Pendidikan Islam Pada Awal
Kemerdekaan Indonesia
(Pesantren, Madrasah dan Sekolah)
A. Pendahuluan
Dalam
pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, kaum Muslim memberikan
kontribusi besar dan memainkan peran penting demi tercapainya kemerdekaan.
Lebih khusus lagi, pesantren melalui tokoh-tokohnya banyak memberikan
sumbangan-sumbangan perjuangan bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Banyaknya
tokoh Muslim yang berperan pada pergerakan kemerdekaan Indonesia mengakibatkan beberapa hal, selain ide
dasar negara Indonesia
adalah Islam, juga ide-ide tentang pendidikan agama di sekolah.
Makalah
ini akan mengkaji tentang pendidikan agama Islam di Indonesia pada masa awal
kemerdekaan Indonesia.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada masa awal kemerdekaan bisa ditelusuri
kepada pesantren, madrasah dan pendidikan agama Islam di sekolah umum. Karena
itu, makalah ini akan mengkaji tentang pesantren, madrasah dan sekolah umum
(dalam hubungannya dengan pendidikan agama Islam) pada masa awal kemerdekaan.
B. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pesantren Pada Masa Kemerdekaan
Dalam
sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa kebangkitan Nasional
sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil
dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah
kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar
Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan
Pengajaran Indonesia yang
pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional,
karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.[1]
Begitupula
halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah
merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena
ituharus dikembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran
pesantren dengan sifatnya yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan
diri dengan masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era
kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya
aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai
inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat
maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia
pesantren dalah sebagai upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri bila
telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Dewasa
ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru udalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai
akrab dengan metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan
dan fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga
diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun
absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai
pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di
lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[2]
Dalam
rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu
mengembangkan pesantren dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu
dititik beratkan pada, pertama, peningkatan tujuan institusional pondok
pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya
sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode
pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah.
Ketiga,
menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren untuk
mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan taraf hidup
masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah
menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan
pada madrasah.
Akhir-akhir
ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan
untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah
dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia
sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak
akan dapat menghindar dari segala kritik dan kekurangannya.
C. Madrasah Pada Masa Awal
Kemederdekaan
Perkembangan madarasah
pada orde lama-sejak awal kemerdekaan-sangat terkait dengan peran Departemen
Agama, yang mulai resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara
intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha
Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat
Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada
pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa
tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: 1) memberi
pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir, 2) memberi pengetahuan umum
di madrasah dan 3) mengadakan pendidikan guru agama (PGA) dan Pendidikan Hkim
Islam Negeri (PHIN).[3]
Institusi ini pada
dasarnya merupakan representasi aspirasi umat Islam dalam kebijkan negara.
Sehingga tidak mengherankan, intitusi ini menjadi kunci utama peningkatan usaha
pencerahan terhadap masa depan madarasah di Indonesia.[4]
Setidaknya terdapat dua
usaha pokok yang muncul dalam perkembangan madarasah di Orde Lama, yaitu pertama berdiri dan berkembangnya
Pendidikan Guru Agama dan Pendidikan Hakim, kedua terciptanya variasi
kurikulum antar berbagai organisasi sosial keagamaan. yang pertama dapat
dilihat dari pengaruh yang dtimbulkan oleh kedua madrasah (PGA dan PHIN), bahwa
kedua madrasah ini amat menandai perkembangan yang sangat strategis, di mana
madarah di samping bertujujan melahirkan tenaga-tenaga profesional keagamaan,
juga mempersiapkan tenaga yang siap pakai untuk mengembangkan madrasah.
Tingginya intensitas terhadap kedua tujuan di atas, dapat dicermati dari
pertumbuhan madrasah dalam dekade 50-an, yakni jumlah PGA yang mencapai 25 buah pada tahun 1951 dan meningkat menjadi 30 pada
tahun 1954.
Pada dekade 60-an, madarasah sudah tersebar di berbagai
wilayah Indonesia
dengan jumlah madrasah tingkat ibtidaiyah berjumlah 13057 buah. Dengan jumlah
ini, sedikitnya 1.927.777 siswa telah terserap untuk mengenyam pendidikan
agama. Adapun madrasah pada tingkat
tsanawiyah dan tingkat aliyah masing-masing telah mencapai 776 buah dan 16 buah, dengan jumlah siswa
masing-masing sebanyak 87.932 orang dan 1881 orang. Dari laporan ini, jumlah
keseluruhan madrasah telah mencapai 13.849 buah dengan jumlah keseluruhan siswa
sebanyak 2.017.590. orang.[5]
Dari perkembangan ini dapatlah dikatakan bahwa sudah sejak awal, pendidikan
madrasah memberikan kontribusi yang siginifikan dalam proses pencerdasan dan
pembinaan akhlak bangsa.
Kedua, mengenai
beragamnya kurikulum. Kurikulum merupakan entitas inheren dalam sebuah
institusi madrasah. Dalam perkembangannya, bahwa mengingat kondisi perpolitikan
bagnsa yang tengah mengalami kerja besar mengkonsolidasikan kekuatannya
membangun bangsa, mengakibatkan pengaturan sistem pendidikan madrasah lebih
dititikberatkan kepada penyerahan otoritas sepenihnya kepada Departemen agama.
Akibatnya, dalam upaya pengembangan madrasah pada umumnya, versi kurikulum
antar berbagai organisasi sosial keagamaan tidak dapat terelakkan. Walaupun
belakangan, muncul ide untuk menyeragamkan kurikulum di semua level pendidikan
madrasah.
Selanjutnya, dalam
perkembangan madrasah muncul tarik menarik yang kuat antara kelompok Islam dan
non-muslim tentang sejauh mana lingkup pendidikan Islam. Bagi kalangan Islam,
lebih cenderung mengatakan bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia
sejauh mungkin. Sementara kalangan non-muslim berpendapat bahwa pendidikan
Islam harus dibatasi hanya dalam lingkup yang pengajaran agama an sich.
Akhirnya, dari polemik ini lahirlah sebuah rekomendasi yang dikeluarkan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKINP) yang mengatakan:
“madrasah dan
pesantren pada hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan
rakyat jelata dan sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya,
hendaklah mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa bantuan materil dari
pemerintah.[6]
Rekomendasi di atas
kemudian dipertegas lagi oleh Menteri P dan K yang saat itu dijabat oleh R.
Suwandi (2 Oktober 1946-27 Juni 1947) yang mengeluarkan kebijaksanaan yang
menyatakan bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu
untuk dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberi bantuan biaya dan
lain-lain.[7]
Dalam rangka
memperkukuh eksistensi madrasah sebagai komponen pendidikan nasional, artinya
diakui sebagai penyelenggara belajar, maka keluarlah Undang-Undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950. Pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan
bahwa belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Untuk itu pemerintah
menggariskan kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk
menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada kementrian agama,
dengan syarat madrasah yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama
sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggi, secara teratur di
samping mata pelajaran umum.[8]
Selanjutnya dalam
rangkan meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah
mendapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementrian agama
mengeluarga Peraturan Menteri Agama No. I Tahun 1952. Menurut ketentuan ini,
yang dinamakan madrasah adalah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai
sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajarannya”.
Berdasarkan ketentuan
di atas, jenjang pendidikan pada madrasah tersusun sebagai berikut:
- Madrasah rendah atau dikenal dengan madrasah Ibtidaiyah, yaitu madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya, lama pendidikannya adalah 6 tahun.
- Madrasah Lanjutang Tingkat Pertama atau dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah yaitu madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah rendah atau sederajat serta memberikan pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama pendidikannya adalah 3 tahun.
- Madrasah Lanjutan Atas atau dikenal sebagai Madrasah Aliyah yaitu madrasah yang menerima murid-murid tamatan madrasah lanjutan pertama atau sederajat, memberik pendidikan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama belajarnya adalah 3 tahun.[9]
Pada tahun 1954,
madrasah-madrasah yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan telah
terdaftar di kementrian agama berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik
berupa dana, fasilitas maupun tenaga skill. Pada tahun 1958, Departemen Agama,
dalam rangka melaksanakan program pengembangan madrasah sebagai pelaksaan
kewajiban belajar, memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah Wajib
Belajar dimaksudkan sebagai awal untuk membeikan bantukan dan pembinaan
madrasah dalam rangka penyeragaman materi kurikulum dan sistem
penyelenggaraannya dengan madrasah Ibtidaiyah yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
D. Sekolah Pada Masa Awal
Kemerdekaaan
Setelah Indonesia
Merdeka, usaha yang pertama kali muncul agar penyelenggaraan pendidikan agama
di Indonesia
mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah melalui rapat BPKNIP pada
tanggal 27 Desember 1945. Rapat itu membicarakan tentang garis besar pendidikan nasional.
Hasil pembicaraan tersebut membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih
terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang
disusun oleh BPKNIP diusulkan beberapa rekomendasi berkaitan dengan pelajaran
agama di semua sekolah, yaitu:
- Pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah.
- Para guru agama dibayar oleh pemerintah.
- Pada sekolah dasar, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
- Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu.
- Para guru diangkat oleh Departemen Agama.
- Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
- Pemerintah menyediakan buku pendidikan agama.
- Diadakan pelatihan bagi guru agama.
- Kualitas pesantren dan Madrasah harus diperbaiki.
- Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[10]
Perkembangan
selanjutnya dapat ditelusuri kepada keputusan Menteri P & K dan Menteri
Agama pada tanggal 2 Desember 1946 yang menentukan adanya pelajaran agama di
sekolah rakyat dimulai dari kelas IV dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari
1947. Dengan demikian, tanggal 1 Januari 1947 merupakan tonggal dimulainya
pengajaran pendidikan agama di sekolah negeri.[11]
Setelah sekian tahun,
pelajaran agama diselenggarakan di sekolah-sekolah umum, pada tahun 1950 diundangkan pula pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
yang mentakan bahwa:
- Di sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
- Cara penyelenggaraan pendidikan agama diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri P & K.[12]
Lebih lanjut, peraturan
Menteri P & K juga mengetur bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV
Sekolah Rakyat selama 2 jam perminggu. Sementara itu, khusus di lingkungan di
mana Islam kuat, pendidikan agama mulai diajarkan di kelas I dan jam pelajaran
ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama
diberikan 2 jam perminggu, sesuai agama para murid. Untuk mata pelajaran ini,
harus hadir sekurang-sekurang 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama
berlangsungnya pelajaran agama, murida yang beragama lain boleh meninggalkan
ruang belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan Menteri
Agama, dengan persetujuan Menteri P & K.[13]
Peraturan demikian
berlaku sampai ditetapkannya hasil sidang MPRS tahun 1960. Dalam bab II pasal
(3) Tap MPRS Tahun 1960 dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah dasar sampai universitas,
dengan pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama
jika wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.[14]
Dengan demikian, murid yang belum dewasa jika tidak diizinkan orang tua atau
walinya memiliki hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama, dan bagi kalangan
mahasiswa di universitas diberi kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti
pendidikan agama. Peraturan ini berlaku sampai ditetapkannya peraturan baru
yang termaktub dalam Tap MPRS Tahun 1966.
Bila dicermati dari
peraturan yang berlaku tentang pendidikan agama di sekolah umum pada fase ini
(1946-1965) terlihat bahwa pendidikan agama di sekolah umum belum memegang
peran penting. Hal demikian dapat ditandai bahwa dalam fase ini pengajaran
agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas, diberikan kebebasan untuk mengikuti
atau tidak mengikuti pelajaran agama, dan yang paling mendasar adalah adanya
pembatasan pengajaran agama di Sekolah Rakyat boleh diajarkan setelah kelas IV,
padahal pelajaran agama di sekolah sangat penting diajarkan sejak kelas I SR.
E. Kesimpulan
Sejarah pendidikan
agama Islam pada masa awal kemerdekaan Indoneseia dapat ditelusuri kepada
perkembangan pesantren, madrasah dan pendidikan agama di sekolah umum.Pesantren
pada masa awal kemerdekaan Indonesia telah mendapat perhatian pemerintah meski
dengan nada motivasi untuk perbaikan kualitas yang terpusat pada inovasi
kurikulum dengan memasukkan pelajaran umum.
Sementara itu, perkembangan
madarasah pada masa awal kemerdekaan terkait erta dengan peran Departemen Agama.
Pendirian PGA dan PHIN merupakan bukti perhatian pemerintah terhadap madrasah.
Selain pendirian dua madrasah tersebut, masalah variasi kurikulum antar berbagai
organisasi sosial keagamaan juga menjadi fenomena yang muncul pada masa ini.
Pesatnya perkembangan madrasah dapat dilihat dari jumlah madrasah yang
bertambah banyak.
Sementara pendidikan
agama di sekolah umum pada masa awal
kemerdekaan terlihat bahwa pendidikan agama di sekolah umum belum memegang
peran penting. Hal demikian dapat ditandai bahwa dalam fase ini pengajaran
agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas, diberikan kebebasan untuk mengikuti
atau tidak mengikuti pelajaran agama, dan yang paling mendasar adalah adanya
pembatasan pengajaran agama di Sekolah Rakyat boleh diajarkan setelah kelas IV,
padahal pelajaran agama di sekolah sangat penting diajarkan sejak kelas I SR.
Daftar Pustaka
Depag RI, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta:
Dirjen Binbaga, 1986.
Drajat, Dazkiah, Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara, 1992.
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 1996.
Karim, Rusli, Pendidikan
Islam di Indonesia
dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
Maksum, Madrasah:
Sejarah dan Perkembangan. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Poerbakawadja,
Sugarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta: Balai Pustaka,
1970.
Prawiranegara,
Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta: Depag. RI, t.t.
Saleh,
Abdurrahman, Penyelenggaraan Madrasah Peraturan Perundangan. Jakarta: Dharma Bhakti,
1984.
Stebrink, Karel
A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986.
[1] Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan
Pendidikan Agama (Jakarta:
Depag. RI, t.t), h. 41.
[2] Rusli Karim, Pendidikan Islam
di Indonesia
dalam Transformasi Sosial ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 134.
[3] Maksum, Madrasah: Sejarah dan
Perkembangan (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 132.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Depag RI, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Dirjen Binbaga, 1986), h. 77.
[7] Abdurrahman Saleh, Penyelenggaraan
Madrasah Peraturan Perundangan (Jakarta: Dharma Bhakti, 1984), h. 19.
[8] Depag RI, Sejarah
Pendidikan Islam, h. 77.
[9] Ibid.
[10] Karel A. Stebrink, Pesantren,
Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 90.
[11] Dazkiah Drajat, Ilmu Pendidikan
Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 91.
[12] Ibid.
[13] Sugarda Poerbakawadja, Pendidikan
dalam Alam Indonesia
Merdeka (Jakarta: Balai Pustaka, 1970), h. 376-379.
[14] Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1996), h. 78.
0 komentar:
Posting Komentar