Sejarah Masa Kerajaan Islam
A. Pendahuluan
Sejarah Pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam
masuk ke Indonesia
yang oleh sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa awal mula masuknya di pulau
Suamtera bagian utara di daerah Aceh. Artinya, sejarah pendidikan
Islam sama tuanya dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Hal ini disebabkan
karena pemeluk agama baru tersebut sudah tentu ingin mempelajari dan mengetahui
lebih dalam tentang ajaran-ajaran Islam. Ingin
pandai sholat, berdoa dan membaca al-Quran yang menyebabkan timbulnya proses
belajar, meskipun dalam pengertian yang amat sederhana. Dari sinilah mulai
timbul pendidikan Islam,
dimana pada mulanya mereka belajar di
rumah-rumah, langgar/surau, mesjid kemudian berkembang menjadi pondok
pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah yang teratur sebagaimana
yang kita kenal sekarang ini.
Kendatipun pendidikan Islam dimulai sejak pertama Islam
itu sendiri menancapkan dirinya di kepulauan nusantara, namun secara pasti
tidak dapat diketahui bagaimana cara pendidikan
pada masa
permulaan Islam di Indonesia, seperti tentang
buku yang dipakai, pengelolanya dan sistemnya. Ini disebabkan karena
bahan-bahan rujukannya sangat terbatas. Yang dapat dipastikan hanyalah pendidikan Islam pada waktu itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang
sangat sederhana.
B. Masuknya
Islam ke Indonesia
Tidak
ada perdebatan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai.[1]
Namun, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai
tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu
kedatangannya.[2]
Berbagai
teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas
belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu,
tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat
kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus
dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya.[3]
Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.[4]
Islam
menyebar di India dan
semenanjung Arab hingga ke Malaya dan masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah,
Islam disebarkan melalui penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam
disebarkan oleh para pedagang dan aktivitas sufi.[5]
Dalam
berbagai literatur yang ada, banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
mengenai tiga persoalan di atas, namun di sini hanya akan dikemukakan beberapa
masalah saja.
Seorang
penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa telah dibawa ke
Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sehak abad pertama hijriah, lama sebelum
adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang
luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur sejak masa awal Islam.[6]
Di
dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang
pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai
barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka
(pedagang dan muhballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab
Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor
ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.[7]
Dalam
pernyataan di atas, Arnold mengatakan bahwa Arabia bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tapi
juga dari Corromander dan Malabar.
Versi
lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori sarjana, kebanyakan
sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke
Nusantara berasal dari anak Benua India
bukan Persia
atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel,
seorang pakar dari Leiden.
Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan dengan wilayah Gujarat
dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’i yang
bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian
membawa Islam ke Nusantara.[8]
Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje
Moquetta,
seorang sarjana Belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan
bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah Cambay, Gujarat.
Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai maupun Gresik
memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.[9]
Selain
dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di
Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang
sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama
Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.[10]
Kemudian
daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga
merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.[11]
Beberapa
teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan
dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh
sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia
pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera
pada tahun 1292 M.[12]
Teori
kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim,
antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam
fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti
kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh
al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh
para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad
ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan
Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini
mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah
kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin
(Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun
Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja
Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang
penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.[13]
Teori
versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para
pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan
Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.[14]
C. Pendidikan
Islam Pada Masa Kerajaan-Kerajaan
1. Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia
adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja
pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan
yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[15] Pada tahun 1345, Ibnu
Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan
Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i,
mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta
mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[16]
Keterangan
Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
1. Materi pendidikan dan
pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i.
2. Sistem pendidikannya
secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.
3. Tokoh pemerintahan
merangkap tokoh agama.
4. Biaya pendidikan
bersumber dari negara.[17]
Pada zaman
kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan
juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang
menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota,
dimana antar warga kota
tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.[18]
Menurut
Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari
Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau
halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru
duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid
menghadap guru.
2. Zaman Kerajaan
Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia
adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186
H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga
seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah
yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh
Hindu.[19]
Kerajaan
Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah
disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab,
tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh
Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada
akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[20] Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[20] Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Zaman Kerajaan Aceh
Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M). Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan
Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan
Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya
melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu
kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim
disebut Imeum mukim.[21]
Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
1. Sebagai tempat belajar
Al-Qur’an.
2. Sebagai Sekolah Dasar,
dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama,
bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
Fungsi lainnya adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai tempat ibadah
sholat 5 waktu untuk kampung itu.
2. Sebagai tempat sholat
tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
3. Tempat kenduri Maulud
pada bulan Mauludan.
4. Tempat menyerahkan
zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa.
5. Tempat mengadakan
perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
6. Tempat bermusyawarah
dalam segala urusan.
7. Letak meunasah harus
berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang
rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[22]
Selanjutnya
sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang
diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab,
meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid,
meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama
dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin
belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih
dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang
disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua
orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi
yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak.
Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.[23]
Bidang
pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan yaitu:
- Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
- Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
- Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada
saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanaya yang
terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh
untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Kerajaan
Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka
di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan
pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam
(Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam
kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi
penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para
ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad
Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli
dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul
fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[24]
Tokoh
pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai
seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair
perahu.
Ulama
penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan
Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham
wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan
lainnya.
Ulama dan
pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin
Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama
Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi
mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh
adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan
melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya
Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi
Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J.
Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.[25]
4. Kerajaan Langkat
Berdasarkan data yang didapatkan
bahwa sebelum tahun 1900, kerajaan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan
formal. Pendidikan yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu
dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu.
Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan
ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika
intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian
para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi,
yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal
tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan
baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi
sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca:
madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama bagi masyarakat Langkat.
Dengan berdirinya madrasah
Al-masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka
Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu
dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang
belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajar-pelajar yang datang
dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan
Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.[26]
Pada awalnya madrasah (maktab) ini
hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada
perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat
belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di
maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (mantan wakil presiden RI).
Dalam biografinya Adam Malik
meyebutkan bahwa madrasah Al-masrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan
bagus dan modern menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari
keluarga berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang
dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di
mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk
tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin.
Fasilitas-fasilitas olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti
lapangan untuk bermain bola dan kolam renang milik kesultanan Langkat.[27]
Ketiga lembaga pendidikan tersebut
didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang kemudian diberi nama dengan perguruan
Jama’iyah Mahmudiyah. Pada tahun 1923 perguruan Jama’iyah Mahmudiyah telah
memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas
lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam
renang, lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada
perguruan Jama’iyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar merupakan guru-guru yang
pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir. Mereka semua
dikirim atas biaya Sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga
sekitar tahun 1930 siswa-siswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang
yang berasal dari berbagai macam daerah.[28]
Selanjutnya sultan Abdul Azis
kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu
sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran
umum. Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung
oleh pihak kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa segala biaya
yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung
sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan.
Memang pada awal tahun 1900-an
Pemerintahan Belanda telah mendirikan sekolah Langkatsche School
[29]
(baca: Sekolah Belanda). Namun penerimaan siswanya masih sangat terbatas,
di masa itu yang diterima hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai Ambtenaar
Belanda serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya lembaga
pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan juga ELS (Europese Logare
School) dan untuk anak-anak keturunan
Cina didirikan Holland
Chinese School
atau HCS.
D.
Analisa Sejarah Pendidikan Islam di Nusantara
1.
Lembaga Pendidikan
a. Mesjid
Ketika ajaran Islam masuk ke Indonesia
yang dibawa oleh da’i dan muballig, adalah hal yang sangat wajar bila salah
satu yang menjadi perhatian utama masyarakat muslim adalah mesjid atau yang
lebih sederhana sebagai pusat kegiatan penyebaran ajaran Islam.
Mesjid sebagai pusat aktifitas
penyebaran Islam lambat laun-dan memang bukan sebuah hal yang dianggap
terpisah-meluas perannya sebagai lembaga pendidikan bagi orang tua maupun
anak-anak. Pada umumnya, pendidikan yang berlangsung di masjid berkisar pada
membaca Alquran dan akhlak.[30]
b. Pesantren
Tidak ada data yang cukup jelas
mengenai kapan berdirinya pesantren, namun penelusuran sejarah menemukan bahwa
lembaga pendidikan yang disebut dengan pawiyatan di pulau Jawa. Bila
dianalisa, sistem pendidikan pawiyatan[31]
mirip dengan pesantren. Karena itu banyak yang mengatakan bahwa pesantren
telah muncul sejak permulaan Islam di Nusantara yang mengambil bentuk dalam pawiyatan.
Materi yang diajarkan di dalam pawiyatan
berkisar pada ilmu-ilmu agama dan sikap beragama. Pada tingkat dasar
diajarkan membaca Alquran. Pada tingkat selanjutnya diajarkan kitab-kitab
klasik yang juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi.
Metode yang digunakan adalah metode penghafalan.
Pada lembaga ini juga telah dikenal
kyai dan santri, mesjid dan kitab kuning.[32]
c. Meunasah, Rangkang dan Dayah
meunasah, rangkang dan dayah adalah lembaga
pendidikan yang dikenal pada masyarakat Aceh. Meunasah dapat diartikan
sebagai madrasah. Namun bagi masyarakat meunasah juga berfungsi sebagai
tempat ibadah, tempat pertemuan, pusat informasi, tempat tidur dan tempat
singgah dan istirahat para musafir.
Sementara rangkang adalah
tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar mesjid. Tampaknya meunasah yang
menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, sementara rangkang disediakan
untuk tempat tinggal murid. Karena itu, meunasah dan rangkang saling
berdekatan.
Sementara dayah pada mulanya
merupakan istilah bagi tempat di pojok-pojok mesjid yang digunakan sebagai
tempat pengajaran. Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Arab yakni zawiyah
yang berarti sudut.
4. Surau
Istilah surau telah ada di
Minangkabau sebelum Islam datang, karena surau merupakan sarana budaya
Minangkabau yang fungsinya tempat tinggal para laki-laki yang telah akil dan
balig. Seiring dengan datangnya Islam, surau menjadi tempat penyebaran agama
dan pusat-pusat pendidikan. Surau sebagai lembaga pendidikan mengajarkan
pembacaan Alquran bagi masyarakt.[33]
2,
Aktifitas Pendidikan
Pada masa awal kedatangan Islam
hingga berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, aktifitas pendidikan Islam terfokus
pada pengajaran ajaran Islam itu sendiri. Setelah terbentuknya komunitas muslim
dan mesjid, aktifitas pendidikan yang intens terlihat. Dalam aktifitas ini
terdapat guru yang merupakan ulama yang mengajarkan agama Islam yang terpusat
di mesjid-mesjid.
Perkembangan selanjutnya, dengan
adanya tempat-tempat tinggal yang disediakan bagi para murid membuktikan bahwa
para murid telah tinggal di pusat-pusat pendidikan, artinya tidak tertutup
kemungkinan telah ada semacam rihlah ilmiyah (ekspedisi ilmiah) yang
bertujuan untuk menuntut ilmu dari ulama-ulama terkenal.
Aktifitas kependidikan lainnya yang
juga terlihat adalah penulisan karya-karya ilmiah oleh beberapa ulama terkenal
seperti Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansyuri, Amir Hamzah dan lain sebagainya.
Beberapa dari karya mereka masih dapat dijumpai hingga saat ini.
3.
Warisan Pendidikan Masa Kerajaan
Ada beberapa warisan pendidikan Islam
masa kerajaan-kerajaan Islam yang masih dapat ditemui hingga sekarang, baik
berupa lembaga maupun karya-karya berupa buku.
Dari aspek lembaga, madrasah,
meunasah, dayah, rangkang dan pesantren telah berkembang menjadi lembaga
pendidikan yang mapan yang telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan
pendidikan Indonesia.
Beberapa lembaga lain seperti surau dan mesjid, seiring dibutuhkannya tempat
pengajaran yang khusus, semakin jarang digunakan sebagai pusat pendidikan,
kecuali untuk pendidikan informal.
Karya-karya utama dalam pendidikan
Islam pada masa ini adalah seperti karya Nuruddin ar-Raniri yang berjudul Shirat Mustaqim
dan Bustan As-Salathin atau karyat Abdul Samad Al-Palembani yang berjudul Hidayat
As-Salikin.
E.
Kesimpulan
Pendidikan Islam di Indonesia telah
bermula sejak kedatangannya ke Indonesia,
bahkan salah satu sarana yang menjadi penyebaran Islam itu sendiri adalah aspek
pendidikan. Sejarah pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam dapat
ditelusuri kepada sejarah kerajaan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam
pertama di Nusantara.
Lembaga pendidikan tradisional
telah dikenal dalam pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam, berupa
mesjid, surau, dayah, meunasah, pesantren dan madrasah.
Masa transisi pendidikan antara
masa kerajaan Islam di Nusantara dan kolonialisme Belanda dapat ditelusuri pada
masa kerajaan Langkat. Pada masa kerajaan Langkat, Madrasah telah benar-benar
melembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.
Abdullah, Taufik, Sejarah
Umat Islam Indonesia.
Jakarta:
MUI, 1991.
Ahmadi, A. Kadir, Sejarah
Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah. Tanjung Pura-Langkat Terbitan
Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, 1985.
Ambary, Hasan
Mu’arif, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Arnold, Thomas W.,
The Preaching Of Islam, terj. Jakarta:
Penernit Widiya, 1981.
Aydrus, Muhammad
Hasan,Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996.
Azra, Azyumardi, Renessaince
Islam di Asia Tenggara. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
______________, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998.
Daulay,
Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2007.
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Hasjmy, A., Dustur
Dakwah.. Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
________, Sejarah
Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1993.
Husni., T.M. Lah, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah. Medan: Husni, 1971.
Lapidus, Ira M., Sejarah
Sosial Umat Islam, ter. Kieraha. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Malik, Adam, Mengabdi Repoblik (Adam dari
Andalas). Jakarta:
Gunung Agung, 1982.
M.Ibrahim, et.al, Sejarah
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta
: CV. Tumaritis, 1991.
Riflefs, MC. A
History of Modern Indonesia.
London:
McMillan Education.
Zuhairini, et.al, Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2000.
[1] Azyumardi Azra, Renessaince
Islam di Asia Tenggara (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999) h. 75-76.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan,
1998) h. 24.
[3] Ibid.
[4] Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran
Islam di Asia Tenggra, terj. (Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996) h.
42.
[5] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial
Umat Islam, ter. Kieraha (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000) h. 717.
[6] Thomas W. Arnold, The Preaching
Of Islam, terj (Jakarta: Penernit Widiya, 1981) h. 317-318.
[7] Ibid.
[8] Azra, Jaringan Ulama, h.
24.
[9] Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan
Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia
(Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001) h. x.
[10] A. Hasjmy, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya
Islam Di Indonesia (Bandung: al-Ma’arif, 1993) h. 48-57.
[11] A. Hasjmy, Dustur Dakwah (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974) h. 430.
[12] Al-Idrus, Penyebaran Islam. H.
42-43.
[13] Ibid. h. 42-43. kemudian
bandingkan dengan pendapat MC. Riflefs dalam bukunya A History of Modern
Indonesia (London: McMillan Education) h. 3, yang mempertegas bahwa
masuknya Islam ke Indonesia ialah ketika Marcopolo singgah di Sumatera tahun
1292 M. Marcopolo, ketika itu meliaht bahwa telah ada batu bertulis tentang
kerajaan Islam pertama di Samudra yang disebut dengan kerajaan Islam di Pasai.
[14] Taufik Abdullah, Sejarah Umat
Islam Indonesia
(Jakarta: MUI, 1991).
[15] Mustofa
Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1999), h. 54.
[16] Zuhairini, et.al,
Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2000), h. 135
[17] Ibid.
[18] M.Ibrahim,
et.al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta : CV.
Tumaritis, 1991), h. 61.
[19] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
h. 29.
[20] Abdullah,
Sejarah Pendidikan Islam, h. 54)
[21] M.
Ibrahim, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h. 75.
[22] M.
Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh , h.76.
[23] Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, h. 32.
[24] M.Ibrahim,et.al.,
Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h 88.
[25] Ibrahim,et.al.,
Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, h 89.
[26] A. Kadir Ahmadi, Sejarah
Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah (Tanjung Pura-Langkat Terbitan
Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, 1985), h.
14-15
[27] Adam Malik, Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas) (Jakarta:
Gunung Agung, 1982), h. 2.
[28] A. Kadir Ahmadi, Sejarah
Perkembangan., h. 16-17
[29] T.M. Lah Husni., Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamza (Medan:
Husni, 1971), h. 5.
[30] Haidar Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2007), h. 21.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar