Pondok Pesantren Dalam Sistem
Pendidikan Nasional
A. Pendahuluan.
Pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik. Secara historis,
pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai
sekarang. Berbeda dengan lembaga – lembaga pendidikan yang muncul kemudian,
pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader – kader ulama, dan kemudian
berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan.
Namun, dalam perkembangan pesantren telah mengalami transformasi yang
memungkinkannya kehilangan identitas jika nilai – nilai tradisonalnya tidak
dilestarikan.
Karena
keunikannya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan kondisi dan
hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalam keadaan yang sangat
sederhana dan karekteristik yang beragam, tidak pernah mati. Demikian pula
semua komponen yang ada didalamnya seperti kyai atau ustad serta para santri
senantiasa mengabdikan diri mereka demi kelangsungan pesantren.tentu saja ini
tidak dapat diukur dengan standart system pendidikan modren dimana tenaga
pengajarnya dibayar, karena jerih payahnya, dalam bayaran dalam bentuk material[1].
Dengan
begitu, pesantren tentu saja tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan
nasional Indonesia.
Makalah ini menjelaskan tentang pondok pesantren dalam sistem pendidikan
nasional yang meliputi kajian tentang: pondok pesantren di antara madrasah dan
sekolah, pola pengembangan kurikulum di ponpes dan kebijakan departemen agama
dalam pengembangan ponpes.
B. Pondok Pesantren Antara Madrasah
dan Sekolah.
Peran pesantren dalam
memajukan pendidikan nasional telah membuktikan eksistensinya. Keperipurnaan
pondok pesantren harus dipahami dan dilihat dari berbagai aspek.
Pada awal tahun70-an,
sebagian kalangan menginginkan pesantren memberikan pelajaran umum bagi para
santrinya.[2]
Hal ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati
pondok pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya. Namun
pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai mengadopsi elemen-elemen
budaya dan pendidikan dari luar.[3]
Dari dua pandangan yang
berbeda tersebut, terlahir pula keinginan yang berbeda di kalangan para
pengelola pesantren. Kelompok pertama menginginkan agar pesantren tetap
mempertahankan posisinya seperti semula dengan sistem yang khas. Sedangkan
kelompok ke dua menginginkan agar pesantren mulai mengadopsi atau mengakodmodasi
sistem pendidikan sekolah atau madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.
Akhirnya terjadilah
persentuhan antara pondok pesantren dengan madrasah dan sekolah. Dalam sejarah
perkembangan pesantren, disebutkan bahwa pondok pesantren, masih berbentuk surau,
yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang
pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada
tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926.[4]
Pondok pesantren yang
memiliki kreteria tertentu dianggap telah mapan, didukung oleh persyaratan yang
cukup mapan, seperti bangunan, tanah, guru yang berkompeten, murid-murid yang
banyak serta tersedianya tenaga administrasi.
Pondok pesantren yang seperti inilah yang dianggap layak untuk mengakomodasi
sistem pendidikan formal atau elemen pendidikan lainnya yang berasal dari luar.
Sebaliknya, pondok pesantren yang tidak memiliki dan memenuhi kriteria di atas tentu
saja tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengadopsi sistem pendidikan dari
luar.[5]
Selain itu ada beberapa
alternatif yang juga dikembangkan di lingkungan pesantren. Ada yang mengakomodasi sistem pendidikan
formal ala sekolah umum atau madrasah dengan tetap mempertahankan sistem
pendidikan pesantren, dengan memisahkan area untuk sekolah madrasah atau
sekolah umum dengan area khusus untuk pesantren. Murid-murid yang bersekolah di
sekolah umum pesantren tersebut mengikuti kurikulum pendidikan nasional,
seperti mengikuti uas dan uan. Mereka tidak tinggal di asrama, akan tetapi tinggal
di rumah masing-masing. Sementara santri yang mengikuti pendidikan pesantren
tinggal di asrama dan mengikuti program pendidikan pesantren yang relatif
independen dari kebijakan-kebijakan departemen agama dan pendidikan. Guru-guru
yang mengajar di pondok pesantren dengan sistem seperti ini secara umum
dikategorikan kepada dua kelompok yakni guru-guru yang berasal dari pesantren
dan yang berasal dari luar. Umumnya, guru-guru tersebut mengjar pelajaran umum.
Contoh pesantren seperti ini adalah Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor.
