Pages

Rabu, 05 September 2012

HUMANISM MENTAL DISCIPLINE

HUMANISM MENTAL DISCIPLINE
 
A. Pendahuluan.
Teori Humanistic Mental Discipline merupakan salah satu bentuk yang diambil oleh paham Discipline Mental yang berfokus pada perkembangan manusia sebagai perkembangan mental. Pandangan ini muncul didasrkan paham bahwa manusia itu terdiri dari dua elemen dasar penting yaitu tubuh biologis dan kejiwaan.
Kajian ini menjadi penting untuk dibahas mengingat ia merupakan salah satu teori besar yang terus berkembang sebelum hingga sesudah abad 21. Teori Humanisme memberikan kontribusi dan pengaruh yang sangat besar dan signifikan bagi dunia pendidikan di Eropa hingga kemudian meluas ke belahan dunia lainnya.

Makalah ini akan mencoba menguraikan tentang teori dan paham Humanisme dalam pendidikan yang merupakan bagian dari paham ajaran Disiplin Mental. Kajian ini akan menyentuh beberapa sub kajian seperti: pengertian, konsep dan ajaran; latar belakang kemunculan, tokoh-tokoh dan pandangannya; hakikat, prinsip, metode dan ciri-ciri teori; keunggulan dan kelemahannya dalam praktek; konsep dan pandangan tokoh Islam yang similar dengan teori; kemungkinan penerapannya dalam praktek dan penutup yang berisi saran dan kesimpulan.

B. Humanisme: Pengertian dan Latar Belakang Kemunculan
Gagasan humanisme seperti yang kita kenal sekarang ini, berasal dari Eropa. Gagasan ini berkembang pada zaman Renaisance (Kebangkitan ilmu pengetahuan dan falsafah Yunani) Tetapi perlu diketahui bahwa pemikiran seperti itu tidak muncul begitu saja tanpa munculnya ide-ide terkait lain yang mendahuluinya.[1] Sekalipun demikian ide humanisme telah sejak zaman kuno berkembang dalam sejarah peradaban umat manusia. Di Yunani ide serupa pada abad yang sama digagaskan oleh Socrates, Plato dan Arustoteles. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat banyak perbedaan antara humanisme yang difahami di Eropa dengan Humanisme dalam Islam.[2]
Munculnya Humanisme Klasik
Pada penutupan abad pertengahan, di jaman Renaisance, humanisme klasik muncul sebagai upaya keras manusia untuk memahami alam dan dirinya sendiri. Katanya, manusia merupakan hewan yang rasional, aktif dan netral, tumbuh dari dirinya sendiri, mengikuti prinsip yang dibentuk dari bimbingan dalam berperilaku. Dengan demikian maka belajar merupakan proses disiplin diri yang tetap, meliputi harmonisasi perkembangan semua kekuatan yang melekat pada manusia.[3]
Di dalam humanisme klasik, prosedur pelaksanaan komunikasi (pendidikan dan instruksional) yang paling populer adalah metode dari Socrates. Fungsi guru adalah mengakui apa yang sudah disiapkan atau apa yang ada dalam pikiran murid. Dalam berdialog, komunikator dari pihak mana pun, tidak boleh tidak, harus mengakui ide atau gagasan-gagasan dari komunikannya, lawan diskusinya. Pengaruh lingkungan dianggap tidak dominan dalam hal ini. Dalam metode Socratik dinyatakan bahwa guru tidak mempunyai pengetahuan, atau setidaknya mengakui tidak memberikan atau menanamkan informasi. Sebagai pengganti ia mencari dan menggambarkan informasi dari murid-muridnya dengan cara mengarahkan pertanyaan-pertanyaan secara ahli.
Metodenya didasarkan pada prinsip bahwa pengetahuan adalah pembawaan sejak lahir, namun kita tidak dapat memanggilnya kembali (recall) tanpa bantuan keahlian. Konsep ini memang agak ekstrem, namun ada sisi-sisi aplikasinya yang masih tampak.

C. Pengertian Umum Humanisme
Adapun humanisme, walaupun bentuknya beranekaragam, pada umumnya memiliki tiga unsur seperti berikut:
Pertama: ‘Humanum’ yaitu gambaran manusia dalam hakekatnya dan kedudukannya di dunia. Hakekat manusia sering dikatakan sebagai pribadi merdeka, makhluq Tuhan, bahkan dalam Islam disebut sebagai Khalifah atau Wakil Tuhan di dunia. Kedudukannya selaku individu disebut ‘animal rational’ (hewan berakal, al-haywan al-natiq), ‘zoon politicon’ (binatang yang berpolitik), ‘animal symbolicum’ (binatang yang menggunakan symbol-simbol), ‘homo faber’ (makhluq yang senang bekerja), ‘homo eroticus’ (makhluq yang senang bercinta-cintaan) dls. Selaku individu itu manusia merupakan unsur utama dalam kolektivitas (kehidupan bersama manusia lain). Dengan kata lain ia disebut ‘anggota sosial’.
Kedua: Humanitas. Yaitu hubungan baik dan harmonis antara seseorang dengan manusia lain yang ditandai oleh kehalusan budi pekerti dan adab, pengertian, apresiasi, simpati, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan lain sebagainya.
Tiga: Humaniora, yaitu sarana pendidikan untuk mencapai humanitas berupa ilmu pengetahuan budaya warisan berbagai bangsa, termasuk warisan budaya bangsanya sendiri. Termasuk bidang humaniora ialah ilmu-ilmu seperti sejarah, anthoropologi budaya, bahasa, kesusastraan, seni, arkeologi, falsafah/filsafat, ilmu-ilmu keagamaan, dan lain sebagainya.

D. Tokoh-Tokoh Aliran Humanism Mental Discipline
Beberapa tokoh yang menggagas dan mengembangkan paham Humanism Mental Discipline adalah sebagai berikut:
  1. Plato.
  2. Aristoteles.
  3. Socrates.
  4. M.J. Adler
  5. Harry S. Btoudy
  6. R.M. Hutchius
  7. Cicero

E. Hakikat, Prinsip, Metode, Ciri-Ciri, Konsep, Tujuan, dan Pandangan Tokoh Aliran Humanisme
Hakikat
Humanism Mental Discipline merupakan sebuah pandangan dan pencarian tentang nilai-nilai humanime klasik. Aliran ini berpandangan bahwa manusia itu bersifat neutral-active sejak lahir. Manusia dilahirkan telah memiliki pengetahuan yang lengkap untuk melihat dunia sebagai mana adanya. Alat yang digunakan untuk hal tersebut adalah mind (pikiran). Karena itu pengajaran menurut aliran humanisme adalah cultivated mind (mengeluarkan pengetahuan yang telah tertanam di dalam akal manusia).
Humanisme berkembang di Italia sekitar akhir abad keempat belas sebelum akhirnya berkembang di Eropa Utara, kira-kira dua abad setelah tradisi skolastisisme bercokol di universitas-universitas.[4] Kata ’humanisme’ di sini hendaknya tidak dilihat sebagai pandangan filosofis yang mengangkat konsern dan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan sebagai sebuah gerakan budaya dan sastra tertulis yang menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik.
Prinsip Paham Humanisme Mental Disiplin
Ada beberapa prinsip-prinsip dasar penting dalam aliran Humanisme Mental Disiplin, antara lain:
    1. Manusia mempunyai pengetahuan lengkap sejak lahir.
    2. Fungsi guru adalah memberikan arah untuk memanggil kembali pengetahuan tersebut.
    3. Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang dipahaminya.
    4. Pengetahuan adalah prinsip kebenaran diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya.
    5. Karena kebenaran telah diwariskan, maka kebeneran terdapat di dalam literatur-literatus klasik. Karena itu mempelajari literatur klasik sangat penting dalam ajaran Humanisme.
Metode Pengajaran Aliran Humanisme Mental Disiplin
Beberapa metode yang diterapkan di sekolah-sekolah yang menerapkan paham Humanisme Mental Disiplin, adalah sebagai berikut:
1.       Menekankan pada pembelajaran literatur klasik.
Para tokoh humanis adalah kelompok profesional dalam bidang tata bahasa, retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral, atau yang biasa disebut studia humanitatis. Gerakan humanisme ini dimulai ketika para dictatores, yakni para pengajar seni menulis surat (ars dictaminis) dan ahli pidato Abad Pertengahan, mencoba mengembangkan keterampilan mereka dengan berpaling pada para pengarang klasik serta karya-karya mereka yang memiliki gaya bahasa yang elegan.
Untuk memahami karya-karya ini, mereka pun mulai mempelajari bahasa Yunani dan Latin klasik. Maka bahasa adalah inti dan akar dari gerakan humanisme Renaissance. Peradaban klasik ini kemudian menjadi tolok ukur standar dan model bagi para tokoh humanisme dalam menuntun segala macam kegiatan pendidikan dan budaya.
2.      Guru berfungsi sebagai pengarah tidak sebagai pengajar.
3.      Menekankan pada kemampuan berbicara yang fasih.
4.      Pendidikan diarahkan kepada pembentukan kepribadian.
5.      kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik
Ciri-Ciri dan Pandangan Tokoh Humanisme
Sekurang-kurangnya ada dua ciri khas gerakan humanisme. Ciri pertama dapat ditemukan dalam minat yang besar dan proyek untuk melanjutkan dan mengembangkan tradisi retorika dalam dunia Barat. Tradisi ini, yang umurnya sudah setua para Sofis Yunani, menekankan pentingnya peran para ahli pidato (orators atau rhetoricians) dalam zaman klasik, yakni mereka yang menyediakan bentuk paling umum pendidikan tinggi.
Dalam zaman klasik, orang cukup bisa membaca dan berbicara dengan fasih untuk dipandang sebagai orang yang berpendidikan. Para tokoh humanis mengembangkan sebuah keyakinan baru bahwa cara yang paling baik untuk berbicara dengan fasih adalah dengan meniru para ahli pidato klasik, khususnya Cicero (106-43 SM). Dalam hal ini Renaissance dapat dikatakan sebagai era Ciceronisme dalam mana studi dan peniruan terhadap gaya retorika Cicero sangat populer.
Dalam banyak karyanya, termasuk De Officiis (Mengenai Tanggung Jawab Publik), Cicero menekankan pentingnya kefasihan berbicara (eloquence): "Sebab, adakah hal lain yang lebih baik daripada kefasihan berbicara dalam membangkitkan kekaguman di antara para pendengarnya, harapan bagi orang yang sedang berkesusahan, atau rasa syukur bagi mereka yang bernasib baik?"[5]
Para humanis setuju dengan apa yang diyakini Cicero, yakni keterampilan dan cara beretorika yang baik, yang selain menyentuh akal budi juga menggugah imajinasi dan emosi, akan membawa para pendengar ke arah tindakan yang positif. Sementara karya-karya retorikanya memuat teori, orasi-orasi Cicero, surat-surat, serta dialog-dialognya menjadi contoh konkret bagi banyak orang mengenai berbagai bentuk literatur prosa.
Secara khusus para humanis menaruh minat pada sintesa filsafat dan retorika dalam karya-karya Cicero. Semangat ini kemudian menjadi gagasan ideal bagi para humanis, yakni kombinasi antara kefasihan berbicara (eloquence) dan kebijaksanaan (wisdom), yang cukup banyak mewarnai corak literatur Renaissance.
Ciri khas kedua Humanisme berkaitan erat dengan tujuan umum pendidikan humanistik sebagai persiapan atas tugas pelayanan publik. Yang ditanamkan di sini adalah keutamaan sivik (civic virtue). Dalam De Officiis, Cicero membangun relasi antara setiap individu dan seluruh komunitas umat manusia, dan secara khusus antara seorang warga negara dan negaranya: "Tidak ada relasi sosial yang lebih erat dan lebih intim daripada relasi yang menghubungkan kita semua dengan negara kita."
Menurut Cicero, segala yang kita miliki, termasuk bakat dan keterampilan kita, harus dibagi-bagikan kepada orang lain demi perbaikan dan kesejahteraan seluruh masyarakat: "Seperti diungkapkan dengan penuh kekaguman oleh Plato, kita dilahirkan bukan untuk diri kita sendiri. Negara kita pun mengklaim bagian dari kita, demikian juga para sahabat kita…. Kita, sebagai manusia, juga dilahirkan untuk manusia lainnya, supaya kita dapat saling menolong satu sama lain. Dalam hal ini kita harus mengikuti alam sebagai petunjuk, dalam memberikan sumbangan bagi kebaikan umum melalui pertukaran tindakan baik (acts of kindness), dengan saling memberi dan menerima. Dengan keterampilan, ketekunan, dan bakat yang kita miliki, dapatlah kita merekatkan masyarakat manusia secara lebih dekat, dari pribadi ke pribadi."[6]
Menurutnya bahwa pendidikan seharusnya diarahkan kepada pembentukan kepribadian peserta didik: "Filsuf etika yang benar dan guru keutamaan yang berguna adalah mereka yang maksud pertama dan terakhir mereka adalah membuat pendengar dan pembaca menjadi baik. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya mengajar apa itu keutamaan dan apa itu kejahatan serta mendengungkan ke dalam telinga kita kehebatan nama yang satu [yakni keutamaan] dan keburukan nama yang lain [kejahatan], melainkan juga menaburkan ke dalam hati kita, cinta akan yang terbaik (the best) dan keinginan yang kuat untuk memilikinya, dan pada saat yang sama kebencian terhadap yang terburuk (the worst)dan bagaimana cara menjauhinya."
Keistimewaan dan Kelemahan Paham Humanisme
Beberapa keistimewaan paham Humanisme adalah sebagai berikut:
  1. konsepnya yang menyeluruh tentang manusia, pandangan dan perhatian terhadap isi pembelajaran dan mempunyai dasar-dasar filosofis yang relatif lebih lengkap dibandingkan teori lainnya.
  2. Cocok diterapkan pada materi-materi yang bertujuan untuk pembentukan kepribadian, retorika dan sebagainya.
  3. Suasana kelas lebih bergairah karena guru hanya bersifat sebagai pengarah bukan pengajar.
Di antara beberapa kelemahannya antara lain:
  1. Teori ini susah untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis.[7]
  2. Progres yang dialami seorang siswa dengan siswa lainnya akan jauh berbeda, karena siswa tidak diajar akan tetapi hanya diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan.

F. Paham Tokoh Muslim Yang Identik Dengan Aliran Humanisme
Karena persentuhan peradaban Islam dengan peradaban luar, termasuk ajaran Humanisme, ada beberapa tokoh pendidikan Muslim yang ikut mengembangkan ajaran-ajaran Humanisme yang kemudian diselaraskan dengan ajaran Islam. Di antaranya al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10), , Ibn Rusyd (abad ke-13) dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13). Mereka mendasarkan pemikirannya pada sumber-sumber kitab suci al-Qur’an, diperkuat dengan ide-ide dari falsafah Yunani dan Persia yang berkembang sebelumnya. Terdapat persamaan, sekaligus terdapat banyak perbedaan antara humanisme yang difahami di Eropa dengan humanisme yang dan dalam Islam.[8]
Berikut kami berikan contoh pemikiran al-Gazali, salah satu pemikir pendidikan Islam yang ikut berkecimpung dalam mengembangkan ajaran Humanisme dalam Islam.
Sebagaimana ajaran Islam, beliau berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam harus bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bukan untuk mencari kehidupan dunia yang semu, karena itu tujuan pendidikan menurut beliau haruslah berangkat dari ketulusan demi mendapatkan ridho Allah Swt dan untuk menhindari penyakit hati yang membawa manusia jauh dari ridho-Nya. Tujuan pendidikan yang menurut beliau penting tentu akan mendapatkan balasan yangsetimpal dari Allah Swt yaitu kehidupan Akhirat yang abadi.[9]
Pemikiran beliau dapat kita lihat dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumuddin, dalam kitab ini ada beberapa kategori, seperti :
1.       Eksistensi guru merupakan keutamaan yang meninggalkan bagi si murid sebuah kemulian, menurut beliau pekerjaan menjadi guru adalah perbuatan yang sangat mulia sebagaimana mulianya ilmu dalam kehidupan manusia.
2.      Murid sebagai objek ajar, haruslah meniatkan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan selanjutkannya agar memuliakan guru, merasa setubuh dengan guru-gurunya lainnya sehingga menghilangkan starata sosial yang menumbuhkan toleansi yang mulia. Menjauhkan diri dari mempelajari pikiran-pikiran(mazhab) yang dapat membawa kepada kekacaun dalam berpikir
3.      Kurikulum sebagai aturan pendidikan dianjurkan untuk tidak mempelajari ilmu sihir, Nujum, dan ilmu perdukunan, hal tersebut dapat menimbulkan sikap syirik dan takabbur, tetapi ilmu yangharus dituntut adalah ilmu yang tentang ketauhidan dan ilmu-ilmu agama lainnya sebagaimana jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, kemudian beliau mengkaterikan ilmu menjadi dua kategori yaitu sebagaimana beliau mengkategorikannnya menjadi ilmu Wajib Ain dan ilmu yang Wajib Kifayah.[10]
4.      Metode Pengajaran, beliau menekankan pada metode kharismatik guru sebagai percontohan bagi murid karena kesuksesan dalam proses belajar itu dikarenakan kemahiran dan kepintaran guru dalam mengajarkan ilmu-ilmu melalui metode yang tepat sasaran.[11]
Dari pemikiran beliau diatas ada beberapa penekanan dalam nenentukan sikap dalam mempelajari ilmu pengetahuan, yang diantaranya adalah penekanan ketika menumbuhkan jiwa yang ikhlas sehingga manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah juga Allah Swt senantiada ridho disetiap pekerjaan, kristalisasi dari pemikiran beliau adalah identik dengan aliran sufisme.

G. Peluang Penerapan  Teori Humanisme pada Pendidikan Agama di Sekolah dan Madrasah.
Di atas telah disebutkan beberapa prinsip paham Humanisme. Meski ada beberapa prinsip lain yang bisa disimpulkan dari paham Humanisme, namun prinsip-prinsip tersebut di atas oleh penulis dianggap telah mewakili prinsip praktek ajaran Humanisme di sekolah.
Faktanya, praktek ajaran Humanisme tetap terlihat di sekolah-sekolah khususnya di Pesantren. Pesantren-pesantren, bahkan perguruan tinggi banyak mengkaji pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam literatur-literatur klasik, seolah-olah merupakan sebuah kebenaran persisi seperti yang ajarkan oleh paham Humanisme.
Meski demikian, ajaran-ajaran Humanisme yang diterapkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi tidak sepenuhnya sama dengan Humanisme yang kita kaji. Meski di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi mempelajari literatur-literatur klasik sebagai sumber kebenaran, akan tetapi guru tidak hanya berfungsi sebagai pengarah akan tetapi juga sebagai pemberi informasi.
Tampaknya di Indonesia, prinsip pengetahuan telah dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir tidak dianut dan diterapkan. Manusia bagaikan wadah kosong yang akan berubah corak sesuai dengan pengaruh lingkungan.
Paham murni Humanisme murni untuk diterapkan di sekolah-sekolah peluangnya sangat kecil. Namun dengan modifikasi dan kombinasi dengan ajaran lain, paham Humanisme sangat mungkin untuk diterapkan.
H. Penutup
Gagasan humanisme berasal dari Eropa. Paham ini digagas oleh Socrates, Plato dan Arustoteles. Beberapa tokoh muslim yang juga memiliki pemikiran yang identik dengan ajaran Humanisme adalah al-Farabi (abad ke-9 M), Ibn Sina (abad ke-10), Imam al-Ghazali (abad ke-11-12) , Ibn Rusyd (abad ke-13) dan Jalaluddin Rumi (abad ke-13).
Kata ’humanisme’ dalam  pandangan filosofis adalah konsern terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dalam pendidikan “Humanisme” dipahami sebagai sebuah gerakan budaya dan sastra tertulis yang menekankan dan mengembangkan studi literatur klasik.
Secara khusus para humanis menaruh minat pada sintesa filsafat dan retorika. Semangat ini kemudian menjadi gagasan ideal bagi para humanis, yakni kombinasi antara kefasihan berbicara (eloquence) dan kebijaksanaan (wisdom).
Dalam pandangan aliran Humanisme, manusia terlahir dengan kemampuan yang bisa menempatkan diri sebagai makhluk sempurna, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melihat dunia bagimana adanya. Manusia adalah hewan rasional.




Daftar Pustaka
Bahruddin dan Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: ar-Ruzz Media, 2007.

Bigge, Moris, Learning Theories for Teacher. New York: Harper & Row Publisher, 1817

Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller. Cambridge: Harvard University Press, 1961.

Hamid, Abdul, Teori Belajar dan Pembelajaran . Medan: PPS Unimed, 2007.

Haskins, Charles Homer, The Renaissance of the Twelfth Century. Cambridge: Harvard University Press, 1928.

Humanisme Barat dan Cina Artikel dalam www.icasonline.com didownload pada 14 Oktober 2008.

Kristeller, Paul Oskar, Renaissance Thought and Its Sources, ed. Michael Mooney. New York: Columbia University Press, 1979.

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997.

____________, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Raja Grafindo Persada, 1998.
.


[1] Lihat Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources, ed. Michael Mooney (New York: Columbia University Press, 1979), h. 20.
[2] Humanisme Barat dan Cina Artikel dalam www.icasonline.com didownload pada 14 Oktober 2008.
[3] Moris Bigge, Learning Theories for Teacher (New York: Harper & Row Publisher, 1817), h. 31.
[4] Charles Homer Haskins, The Renaissance of the Twelfth Century (Cambridge: Harvard University Press, 1928), 369.

[5] Cicero, De Officiis, trans. Walter Miller (Cambridge: Harvard University Press, 1961), h. 19.

[6] ibid
[7] Abdul Hamid, Teori Belajar dan Pembelajaran (Medan: PPS Unimed, 2007), h. 36.
[8] Humanisme Barat dan Cina Artikel dalam www.icasonline.com didownload pada 14 Oktober 2008.
[9]Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997),h.163
               [10]Ibid  
[11] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam(Raja Grafindo Persada, 1998),h.95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar