HUMANISM MENTAL DISCIPLINE
A.
Pendahuluan.
Teori Humanistic Mental Discipline merupakan salah satu
bentuk yang diambil oleh paham Discipline Mental yang berfokus pada
perkembangan manusia sebagai perkembangan mental. Pandangan ini muncul didasrkan
paham bahwa manusia itu terdiri dari dua elemen dasar penting yaitu tubuh
biologis dan kejiwaan.
Kajian ini menjadi penting untuk dibahas mengingat ia merupakan
salah satu teori besar yang terus berkembang sebelum hingga sesudah abad 21. Teori
Humanisme memberikan kontribusi dan pengaruh yang sangat besar dan signifikan
bagi dunia pendidikan di Eropa hingga kemudian meluas ke belahan dunia lainnya.
Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang teori dan paham
Humanisme dalam pendidikan yang merupakan bagian dari paham ajaran Disiplin
Mental. Kajian ini akan menyentuh beberapa sub kajian seperti: pengertian,
konsep dan ajaran; latar belakang kemunculan, tokoh-tokoh dan pandangannya;
hakikat, prinsip, metode dan ciri-ciri teori; keunggulan dan kelemahannya dalam
praktek; konsep dan pandangan tokoh Islam yang similar dengan teori;
kemungkinan penerapannya dalam praktek dan penutup yang berisi saran dan
kesimpulan.
B. Humanisme: Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan
Gagasan humanisme seperti yang kita kenal sekarang ini, berasal
dari Eropa. Gagasan ini berkembang pada zaman Renaisance (Kebangkitan ilmu
pengetahuan dan falsafah Yunani) Tetapi perlu diketahui bahwa pemikiran seperti
itu tidak muncul begitu saja tanpa munculnya ide-ide terkait lain yang mendahuluinya.[1] Sekalipun
demikian ide humanisme telah sejak zaman kuno berkembang dalam sejarah
peradaban umat manusia. Di Yunani ide serupa pada abad yang sama digagaskan
oleh Socrates, Plato dan Arustoteles. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat
banyak perbedaan antara humanisme yang difahami di Eropa dengan Humanisme dalam
Islam.[2]
Munculnya
Humanisme Klasik
Pada penutupan abad pertengahan, di jaman Renaisance, humanisme klasik
muncul sebagai upaya keras manusia untuk memahami alam dan dirinya sendiri. Katanya,
manusia merupakan hewan yang rasional, aktif dan netral, tumbuh dari dirinya
sendiri, mengikuti prinsip yang dibentuk dari bimbingan dalam berperilaku.
Dengan demikian maka belajar merupakan proses disiplin diri yang tetap,
meliputi harmonisasi perkembangan semua kekuatan yang melekat pada manusia.[3]
Di dalam humanisme klasik, prosedur pelaksanaan komunikasi (pendidikan
dan instruksional) yang paling populer adalah metode dari Socrates. Fungsi guru
adalah mengakui apa yang sudah disiapkan atau apa yang ada dalam pikiran murid.
Dalam berdialog, komunikator dari pihak mana pun, tidak boleh tidak, harus
mengakui ide atau gagasan-gagasan dari komunikannya, lawan diskusinya. Pengaruh
lingkungan dianggap tidak dominan dalam hal ini. Dalam metode Socratik dinyatakan
bahwa guru tidak mempunyai pengetahuan, atau setidaknya mengakui tidak
memberikan atau menanamkan informasi. Sebagai pengganti ia mencari dan
menggambarkan informasi dari murid-muridnya dengan cara mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan secara ahli.
Metodenya didasarkan pada prinsip bahwa pengetahuan adalah pembawaan
sejak lahir, namun kita tidak dapat memanggilnya kembali (recall) tanpa
bantuan keahlian. Konsep ini memang agak ekstrem, namun ada sisi-sisi
aplikasinya yang masih tampak.
C. Pengertian Umum Humanisme
Adapun humanisme, walaupun bentuknya beranekaragam, pada umumnya
memiliki tiga unsur seperti berikut:
Pertama: ‘Humanum’ yaitu
gambaran manusia dalam hakekatnya dan kedudukannya di dunia. Hakekat manusia
sering dikatakan sebagai pribadi merdeka, makhluq Tuhan, bahkan dalam Islam
disebut sebagai Khalifah atau Wakil Tuhan di dunia. Kedudukannya selaku
individu disebut ‘animal rational’ (hewan berakal, al-haywan al-natiq),
‘zoon politicon’ (binatang yang berpolitik), ‘animal symbolicum’ (binatang yang
menggunakan symbol-simbol), ‘homo faber’ (makhluq yang senang bekerja), ‘homo
eroticus’ (makhluq yang senang bercinta-cintaan) dls. Selaku individu itu
manusia merupakan unsur utama dalam kolektivitas (kehidupan bersama manusia
lain). Dengan kata lain ia disebut ‘anggota sosial’.