Bentuk atau opsi ke dua
adalah pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan formal ala madrasah atau
sekolah umum lainnya dengan sistem pendidikan pesantren tanpa memisahkan
kelas-kelas atau area untuk ke dua sistem pendidikan yang berbeda ini. Para santri tetap tinggal di asrama, mengikuti uas dan
uan dan juga mengikuti agenda-agenda kepesantrenan yang tidak terdapat di
madrasah atau sekolah lainnya. Guru-guru yang mengjar di pesantren ini relatif
sama dengan di atas. Bentuk pesantren yang seperti inilah yang sekarang banyak
ditemui.
Akomodasi pesantren
terhadap sistem atau elemen pendidikan luar ini tentu saja membawa pengaruh
negatif terhadap pesantren itu sendiri:
1. kehadiran para siswa sekolah atau
madrasah di lingkungan pondok pesantren sedikit banyak akan mengganggu
aktifitas dan agenda-agenda kepesantrenan. Para
santri yang memang ingin mengecap pendidikan pesantren akan merasa tidak betah
dengan kondisi yang demikian.
2. kemungkinan terjadinya kesenjangan
antara murid, guru dan pengelola pesantren dengan madrasah atau sekolah umum
pesantren besar peluang terjadi.
3. ada juga kemungkinan bahwa
pesantren akan terkucilkan.[6]
Permasalahan status
pesantren di antara pesantren, madrasah dan sekolah umum tampaknya dipicu oleh
sistem pendidikan nasional yang terlalu lamban mengakui ijazah pesantren yang
tidak mengikuti program pendidikan nasional. Terbengkalainya agenda-agenda
kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk menggabungkan sistem
pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren. Pesantren yang begitu
padat aktifitas kepesantrenan mau tidak mau harus memikirkan nasib para santri
setelah lulus dari pesantren tersebut, sementara ijazah pesantren pada umumnya
(kecuali akhir-akhir ini) tidak diakui di perguruan tinggi di Indonesia. Hal
ini tentu memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda departemen
pendidikan dan departemen agama.
Contoh yang sangat
mudah di temui adalah agenda ujian di pesantren, pada umumnya, di pesantren
modern yang telah menggunakan sistem kelas mengagendakan dua ujian
kepesantrenan dalam setahun. Ujian ini kemudian ditambahi dengan dua agenda
ujian dalam setahun yang berasal dari dinas pendidikan atau departemen lainnya.
Contoh lain adalah
sistem pesantren yang tidak membagi jenjang pendidikan kepada dua tsanawiyah
atau smp dan aliyah atau smu. Santri yang pindah dari pesantren tanpa
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang terakhir, ketika mendaftar ke madrasah
atau sekolah umum, jika ia tidak memiliki ijazah sah nasional, maka ia harus
mengulang dari kelas awal.
Akhir-akhir ini,
peluang pesantren untuk bisa mengembangkan diri secara independen tampaknya
mulai terbuka. Sebut saja seperti lahirnya undang-undang yang mewajibkan
pendidikan sembilan tahun, beberapa dekade ke depan besar kemungkinan
diwajibkannya pendidikan hingga jenjang SMU dan sederajat.
C. Pola Pengembangan Kurikulum di
Pesantren.
Pada
awalnya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple.
Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai
media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri
kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci
materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai
poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan
kitabyang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh.[7]
Dua
model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren adalah
model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan. Sistem
wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kiai yang
diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat
kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan metode yang
diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang
dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai
membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri
dengan mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.
Lain
dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu persatu, dimana
seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi
kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk
berdialo dengan kiai mengenai masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak
menguras waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior
saja.
Pada
dasarnya, dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lebih
banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang
digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak adanya perjenjangan yang
jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan
antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu
kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.[8]
Pada
abad ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren didominasi
olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada waktu itu ajaran ketauhidan dan
ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan dengan
banyaknya para ulama yang berguru ketanah suci, materi yang diajarkannya pun
bervariasi.
Dari
sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke
dalam dua bentuk pondok pesantren:
1. Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu
yang menyelenggarakan pengajaran Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta
kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal
pertumbuhannya.
2. Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu
pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan
kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
Pada
mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren. Semenjak
berdirinya madrasah dalam lingkungan pesantren inilah, diperlukan sejumlah
guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam jenis pelajaran baru yang tidak
semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga peran guru menjadi penting karena
kemampuan yang dimilikinya dari pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu
kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal dalam pesantren.
Mengikuti
perkembangan zaman, beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keterampilan
sbagai salah satu materi yang diajarkan. Ada
keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit berdagang dan lain sebagainya.[9]
Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung mengimbangi dengan pengetahuan
umum. Seperti tercermin dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan
menghapuskan pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab
tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang terakhir ini
lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.
Pada masa sekarang ini,
banyak pesantren yang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan rasio 70% mata
pelajaran umum dan 30% pelajarana agama.
D. Kebijakan Departemen Agama Dalam
Pengembangan Pondok Pesantren.
Pada
awal abad kedua puluhan, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal mulai
memasuki pesantren. Sejalan dengan
perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI.
Mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok
pesantren sebagai berikut:
1. Pondok Pesantren tipe A, yaitu
dimana para santri belajar dan bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok
pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan
atau sorogan).
2. Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang
menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat
aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama
lingkungan pondok pesantren.
3. Pondok Pesantren tipe C, yaitu
pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di
luar (di madrasah atau sekolah umum lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai
pembina para santri tersebut.
4. Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang
menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau
madrasah.[10]
Peraturan
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi
empat tipe tersebut, bukan suatu keharusan bagi pondok pesantren tersebut.
Namun, pemerintah menyikapi dan menghargai perkembangan serta perubahan yang
terjadi pada pondok pesantren itu sendiri, walaupun perubahan dan perkembangan
pondok pesantren tidak hanya terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih
beragam lagi. Dari tipe yang sama akan terdapat perbedaan-perbedaan
tertentu yang menjadikan satu sama lain
akan berbeda.
Populasi
pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok
pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini tersebar di penjuru tanah
air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk
melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia
nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama
yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor
1 tahun 2001.
Dengan
keluarnya surat
keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah mendapatkan
perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah
menjadi direktorat tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan pondok
pesantren yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara
optimal terhadap masyarakat.
Data
yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta
Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang
relatif banyak. Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspon oleh
pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen Agama dan
departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 tentang pedoman
pelaksanaan pondok pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar.
Secara
eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan
Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan
teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok
pesantren salafiyah.
Lahirnya
UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4
disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem
pendidikan nasional. Merupakan dokumen yang amat penting untuk menetukan arah
dan kebijakan dalam penanganan
pendidikan pada pondok pesantren di masa yang akan datang.[11]
E. Penutup.
Dilema status pondok pesantren antara
madrasah dan sekolah umum merupakan dilema yang sudah lama dihadapi pesantren. Ada beberapa penyebab
munculnya dilema ini termasuk faktor sistem pendidikan nasional.
Pondok pesantren yang dahulunya
sistem pengajaran dan materi pengajarannya terfokus kepada ilmu-ilmu kegamaan,
mulai berkembang dengan mengakomodasi elemen-elemen kurikulum dari sistem
pendidikan nasional. Tuntutan sistem pendidikan di Indonesia telah mengharuskan
pesantren untuk mengikuti atau menyetarakan standarnya dengan kurikulum
pendidikan nasional.
Seiring dengan tuntutan tersebut, departemen
yang berkaitan dengan pesantren juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
turut memajukan dan memberikan peluang bagi pesantren untuk mengembangkan diri.
Daftar
Pustaka
Haedani, H. Amin
M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.
Madjid, Nurcholish,
Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta:
P3M, 1985.
Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam
di Indonesia. Jakarta:
PT Grafindo persada, 2001.
Noor, Mahpuddin, Potret
Dunia Pesantren. Bandung:
Humaniora, 2006.
Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara, 1992.
PONDOK PESANTREN
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Makalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Analisa Kebijakan Pendidikan Islam
Oleh
Daulat P. Sibarani
06
MPI 991
Dosen Pembimbing
Dr. Saiful Akhyar Lubis, M.A
Dr. Wahyuddin Nur Nst., M.Ag
PROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
|
[1]
. Abudin Nata Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta:PT Grafindo
persada..2001).P100-1002
[2] Mahpuddin Noor, Potret Dunia
Pesantren (Bandung:
Humaniora, 2006), h. 56.
[3] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), h. 126.
[4] Zuhairini, Sejarah Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 193.
[5] Mahpuddin Noor, Potret Dunia
Pesantren, h. 58.
[6] Ibid.
[7] Drs. H. Amin Haedani, M.Pd dkk, Panorama,
Pesantren Dalam Cakrawala Modern (Jakarta:
Diva Pustaka, 2004), h. 80.
[8] Ibid, h. 82.
[9] Amin Haedari, Panorama
Pesantren Dalam Cakrawala Modern (Jakarta:
Diva Pustaka, 2004), h. 130.
[10] Mahpuddin Noor, Potret Dunia
Pesantren (Bandung:
Humaniora, 2006), h. 44.
[11] Ibid, h. 162-163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar