Pemilihan Calon Gubernur SUMUT |
Dalam sistem
demokrasi akan terwadahi heterogenitas masyarakat baik dari sisi agama, etnik,
keragaman, ide, aliran pemikiran, ideologi dan semua produk pemikiran
manusia. Oleh karena sifat mayoritas
merupakan salah satu ukuran dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran
ditentukan oleh kemampuannya menjadi arus di masyarakat. Karena itu opini
publik menjadi sangat penting dalam demokrasi, sama pentingnya dengan lembaga
legislatif dan lembaga eksekutif. Artinya wacana publik harus dimenangkan dulu
sebelum memenangkan wacana legislasi dan memenuhi lembaga eksekutif.
Dalam kehidupan
demokrasi langsung dan pemilihan secara langsung maka pencitraan menjadi sangat
penting. Penilaian publik sebagai konstituen menjadi penentu bagi suatu tujuan
politik. Karenanya dalam demokrasi langsung, sebuah pencitraan harus dibangun
secara sistematis dan terukur untuk mencapai hasil yang maksimal.
Di samping itu,
faktor pendorong lainnya dalam memenangkan wacana publik adalah kemampuan
memobilisasi opini publik. Kenyataannya, dalam kehidupan politik menunjukkan
bahwa seorang pemimpin politik adalah orang yang memiliki kemampuan
memobilisasi opini publik; dan kegiatan memobilisasi opini publik adalah
komunikasi.[1]
Suatu akibat dari
ledakan teknologi komunikasi tercermin dalam perhatian pada efek media massa
pada masyarakat. Alat-alat elektronika yang canggih dikhawatirkan mempunyai
kekuatan mengendalikan pikiran orang. Untungnya, ketakutan ini telah
dilunakkan oleh pengkajian ilmiah yang
serius tentang efek media massa pada rakyat yang menerimanya.[2]
Diskursus yang
berkembang dan mengemuka dalam hal memenangkan wacana publik adalah; Haruskah
kita punya media kalau ingin memenangkan wacana publik? Pendapat yang
menyatakan bahwa media harus dimiliki untuk memenangkan wacana publik
mengemukakan bahwa media adalah alat yang sangat vital sebagai saluran untuk
pembentuk opini umum. Arus deras
informasi dari media massa akan dengan sedemikian rupa membentuk suatu opini
seperti yang diinginkan oleh si perancang pesan sehingga memperoleh dukungan
secara luas oleh publik.
Media massa
memiliki peranan yang amat menentukan dalam membentuk pendapat umum terhadap
suatu persoalan. Sesuatu yang sesungguhnya tidak terlalu penting namun dapat
berubah menjadi penting sebagai akibat dari opini publik yang dihasilkan oleh
media massa. Sama halnya orang yang sesungguhnya tidak terlalu menonjol akan
tetapi dapat menjadi orang penting dari hasil liputan media massa terhadap
dirinya.
Demikian pula
dengan keberagamaan. Wujud keberagamaan mengalami perubahan yang cukup drastis
pada masa belakangan ini, salah satunya sebagai akibat dari pendapat umum yang
dikemas media massa. Pada masa lalu, fenomena keberagamaan lebih banyak dilihat
sebagai kreatifitas masyarakat agraris dengan pola kehidupan yang dibentuk oleh
berbagai mitos dan legenda. Wacana keberagamaan lebih banyak dilihat sebagai
aktifitas kemanusiaan yang paling pribadi dan oleh karena itu tidak layak
difahami memiliki keterkaitan dengan pranata sosial, politik, ekonomi,
pendidikan, hukum, sosial dan sebagainya. Akan tetapi media massa mengkemas
penampilan keberagamaan itu dan akhirnya sekarang ini wujud keberagamaan telah
mengalami perubahan yang dahsat karena telah merambah bidang politik, ekonomi,
pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, entertainment dan
lain-lain. Bahkan terkadang penampilan agama itu menjadi kehilangan
sakralitas dan spiritualitas praktis. Tampilan agama dapat menjadi lunak atau
keras akan sangat tergantung bagaimana media massa mengkemasnya.[3]
Pendapat lain yang
berbeda menyebutkan bahwa tugas untuk memenangkan wacana publik tidak hanya
dapat disederhanakan dengan cara memiliki media. Karena memenangkan wacana
publik adalah jauh lebih besar dari itu yakni suatu seni tentang bagaimana
mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau bagaimana membuat
publik berfikir dengan cara yang diinginkan, bagaimana membuat publik
mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang dikenakan kepada mereka.[4]
Pikiran adalah
referensi yang diperlukan masyarakat untuk memberi arah, merasionalisasikan
sikap dan tindakan, membantu menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan
dan memberi solusi. Takkalah Uni Sovyet runtuh di awal dekade 90-an,
orang-orang Barat merayakannya sebagai suatu kemenangan kapitalisme dan ekonomi
pasar. Bagi mereka, komunisme tidak lagi sanggup menjawab tantangan zaman yang
dihadapi masyarakat. Komunisme mengalami masa sulit yang tidak kunjung selesai
manakala negara yang menyangganya kemudian mengalami kesulitan untuk tetap
bertahan.
Maka syarat pertama
yang harus dimiliki adalah kekayaan pikiran yang ditentukan oleh dua hal yakni
kekayaan orisinalitas referensi dan kemampuan mengekspresikan referensi dan
memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Umat Islam
memiliki yang pertama tetapi harus berlatih untuk memiliki yang kedua. Umat
Islam memiliki Alquran dan Sunnah, namun mesti berijtihad untuk menemukan
‘mutiara-mutiaranya’.
Sebuah pemikiran
dengan struktur yang solid akan berpengaruh pada tiga hal. Pertama, pada tingkat
kejelasan pikiran dalam benak kita pada keseluruhan susunan kesadaran kita.
Kedua, pada tingkat keyakinan kita terhadap pemikiran tersebut, yang biasanya
selalu tinggi. Ketiga pada kemampuan kita membahasakannya atau pada daya ungkap
yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut. Semakin jelas pemahaman kita
terhadap suatu pikiran, semakin sempurna kemampuan kita membahasakannya.
Kemampuan meyakinkan publik telah berkembang menjadi
sebuah pengetahuan baru yang dalam hal ini orang tidak lagi mempertanyakan
kebenaran dari sebuah pikiran, tetapi berpikir bagaimana menjadikannya sebagai
milik publik. Hal ini bertumpu kepada beberapa hal. Pertama pada penguasaan
teoretis terhadap pikiran kita tentang struktur pemikiran orang lain dan
varian-varian yang membentuknya. Kedua pada kejelian kita dalam menentukan entry
point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap pemikiran orang lain.
Ketiga pada kemampuan menemukan format bahasa yang tepat dengan struktur
kesadaran, bentuk logika, kecenderungan estetika, dan situasi psikologis serta
momentum yang mengkorelasi pikiran kita dengan suasana mereka. Inilah yang
disebut dengan seni mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat.[5] Inilah uraian dari
firman Allah yang berbunyi
Kami tidak mengutus
seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi
penjelasan dengan terang kepada mereka.[6]
Dalam pera aspek subjpesan dan cara penyampaian pesan tersebut. Sementara
aspek efek dari pesan yang dirancang berdasarkan Alquran dan Hadis adalah
sesuatu yang sejalur. Mahyuddin
Abd.Halim menulis bahwa komunikasi Islam adalah proses penyampaian atau
pengoperan hakikat kebenaran agama Islam kepada khalayak yang dilaksanakan
secara terus menerus dengan berpedoman kepada Alquran dan Al Sunnah baik secara
langsung atau tidak, melalui perantaraan media umum atau khusus, yang bertujuan
untuk membentuk pandangan umum yang benar berdasarkan hakikat kebenaran agama
dan memberi kesan kepada kehidupan seseorang dalam aspek aqidah, ibadah dan
muamalah.[10]
Aspek objek yang
dimaksud adalah kejujuran dalam berbicara, menepati janji, memenuhi amanah,
menjaga kemaluan, menundukkan pandangan, dan mengekang diri dari perbuatan
maksiat. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Musnand
Ahmad, IV/205:
”Diriwayatkan dari ’Ubadah bin Shamit
bahwa Nabi SAW bersabda: Berilah jaminan kepadaku enam hal dari kamu sekalian,
maka aku akan menjamin surga untuk kamu sekalian. Enam hal itu dalah 1)
berlakulah jujur jika berbicara, 2) tepatilah janji, jika kamu berjanji,
3)laksanakanlah (dengan baik) jika kamu diberi amanah (dipercaya), 4) jagalah
kemaluanmu, 5) tundukkanlah pandangan matamu, 6) kekanglah tanganmu (dari
melakukan perbuatan maksiat).[11] (H.R. Imam Ahmad)
Selanjutnya meskipun
dalam porsi dan dasar pemikiran yang berbeda, namun dua pendapat tentang media
massa ini sebetulnya memiliki persamaan yakni menjadikan media massa sebagai
alat untuk memenangkan wacana publik. Dalam dunia politik, tugas memenangkan
wacana publik ini juga tidak bisa dilepaskan dari peranan media massa. Ini sudah mulai
tampak mencolok di tahun 1968 ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon
memenangkan nominasi partainya berkat liputan televisi. Ada tiga staf Nixon
yang menonjol dalam hal ini, yakni Roger Ailes, Harry Treleaven dan Al Scott.
Dalam masyarakat ada
kelompok yang berjumlah banyak dan terus bertambah jumlahnya, sangat
mempercayai radio dan televisi. Mereka umumnya memiliki tingkat pendapatan dan tingkat
pendidikan yang sedang-sedang saja. Mereka inilah sasaran utama para pembujuk
profesional, karena pilihan mereka ditentukan oleh semenarik apa bujukan itu
dikemas. Inilah khalayak yang oleh Robert MacNeil dalam bukunya The People
Machine, sebagai kelompok yang tidak begitu canggih, namun pendidikannya
lebih banyak daripada generasi sebelumnya yang umumnya konservatif dan
cenderung pasif dalam masalah-masalah dunia. Karena mereka tidak memperhatikan
sesuatu dengan cara mendalam, mereka umumnya mudah percaya terhadap segala
sesuatu yang disampaikan kepada mereka.[12]
Pencitraan, dalam
masyarakat Indonesia pada umumnya sangat kental pada pengaruh pola keberagamaan
masyarakat. Identitas personal dan kelompok terlebih dahulu akan dikenali oleh
latar belakang agama, disusul latar belakang etnis dan seterusnya. Karena itu
berbicara tentang politik pencitraan maka tidak akan lepas dari berbicara
tentang agama dan keberagamaan.
Pada masa lalu pola
keberagamaan yang terdapat di kalangan umat Islam terdapat dua bentuk yakni
tradisional dan modernis. Tapi pada masa kini pola itu dapat berkembang lagi
dengan bentuk yang lain yaitu neo-tradisional, neo-modernis dan persaudaraan
religio-politik.
Pola neo-modernis
yaitu kelompok umat Islam yang ingin lebih menunjukkan kelebihan Islam dari
agama lain, sehingga selalu diupayakan titik temu antara konsep Islam dengan
pola kehidupan modern. Sehingga yang terjadi adalah rasionalisasi Islam guna
dilihat kaitannya dengan kehidupan modern. Dengan demikian, langkah ini adalah
merupakan pembenaran terhadap tesis yang mengatakan bahwa Islam adalah sesuai
untuk segala masa dan tempat (al Islam salihun likulli zaman wa makan).
Dalam sistem
demokrasi di Indonesia sekarang ini dikenal dengan pemilihan pemimpin secara
langsung baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Sumatera Utara di
tahun 2008 untuk pertama kalinya akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) untuk memilih secara langsung gubernur dan wakil gubernur periode
2008-2013.
Dalam Pilkada
Gubernur/Wakil Gubernur Sumatera Utara ini, politik pencitraan menjadi
kebutuhan para kandidat dalam mempengaruhi opini publik untuk menentukan
pilihannya. Sumatera Utara seperti halnya kota Medan sebagai ibukota provinsi
memiliki penduduk yang heterogen baik dari sisi agama maupun etnisitas. Empat
agama besar di mana dua di antaranya merupakan jumlah mayoritas yakni Islam dan
Kristen (Katolik dan Protestan) juga menjadi suatu faktor penentu dalam
Pilkada, di samping agama Budha dan Hindu yang juga memiliki komunitasnya di
kota Medan. Demikian juga penduduk kota Medan yang memiliki beragam etnis yang
jumlahnya sangat bervariasi. Sampai sejauh ini anggapan tersebut masih
mengental di masyarakat, bahwa agama dan etnisitas merupakan faktor penentu
dalam kemenangan pasangan kandidat yang berlaga dalam Pilkada. Maka semakin
marak pendekatan-pendekatan dari sisi agama dan etnisitas untuk meraih simpati
masyarakat pemilih.
Kenyataannya,
menjelang pelaksanaan Pilkada, kelompok-kelompok pengajian seperti halnya
kelompok-kelompok etnis akan ramai didatangi atau digunakan para kandidat untuk
tujuan kampanye baik secara terbuka maupun tertutup. Kegiatan ini secara
langsung dan tidak langsung melakukan upaya-upaya perekatan budaya untuk
mencari kesamaan dalam menentukan figur pemimpin daerah. Anggapan tersebut
muncul dari kesadaran-kesadaran pribadi yang membentuk atau berusaha membentuk
suatu kesadaran kolektif tentang dasar bagi seseorang untuk memilih seorang
kandidat akan didasarkan pada persamaan agama dan etnis. Kesadaran kolektif ini
sudah semestinya dilakukan penelusuran yang lebih mendalam dengan bersandarkan
pada penelitian dan kajian-kajian ilmiah.
Untuk itu sangat
menarik untuk dilakukan telaah atas pengaruh
berita-berita di surat kabar terbitan
Medan yang memuat tentang tokoh tertentu yang bertujuan untuk membentuk citra
yang baik di tengah masyarakat. Kota Medan merupakan daerah yang paling besar
perhatian masyarakatnya untuk membaca surat kabar karena menjadi daerah
penjualan surat kabar terbesar di Sumatera Utara, di samping memiliki jumlah
penduduk paling besar.
Karena itu perlu
diteliti bagaimana pengaruh berita tokoh pada surat kabar harian terbitan Medan
terhadap opini masyarakat tentang citra bakal calon Gubernur Sumatera Utara.
[1] Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 1992), h.159.
[2] B.Aubrey Fisher. Teori-teori Komunikasi (Bandung: PT.Remaja
Rosdakarya, 1990), h.179-180.
[3] M.Ridwan Lubis, “Signifikansi Media Massa Dalam Mendorong
Keberagamaan Sebagai Faktor Harmonisasi Dunia,” makalah seminar nasional Agama,
Media Massa, Dan Harmonisasi Dunia (Medan, 10 Januari 2004), h.1.
[4] Anis Matta, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih
Kemenangan (Jakarta: Penerbit Pustaka Saksi, 2002), h.37.
[5] Ibid., h.38-40.
[6] Q.S. Ibrahim/14: 4.
[7] Q.S. An Nisa’/4: 9.
[8] Q.S. Al Ahzab/33: 70.
[9] Q.S. An Nisa’/4: 63.
[10] Syukur Kholil, “Komunikasi dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan
Asari & Amroeni Drajat (Ed), Antologi Kajian Islam (Bandung: Citapustakan
Media, 2004) h.252.
[11] Said Agil Husin Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Studi
Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h.179.
[12] William L.Rivers, et. al.,Media Massa
dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), h.270.
Cara terbaik untuk membentuk opini publik adalah dengan berkarya.
BalasHapusMemanfaatkan media termasuk cara juga, tapi bukan andalan.