Kedua: Humanitas. Yaitu
hubungan baik dan harmonis antara seseorang dengan manusia lain yang ditandai
oleh kehalusan budi pekerti dan adab, pengertian, apresiasi, simpati,
kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan lain sebagainya.
Tiga: Humaniora, yaitu sarana
pendidikan untuk mencapai humanitas berupa ilmu pengetahuan budaya warisan
berbagai bangsa, termasuk warisan budaya bangsanya sendiri. Termasuk bidang
humaniora ialah ilmu-ilmu seperti sejarah, anthoropologi budaya, bahasa,
kesusastraan, seni, arkeologi, falsafah/filsafat, ilmu-ilmu keagamaan, dan lain
sebagainya.
D. Tokoh-Tokoh
Aliran Humanism Mental Discipline
Beberapa
tokoh yang menggagas dan mengembangkan paham Humanism Mental Discipline adalah
sebagai berikut:
- Plato.
- Aristoteles.
- Socrates.
- M.J. Adler
- Harry S. Btoudy
- R.M. Hutchius
- Cicero
E. Hakikat,
Prinsip, Metode, Ciri-Ciri, Konsep, Tujuan, dan Pandangan Tokoh Aliran
Humanisme
Hakikat
Humanism Mental Discipline merupakan sebuah pandangan dan pencarian tentang nilai-nilai humanime
klasik. Aliran ini berpandangan bahwa manusia itu bersifat neutral-active sejak
lahir. Manusia dilahirkan telah memiliki pengetahuan yang lengkap untuk melihat
dunia sebagai mana adanya. Alat yang digunakan untuk hal tersebut adalah mind
(pikiran). Karena itu pengajaran menurut aliran humanisme adalah cultivated
mind (mengeluarkan pengetahuan yang telah tertanam di dalam akal manusia).
Humanisme berkembang di Italia sekitar akhir abad
keempat belas sebelum akhirnya berkembang di Eropa Utara, kira-kira dua abad
setelah tradisi skolastisisme bercokol di universitas-universitas.[4] Kata ’humanisme’ di sini
hendaknya tidak dilihat sebagai pandangan filosofis yang mengangkat konsern dan
nilai-nilai kemanusiaan, melainkan sebagai sebuah gerakan budaya dan sastra
tertulis yang menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik.
Prinsip Paham Humanisme Mental Disiplin
Ada beberapa prinsip-prinsip dasar penting dalam aliran Humanisme Mental
Disiplin, antara lain:
- Manusia mempunyai pengetahuan lengkap sejak lahir.
- Fungsi guru adalah memberikan arah untuk memanggil kembali pengetahuan tersebut.
- Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang dipahaminya.
- Pengetahuan adalah prinsip kebenaran diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya.
- Karena kebenaran telah diwariskan, maka kebeneran terdapat di dalam literatur-literatus klasik. Karena itu mempelajari literatur klasik sangat penting dalam ajaran Humanisme.
Metode Pengajaran Aliran Humanisme Mental Disiplin
Beberapa metode yang diterapkan di sekolah-sekolah
yang menerapkan paham Humanisme Mental Disiplin, adalah sebagai berikut:
1. Menekankan pada pembelajaran literatur klasik.
Para tokoh
humanis adalah kelompok profesional dalam bidang tata bahasa, retorika, puisi,
sejarah, dan filsafat moral, atau yang biasa disebut studia humanitatis.
Gerakan humanisme ini dimulai ketika para dictatores, yakni para pengajar seni
menulis surat (ars dictaminis) dan ahli pidato
Abad Pertengahan, mencoba mengembangkan keterampilan mereka dengan berpaling
pada para pengarang klasik serta karya-karya mereka yang memiliki gaya bahasa yang elegan.
Untuk memahami karya-karya ini, mereka pun mulai mempelajari bahasa
Yunani dan Latin klasik. Maka bahasa adalah inti dan akar dari gerakan
humanisme Renaissance. Peradaban klasik ini kemudian menjadi tolok ukur standar
dan model bagi para tokoh humanisme dalam menuntun segala macam kegiatan
pendidikan dan budaya.
2. Guru berfungsi sebagai pengarah tidak sebagai pengajar.
3. Menekankan pada kemampuan berbicara yang fasih.
4. Pendidikan diarahkan kepada pembentukan kepribadian.
5.
kurikulum
sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik
Ciri-Ciri dan Pandangan Tokoh Humanisme
Sekurang-kurangnya ada dua ciri khas gerakan
humanisme. Ciri pertama dapat ditemukan dalam minat yang besar dan proyek untuk
melanjutkan dan mengembangkan tradisi retorika dalam dunia Barat. Tradisi ini,
yang umurnya sudah setua para Sofis Yunani, menekankan pentingnya peran para
ahli pidato (orators atau rhetoricians) dalam zaman klasik, yakni mereka yang
menyediakan bentuk paling umum pendidikan tinggi.
Dalam zaman klasik, orang cukup bisa membaca dan
berbicara dengan fasih untuk dipandang sebagai orang yang berpendidikan. Para
tokoh humanis mengembangkan sebuah keyakinan baru bahwa cara yang paling baik
untuk berbicara dengan fasih adalah dengan meniru para ahli pidato klasik,
khususnya Cicero
(106-43 SM). Dalam hal ini Renaissance dapat dikatakan sebagai era Ciceronisme
dalam mana studi dan peniruan terhadap gaya
retorika Cicero
sangat populer.
Dalam banyak karyanya, termasuk De Officiis
(Mengenai Tanggung Jawab Publik), Cicero
menekankan pentingnya kefasihan berbicara (eloquence): "Sebab, adakah hal
lain yang lebih baik daripada kefasihan berbicara dalam membangkitkan kekaguman
di antara para pendengarnya, harapan bagi orang yang sedang berkesusahan, atau
rasa syukur bagi mereka yang bernasib baik?"[5]
Para humanis setuju dengan apa yang diyakini Cicero, yakni keterampilan
dan cara beretorika yang baik, yang selain menyentuh akal budi juga menggugah
imajinasi dan emosi, akan membawa para pendengar ke arah tindakan yang positif.
Sementara karya-karya retorikanya memuat teori, orasi-orasi Cicero, surat-surat, serta dialog-dialognya
menjadi contoh konkret bagi banyak orang mengenai berbagai bentuk literatur
prosa.
Secara khusus para humanis menaruh minat pada
sintesa filsafat dan retorika dalam karya-karya Cicero. Semangat ini kemudian menjadi gagasan
ideal bagi para humanis, yakni kombinasi antara kefasihan berbicara (eloquence)
dan kebijaksanaan (wisdom), yang cukup banyak mewarnai corak literatur
Renaissance.
Ciri khas kedua Humanisme berkaitan erat dengan
tujuan umum pendidikan humanistik sebagai persiapan atas tugas pelayanan
publik. Yang ditanamkan di sini adalah keutamaan sivik (civic virtue). Dalam De
Officiis, Cicero
membangun relasi antara setiap individu dan seluruh komunitas umat manusia, dan
secara khusus antara seorang warga negara dan negaranya: "Tidak ada relasi
sosial yang lebih erat dan lebih intim daripada relasi yang menghubungkan kita
semua dengan negara kita."
Menurut Cicero, segala yang kita miliki, termasuk
bakat dan keterampilan kita, harus dibagi-bagikan kepada orang lain demi
perbaikan dan kesejahteraan seluruh masyarakat: "Seperti diungkapkan
dengan penuh kekaguman oleh Plato, kita dilahirkan bukan untuk diri kita
sendiri. Negara kita pun mengklaim bagian dari kita, demikian juga para sahabat
kita…. Kita, sebagai manusia, juga dilahirkan untuk manusia lainnya, supaya
kita dapat saling menolong satu sama lain. Dalam hal ini kita harus mengikuti
alam sebagai petunjuk, dalam memberikan sumbangan bagi kebaikan umum melalui
pertukaran tindakan baik (acts of kindness), dengan saling memberi dan
menerima. Dengan keterampilan, ketekunan, dan bakat yang kita miliki, dapatlah
kita merekatkan masyarakat manusia secara lebih dekat, dari pribadi ke
pribadi."[6]
Menurutnya bahwa pendidikan seharusnya diarahkan
kepada pembentukan kepribadian peserta didik: "Filsuf etika yang benar dan
guru keutamaan yang berguna adalah mereka yang maksud pertama dan terakhir
mereka adalah membuat pendengar dan pembaca menjadi baik. Mereka adalah
orang-orang yang tidak hanya mengajar apa itu keutamaan dan apa itu kejahatan
serta mendengungkan ke dalam telinga kita kehebatan nama yang satu [yakni
keutamaan] dan keburukan nama yang lain [kejahatan], melainkan juga menaburkan
ke dalam hati kita, cinta akan yang terbaik (the best) dan keinginan yang kuat
untuk memilikinya, dan pada saat yang sama kebencian terhadap yang terburuk
(the worst)dan bagaimana cara menjauhinya."
Keistimewaan dan Kelemahan Paham Humanisme
Beberapa keistimewaan paham Humanisme adalah sebagai berikut:
- konsepnya yang menyeluruh tentang manusia, pandangan dan perhatian terhadap isi pembelajaran dan mempunyai dasar-dasar filosofis yang relatif lebih lengkap dibandingkan teori lainnya.
- Cocok diterapkan pada materi-materi yang bertujuan untuk pembentukan kepribadian, retorika dan sebagainya.
- Suasana kelas lebih bergairah karena guru hanya bersifat sebagai pengarah bukan pengajar.
Di antara beberapa kelemahannya antara lain:
- Teori ini susah untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis.[7]
- Progres yang dialami seorang siswa dengan siswa lainnya akan jauh berbeda, karena siswa tidak diajar akan tetapi hanya diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan.
F. Paham Tokoh Muslim Yang Identik Dengan Aliran Humanisme
Karena persentuhan peradaban Islam dengan peradaban luar, termasuk
ajaran Humanisme, ada beberapa tokoh pendidikan Muslim yang ikut mengembangkan
ajaran-ajaran Humanisme yang kemudian diselaraskan dengan ajaran Islam. Di
antaranya al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10), , Ibn Rusyd (abad
ke-13) dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13). Mereka mendasarkan pemikirannya pada
sumber-sumber kitab suci al-Qur’an, diperkuat dengan ide-ide dari falsafah
Yunani dan Persia
yang berkembang sebelumnya. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat banyak
perbedaan antara humanisme yang difahami di Eropa dengan humanisme yang dan
dalam Islam.[8]
Berikut kami berikan contoh pemikiran al-Gazali, salah satu
pemikir pendidikan Islam yang ikut berkecimpung dalam mengembangkan ajaran
Humanisme dalam Islam.
Sebagaimana
ajaran Islam, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam harus bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mencari kehidupan dunia
yang semu, karena itu tujuan pendidikan menurut beliau haruslah berangkat dari
ketulusan demi mendapatkan ridho Allah Swt dan untuk menhindari penyakit hati
yang membawa manusia jauh dari ridho-Nya. Tujuan pendidikan yang menurut beliau
penting tentu akan mendapatkan balasan yangsetimpal dari Allah Swt yaitu
kehidupan Akhirat yang abadi.[9]
Pemikiran
beliau dapat kita lihat dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumuddin,
dalam kitab ini ada beberapa kategori, seperti :
1.
Eksistensi
guru merupakan keutamaan yang meninggalkan bagi si murid sebuah kemulian,
menurut beliau pekerjaan menjadi guru adalah perbuatan yang sangat mulia
sebagaimana mulianya ilmu dalam kehidupan manusia.
2.
Murid
sebagai objek ajar, haruslah meniatkan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt dan selanjutkannya agar memuliakan guru, merasa setubuh dengan
guru-gurunya lainnya sehingga menghilangkan starata sosial yang menumbuhkan
toleansi yang mulia. Menjauhkan diri dari mempelajari pikiran-pikiran(mazhab)
yang dapat membawa kepada kekacaun dalam berpikir
3.
Kurikulum
sebagai aturan pendidikan dianjurkan untuk tidak mempelajari ilmu sihir, Nujum,
dan ilmu perdukunan, hal tersebut dapat menimbulkan sikap syirik dan takabbur,
tetapi ilmu yangharus dituntut adalah ilmu yang tentang ketauhidan dan
ilmu-ilmu agama lainnya sebagaimana jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada
Allah Swt, kemudian beliau mengkaterikan ilmu menjadi dua kategori yaitu
sebagaimana beliau mengkategorikannnya menjadi ilmu Wajib Ain dan ilmu
yang Wajib Kifayah.[10]
4.
Metode
Pengajaran, beliau menekankan pada metode kharismatik guru sebagai percontohan
bagi murid karena kesuksesan dalam proses belajar itu dikarenakan kemahiran dan
kepintaran guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu melalui metode yang tepat sasaran.[11]
Dari
pemikiran beliau diatas ada beberapa penekanan dalam nenentukan sikap dalam
mempelajari ilmu pengetahuan, yang diantaranya adalah penekanan ketika
menumbuhkan jiwa yang ikhlas sehingga manusia dapat mendekatkan diri kepada
Allah juga Allah Swt senantiada ridho disetiap pekerjaan, kristalisasi dari
pemikiran beliau adalah identik dengan aliran sufisme.
G. Peluang Penerapan Teori
Humanisme pada Pendidikan Agama di Sekolah dan Madrasah.
Di atas telah disebutkan beberapa prinsip paham Humanisme. Meski ada
beberapa prinsip lain yang bisa disimpulkan dari paham Humanisme, namun
prinsip-prinsip tersebut di atas oleh penulis dianggap telah mewakili prinsip
praktek ajaran Humanisme di sekolah.
Faktanya, praktek ajaran Humanisme tetap terlihat di sekolah-sekolah
khususnya di Pesantren. Pesantren-pesantren, bahkan perguruan tinggi banyak
mengkaji pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam literatur-literatur klasik,
seolah-olah merupakan sebuah kebenaran persisi seperti yang ajarkan oleh paham
Humanisme.
Meski demikian, ajaran-ajaran Humanisme yang diterapkan di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak sepenuhnya sama dengan Humanisme
yang kita kaji. Meski di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mempelajari
literatur-literatur klasik sebagai sumber kebenaran, akan tetapi guru tidak
hanya berfungsi sebagai pengarah akan tetapi juga sebagai pemberi informasi.
Tampaknya di Indonesia, prinsip pengetahuan telah dimiliki oleh setiap
manusia sejak lahir tidak dianut dan diterapkan. Manusia bagaikan wadah kosong
yang akan berubah corak sesuai dengan pengaruh lingkungan.
Paham murni Humanisme murni untuk diterapkan di sekolah-sekolah
peluangnya sangat kecil. Namun dengan modifikasi dan kombinasi dengan ajaran
lain, paham Humanisme sangat mungkin untuk diterapkan.
H. Penutup
Gagasan
humanisme berasal dari Eropa. Paham ini digagas oleh Socrates, Plato dan
Arustoteles. Beberapa tokoh muslim yang juga memiliki pemikiran yang identik
dengan ajaran Humanisme adalah al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10),
Imam al-Ghazali (abad ke-11-12) , Ibn Rusyd (abad ke-13) dan Jalaluddin Rumi
(abad ke-13).
Kata ’humanisme’ dalam pandangan
filosofis adalah konsern terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dalam pendidikan
“Humanisme” dipahami sebagai sebuah gerakan budaya dan sastra tertulis yang
menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik.
Secara khusus para humanis menaruh minat pada
sintesa filsafat dan retorika. Semangat ini kemudian menjadi gagasan ideal bagi
para humanis, yakni kombinasi antara kefasihan berbicara (eloquence) dan
kebijaksanaan (wisdom).
Dalam pandangan aliran Humanisme, manusia terlahir dengan kemampuan yang
bisa menempatkan diri sebagai makhluk sempurna, mempunyai pengetahuan dan
kemampuan untuk melihat dunia bagimana adanya. Manusia adalah hewan rasional.
Daftar Pustaka
Bahruddin
dan Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2007.
Bigge,
Moris, Learning Theories for Teacher. New York: Harper & Row Publisher, 1817
Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller. Cambridge: Harvard
University Press, 1961.
Hamid, Abdul, Teori Belajar dan Pembelajaran . Medan: PPS Unimed, 2007.
Haskins,
Charles Homer, The Renaissance
of the Twelfth Century.
Cambridge: Harvard University
Press, 1928.
Humanisme Barat dan Cina Artikel dalam www.icasonline.com didownload pada 14
Oktober 2008.
Kristeller, Paul Oskar, Renaissance Thought and Its Sources, ed. Michael Mooney. New York: Columbia University
Press, 1979.
Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.
____________,
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Raja Grafindo Persada, 1998.
.
[1] Lihat Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources, ed. Michael
Mooney (New
York: Columbia University Press, 1979), h. 20.
[3] Moris Bigge, Learning
Theories for Teacher (New York: Harper & Row Publisher, 1817), h. 31.
[4] Charles Homer Haskins, The Renaissance of the Twelfth
Century (Cambridge: Harvard University Press, 1928), 369.
[7] Abdul Hamid, Teori
Belajar dan Pembelajaran (Medan:
PPS Unimed, 2007), h. 36.
[9]Abuddin Nata,Filsafat
Pendidikan Islam(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997),h.163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar