Tgk. Chik di Rebee.[30]
Lulusan dayah
telah menunjukkan bahwa mereka memiliki perhatian yang besar terhadap
masyarakat dan berbagai kepentingan. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selama
meudagang di dayah, mereka melewati pengalaman baru yang berbeda dengan
pengalaman mereka ketika berada di kampung halaman. Jadi, lulusan dayah memiliki
dua latar belakang kultur yang berbeda, di satu pihak realitas sosial yang
mereka temui ketika berada di kampung dan di pihak lainsesuatu yang baru yang
mereka pelajari di dayah. Dengan demikian mereka menemukan bagaimana konsep
yang ideal dam membimbing masyarakat kala mereka terjun di kancah
kemasyarakatan nantinya.
d.
Sebagai Sekolah Bagi Masyarakat
Belajar
di dayah tidak membutuhkan dana yang banyak. Inilah yang menjadi faktor
aternatif bagi masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Rakyat bisa belajar
di dayah meskipun miskin. Umumnya, dayah-dayah tdak membebankan
murid-muridnya untuk membayar uang pendidikan. Bagi murid yang fakir miskin
dayah dengan sendirinya menyediakan makanan, yang diberikan oleh teungku (pimpinan
dayah) atau dari masyarakat yang selalu siap membantu.
Tidak seperti halnya dayah,
sekolah meskipun bukan sekolah dasar dan madrasah mewajibkan murid-murid untuk
membayar uang pendidikan. Sekolah-sekolah juga mewajibkan muruidnya untuk
memakai pakaian seragam, hal mana menjadi berat bagi murid dari kalangan fakir
miskin. Karena banyak tuntutan pengeluaran uang, bagi masyarakat menjadi alasan
mengapa mereka memilih dayah sebagai tempat belajar. Lebih dari itu,
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, belajar di dayah sangatlah komprehensif
ketimbang belajar di tempat lain; karena dayah tidak hanya menawarkan
materi agama Islam tetapi juga bimbingan spiritual dan latihan fisik. Sebagai
guru, teungku bukan hanya bertanggungjawab dalam hal mengajar, namun juga
berfungsi sebagai penasehat, pembimbing, pelatih dan penolong. Hubungan antara
murid dan guru lebih pada hubungan personal ketimbang hubungan birokrasi.
E.
Penutup.
Dayah dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam
proses transmisi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi
yang selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang
terjadi di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya
menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu
siap menjadi pengawal bagi terciptanya komunitas intelektual di negeri Seuramo
Meukkah.
Di Aceh, ulama dan dayah
tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dayah sudah menghasilkan
berbagai lulusan agama semenjak pertama kali masyarakat muslim terbentuk di
sana. Ulama dayah selalu merespons semua permasalahan yang terjadi di
Aceh untuk membimbing masyarakat yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Konsistensi komitmen mereka kepada Aceh dan masyarakat telah membawa mereka
menjadi kelompok yang dihormati dan berpengaruh di propinsi yang sekarang ini
bernama Nanggroe Aceh Darussalam.
Wallahu
a’lam
[1]Sebuah realitas bahwa Islam hadir ke nusantara dilakukan secara
damai tanpa pendudukan wilayah oleh kekuatan militer. Islam dalam batasan
tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama
(da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama
itu tidak bertendensi apapun selain bertanggungjawab menunaikan kewajiban tanpa
pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan sejarah
dan prasasti pribadi yang sengaja dibuat mereka untuk mengabadikan peran
mereka. Ditambah lagi wilayah nusantara ini sangat luas dengan perbedaan
kondisi dan situasi. Oleh karena itu, wajar kalau terjadi perbedaan pendapat
tentang kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam datang ke nusantara.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 7 – 8.
[2]M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe:
Nadiya Foundation, 2003), h. 1.
[3]Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Membangun Kembali Jati Diri Ulama Aceh
(Pengantar Penerjemah),” dalam M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal
Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. xi-xii.
[4]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung:
Citapustaka Media, 2004), h. 29.
[5]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia
(Jakarta:Djambatan, 1992), h. 105.
[6]James T. Siegal, The Rope of God (Berkeley: 1969), h. 82 –
83.
[7]Anthony Reid, The Blood of The People: Revolution and The End of
Tradisional Rule in Northern Sumatera (Kuala Lumpur: 1979), h. 7.
[8]Muntasir, “Dayah Dan Ulama Dalam Masyarakat Aceh,” dalam Sarwah, vol
II, h. 43.
[9]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 33.
[10]M. Hasbi Amiruddin, “Ulama Dayah: Peran dan Responnya terhadap
Pembaruan Hukum Islam,” dalam Dody S.Truna dan Ismatu Ropi (ed.), Pranata
Islam Di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 119.
[11]A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), h.
104.
[12]Amiruddin, Pranata Islam, h. 119.
[13]Ismuha,”Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah.” Dalam Taufik Abdullah
(ed.), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Raja grafindo Persada,
1996), h. 7.
[14]Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara
Karya Aksara, 1980), h. 211.
[15]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 34.
[16]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 125-126.
[17]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan
Madrasah (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 7.
[18]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, cet. 3 (Jakarta: Kalimah, 2001), h. 118.
[19]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 36 – 37.
[20]Meudrah adalah suatu metode dimana murid
datang satu per satu kepada seorang teungku rangkang dengan kitabnya atau copy
teks (kurah) yang sedang mereka pelajari, kemudian teungku membaca teks,
memberikan komentar dan catatan dalam bacaannya tersebut, lalu meminta murid
untuk membaca kembali teks yang telah ia bacakan.
[21]Rusdi Sufi, Pandangan dan Sikap Ulama di Daerah Istimewa Aceh (Jakarta:
LIPI, 1987), h. 29.
[22]Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 52.
[23]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h.
144.
[24]Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 51.
[25]Daulay, Dinamika Pendidikan, h. 128.
[26]Mengajar di suatu meunasah dan menjadi imam salat adalah pekerjaan
suka rela. Dalam hal ini teungku tidak dibayar kecuali dari sedekah.
penghasilan mereka sebagai guru tersebut didapatkan dari profesi sebagai
pedagang atau petani; meski beberapa ulama yang memimpin dayah juga bekerja
sebagai petani, tukang kayu, servis mekanik, dsb.
[27]Amiruddin, Ulama Dayah, h. 42.
[28]Alyasa’ Abu Bakar dan Wamad Abdullah, “Manuskrip Dayah Tanoh Abee,
kajian keislaman di Aceh pada masa kesultanan,” dalam Kajian Islam, No.
2. h. 35.
[29]Syed M. Naquib al Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudyaan Melayu
(Bandung: Mizan, 1990), h. 68.
[30]Baihaqin A.K, “Ulama dan Madrasah di Aceh.” dalam Taufik Abdullah (ed.), Agama dan Perubahan
Sosial (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 117.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar