Pages

Minggu, 16 September 2012

PENDIDIKAN SEX ANAK USIA DINI

PENDIDIKAN SEX ANAK USIA DINI

Keresahan orang tua terhadap perkembangan free sex sudah sampai pada kondisi darurat yang harus mendapatkan penanganan khusus dari berbagai pihak terutama tokoh agama, aktivis pendidikan, dan lebih-lebih pemerintah yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk menyejahterakan dan membahagiakan kehidupan warga-bangsanya. Perhatian harus ditingkatkan karena perkembangan media dan fasilitas yang menjurus ke free sex saat ini semakin canggih, lengkap, dan mudah diakses oleh masyarakat miskin sekalipun. Fasilitas dan media yang berpotensi merusak moralitas generasi ini tidak berimbang dengan kebijakan dan tanggap darurat yang dimiliki oleh pemerintah juga tokoh-tokoh pendidikan dan agama.
Perebutan dominasi ke arah kebebasan negatif dimungkinkan akan terjadi jika tidak segera dilakukan antisipasinya dengan cerdas.
Media elektronik semacam TV, Video, CD, Film, internet, dan HP dan media cetak seperti koran, majalah, tabloid, brosur, foto, kartu, kertas stensilan yang berbau porno dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dan semakin terbuka serta mudah tanpa ada pengendalian yang memadai. Orang tua dan pemerintah semakin permisif dan seakan memberikan “dukungan” karenanya produk “kelam” ini cukup laris di pasaran atau konsumen.
Pelayanan mudah terkait dengan yang serba mesum bisa dipuaskan lewat lokalisasi, tempat remang-remang, konsultasi seks lewat sms, dan telepon, sampai pada pemanfaatan tempat rekreasai dan hotel atau penginapan. Sudah menjadi rahasia umum, kondisi ini didiamkan oleh pemerintah atau anggota legislatif yang menangani penertiban dan penyembuhan penyakit masyarakat itu. Teguran Tuhan dengan menurunkan berbagai penyakit kelamin yang ganas dan mematikan seperti HIV/AIDS belum direspon baik oleh manusia sehingga semua komponen belum kompak tergugah untuk bergerak bersama menyelamatkan bangsa dan generasi muda.
Beberapa waktu yang lalu, Tuhan membuka sebagian kecil pentas free sex dan perdagangannya ini menembus lapisan masyarakat elit di negeri ini dan diberitakan besar-besaran oleh media massa. Sorotan tajam dan terbuka menggelinding ke massa di antaranya karena pelaku laki-laki memiliki background sebagai anggota DPR, mantan aktifis mahasiswa, dan koordinator bidang kerohanian partai, sedang pelaku perempuan alumni SMAM 2 Sidoarjo dan sebagai penyanyi dangdut yang berarti keduanya sebagai public figure.
Berbeda dengan berita poligami KH. Abdullah Gimnastiyar atau lebih dikenal dengan sebutan Aa’ Gym. Pemberitaan terhadap Aa’ Gym di antaranya adalah karena ia seorang muballigh yang sedang berada di atas puncak popularitas. Sebagai pengasuh Pesantren Daruttauhid Bandung, ia memiliki jaringan radio yang sangat luas di berbagai daerah dan TV. Manajemen Qolbu yang sering diajarakan kepada umat, saat ia poligami menuntutnya untuk melaksanakannya lebih disiplin.
Meskipun dua kasus ini berbeda tetapi ada benang merahnya yaitu seks. Yang pertama terkait dengan eksploitasi seks di luar akad pernikahan dan kemudian diekspose ke luar, sedang yang kedua adalah tentang penyaluran libido seksual yang diikat dalam pernikahan kedua atau poligami. Yang pertama masyarakat seakan sudah ada konsensus bahwa eksploitasi seks tersebut bertentangan dengan agama dan norma budaya bangsa. Realitanya hal tersebut seakan diakui wajar dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa, karenanya keduanya tetap bisa diterima oleh masyarakat meskipun hukuman sosial dirasakan amat berat. Kasus kedua merupakan pelaksanaan terhadap ajaran agama yang debateble, mayoritas ulama menyatakan halal tetapi sebagian kecil menggugat bahkan ada yang mengharamkan. Realitasnya, poligami secara hukum Islam dan perundang-undangan tetap halal, tidak dilarang oleh undang-undang, dan hanya dibatasi agar tidak terjadi penyalahgunaan seperti dijadikan alat pemuasan nafsu seksual bagi pelakunya. Meski demikian, Aa’ Gym telah menerima perlakuan dan pengadilan sosial yang luar biasa keras[3] seperti cemoohan dan perlakuan lain yang dapat mengurangi kenyamanan hidupnya.
Dalam konteks liberalitas seksual ada hasil penelitian yang menyoroti tentang virginitas yang terasa sangat mengguncang kota Jogjakarta sebagai kota pendidikan dan kota budaya. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa: 97.05% mahasiswa di Jogjakarta telah kehilangan keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa disepadankan dengan 10 gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual. Bukan karena kecelakaan yang memicu robeknya selaput dara vagina. Budaya hedonime telah menjadi trend dalam masyarakat terutama di kota metropolitan seperti Jakarta.
Dalam konteks politik juga demikian akhir-akhir ini, menurut Boni Hargens berkembang istilah binalitas politik, karena ternyata politik tidak hanya rakus uang (harta) dan kekuasaan (tahta) atau banality of politics saja, tetapi juga haus seks (binality of politics). Ciri banal dan binal dalam politik kita sangat memalukan dan telah menisbikan prinsip moralitas dalam politik yang menunjukkan defisit moral pribadi para pejabat publik dan defisit moral politik secara general. Permainan uang, janji-janji jabatan, dan pelayan seks dalam berpolitik menunjukkan indikator dekadensi moral yang amat memprihatinkan.
Seks yang disanjung itu telah merambah ke berbagai kalangan karena itu amat penting untuk disikapi lebih serius terutama bagi anak-anak yang masih rentan dan mudah terpengaruh. Tulisan ini hendak mengkaji tentang pendidikan seks pada anak usia dini, sekitar usia pra sekolah. Meski demikian pembahasan ini bisa menyentuh juga pada wilayah anak-anak dan remaja karena masih berdekatan.Dasar ayat dan hadis tidak penulis tulis teksnya dalam makalah ini dengan harapan pembaca dapat mengkaji lebih jauh lewat beberapa referensi yang kami pilih.
II. Mengapa Perlu Pendidikan Seks
Sebagaimana telah disebutkan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi telah membuat dunia bagaikan “desa buana” yang segalanya serba transparan dan mudah dan cepat diakses oleh siapa, kapan, di mana saja. Informasi dan pengalaman seksual bisa diperoleh secara bebas telanjang tanpa filter dan ini bisa berpengaruh secara psikis bagi anak. Jika anak memperoleh informasi dan pengalaman tentang seks yang salah akan membuat beban psikis dan bisa mempengaruhi kesehatan seksualnya kelak. Anak-anak memiliki kebiasaan menirukan apa yang dilakukan oleh orang lain.
Sementara, penerapan teknologi tersebut telah menciptakan manusia mesin (l’homme machine) dalam masyarakat modern. Melalui perjalanan yang panjang teknologi membentuk prilaku manusia mesin yang hidupnya hanya didasarkan pada stimulus (S) dan response (R) sebagaimana digambarkan dalam psikologi Behaviorism. Pribadi yang asalnya bebas, utuh, dan rasional bisa tenggelam dalam satuan yang disebut masyarakat massa. Massa menjadi satu-satunya entitas yang harus diperhitungkan. Manusia mesin serta manusia dan masyarakat massa itu menghasilkan budaya massa. Budaya massa itu, menurut Kuntowijoyo adalah produk dari mayoritas yang ”tak berbudaya”, berbeda dengan budaya adiluhung yang dihasilkan oleh elit.Budaya ini dieksperesikan dalam bentuk kesenian, buku-buku, elektronika, barang konsumsi, dan alat kebijakasanaan populer seperti bahasa gaul. Budaya massa telah menajdi komoditas, suatu commodity fethism, yang lebih menekankan selera kebutuhan konsumen.
Selain budaya massa yang mempola dengan sangat jenius terhadap prilaku manusia, pendidikan seks diperlukan diberikan sejak dini karena terkait dengan libido skesual manusia itu sendiri. Meski ada yang berpendapat bahwa masa kanak-kanak tidak mengenal gairah seks, teori Freud tentang libido berpendapat bahwa anak-anak menghisap jempol dianggap memiliki arti seksual, bahkan cinta anak kepada ibunya dianggap sebagai ssuatu yang berlandaskan seks dan dihubungkan dengan kecemburuan terhadap ayahnya. Kesimpulannya kesadaran seksualitas sudah tumbuh sejak masa kanak-kanak. Wacana lain yang lebih bijaksana juga bisa dipahami bila libido tidak saja dimaknai sebagai mendorong kegairahan seks tetapi lebih luas yaitu berarti ”energi fisik”. Tendensi anak-anak untuk bermain-main terhadap alat kelaminnya tidak manifestasi seksual yang terlalu dini tetapi sebagai ”kesenangan fisik mendasar” yang sangat mengatur kehidupan kanak-kanak. Kepuasan fisik tersebut bisa diperoleh lewat isapan, buang air, stimulasi kulit, masturbasi, dan kesenangan untuk telanjang.
Pertimbangan lain, pendidikan seks diberikan lebih awal disebabkan karena karakter dasar manusia itu dibentuk pada masa kanak-kanak, dan ahli psikoanalisa telah membuktikan tentang pengaruh yang baik atau tidak baik pada tahun-tahun pertama terhadap pertumbuhan karakter dasar anak. Pendidikan yang salah dapat mempengaruhi perkembangan berbagai bentuk penyimpangan seksual pada masa-masa berikutnya. Pendidikan seks pada anak usia dini dimungkinkan dapat meluruskan pemahaman dan prilaku seks anak-anak sehingga bisa lebih positif.
Secara lebih luas penelitian Katharine Davies memperkuat sisi penting pendidikan seks ini. Hasil peneltian Katherine menunjukkan bahwa perempuan yang telah menerima pendidikan seks pada usia dini, 57 % menikah dengan dengan bahagia.Pendidikan seks berperan positif dalam membangun mahligai kehidupan keluarga yang lebih baik karena dalam prosesnya ada desain pembelajaran yang mempertimbangkan tentang kebaikan anak.
III. Pendidikan Seks terhadap Anak Sebagai Amanah
Selain itu, dalam perspektif spiritual, anak (aulad) --dalam al-Qur’an disebut bareng dengan harta (amwal), harta—adalah fitnah atau cobaan (al-Anfal/8:28, al-Taghabun/ 64:15). Sebagai cobaan karena anak memiliki posisi yang amat penting dalam kehidupan orang tua dan masyarakat. Anak merupakan kebanggaan bagi keluarga oleh karena itu harus dipersiapkan masa depannya. Untuk mendidiknya akan menemukan berbagai kendala di samping karena sifat anak yang memang sulit didisiplinkan juga karena orang tua memiliki kepentingan berlebih kepada anak-anaknya di samping kasih sayang.
Amanah berat ini tetap harus dilaksanakan agar kualitas anak dapat diperoleh. Al-Qur’an mengingatkan agar manusia khawatir dan atau takut jika meninggalkan generasi keturunan (dzurriyyah) yang lemah yang disangsikan kualitas dan masadepannya (QS. Al-Nisa’/ 4:8). Orang tua harus berusaha optimal untuk pendidikan anak-anaknya.
Posisi anak dalam keluarga yang amat penting tersebut membuat sejumlah tokoh membuat risalah, pesan khusus buat anak. Lukman al-Hakim pesan edukatifnya diabadikan dalam al-Qur’an dan menjadi rujukan bagi pembacanya. Imam Ghazali juga membuat risalah kecil, Ayyuha al-Walad, untuk anak-anak agar memiliki perhatian yang tinggi terhadap ilmu, moral, kerja positif, jiwa, dan spiritual.
Jika anak adalah amanah maka mendidiknya dalam arti yang seluas-luasnya juga amanah yang harus dilaksanakan oleh orangtua dan guru, termasuk pendidikan seks pada anak usia dini.

IV. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Seks
Pendidikan seks merupakan upaya transfer pengetahuan dan nilai (knowledge and values) tentang fisik-genetik dan fungsinya khususnya yang terkait dengan jenis (sex) laki-laki dan perempuan sebagai kelanjutan dari kecenderungan primitif makhluk hewan dan manusia yang tertarik dan mencintai lain jenisnya. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak terbebas dari kebiasaan yang tidak Islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang seks dari aspek kesehatan fisik, psikis, dan spiritual.
Pendidikan seks merupakan upaya menindaklanjuti kecenderungan insting manusia. Laki-laki dengan dasar naluri insting sehatnya akan mencintai perempuan dan jika mereka “mencintai selain perempuan” (min duni al-nisa’) maka ia termasuk kelompok yang memiliki nafsu seksual menyimpang seperti kaum Luth (homo) yang dilaknat Tuhan (QS. Al-A’raf/7:80, al-Naml/22: 55). Pendidikan ini berusaha untuk mengenal penciptaan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan. Saling mengenal menuju ketakwaan kepada Tuhan (al-Hujarat/49: 13).
Melalui pendidikan akan berkembang rasa cinta karena ada pengetahuan, pengenalan, dan pengertian yang baik terhadap jenis lain. Rasa cinta laki-laki yang sudah “mampu” idealnya segera ditindaklanjuti dengan pernikahan sehingga bisa menciptakan hidup yang maslahah penuh ketenangan dan cinta kasih (sakinah, mawaddah, rahmah) sesuai dengan insting kemanusiaanya (al-Rum/30: 21). Karena telah memahami, suami akan memperlakukan istrinya dengan ma’ruf, dan melakukan hubungan seksual (jima’) secara sopan dan nyaman untuk mereguk kenikmatan bersama dengan teknik dan arah mana yang disukainya, fa’tu hartsakum anna syi’tum (QS. Al-Baqarah/2: 223).
Pendidikan seks dapat mengantarkan pemahaman terhadap antar jenis, bahwa manusia (laki-laki-perempuan) sama di hadapan Allah yang membedakan secara fisik hanya bentuk anatomi tubuh beserta fungsi reproduksinya saja sehingga karena perbedaan itu yang laki-laki bisa membuahi dan perempuan bisa dibuahi, hamil, dan melahirkan. Pada wilayah domistik dan publik kedua jenis kelamin ini harus saling melengkapi, menyempurnakan, dan mencintai untuk membangun ketakwaan dan keharmonisan hidup bersama dalam keluarga dan masyarakat. Pergolakan panjang dalam sejarah dan sampai kini yang masih dapat disaksikan adalah perempuan diposisikan sebagai barang yang bisa diperjualbelikan (traficking seperti jaman Jahiliah) dan dimiliki seperti barang. Ekspresi laki-laki bahwa ia “memiliki perempuan” menyimpan dua makna; perempuan sebagai obyek dan sebagai sesuatu yang arbitrer tidak terlalu jelas dibedakan.
Secara garis besar, pendidikan seks diberikan sejak usia dini (dan pada usia remaja) dengan tujuan agar dapat:
1. Membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti pertumbuhan, masa puber, dan kehamilan.
2. Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan.
3. Mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual.
4. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan.
5. Mendorong hubungan yang baik.
6. mencegah remaja dibawah umur terlibat dalam hubungan seksual (sexual intercourse).
7. Mengurangi kasus infeksi melalui seks.
8. Membantu anak muda yang bertanya tentang peran laki-laki dan perempuan di masyarakat.

V. Teknik Pendidikan Seks
Strategi pendidikan seks, sebagaimana pendidikan dengan materi apapun, harus disesuaikan dengan tujuan, tingkat kedalaman materi, usia anak, tingkat pengetahuan dan kedewasaan anak, dan media yang dimiliki oleh pendidik. Apabila dikaitkan dengan budaya lokal, penjelasan harus tidak tercerabut dari tradisi lokal yang positif, moral, dan ajaran agama.
Sebagai orang Jawa, pendidik diharapkan memahami tentang budayanya termasuk dalam pendidikan seksnya. Dalam budaya Jawa pendidikan seks dimulai dari hubungan-hubungan sosial pada masa remaja dalam sistem sosial Jawa yang erat sangkut-pautnya dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya meskipun dalam percakapan banyak lelucon mengenai seks. Karena ada rasa tabu dalam pembicaraan seks, orang Jawa memiliki simbol lingga- yoni. Lingga melambangkan falus atau penis, alat kelamin laki-laki. Sedangkan Yoni melambangkan vagina, alat kelamin perempuan. Simbol-simbol ini sudah lama dipakai oleh masyarakat nusantara sebagai penghalusan atau pasemon dari hal yang dianggap jorok. Simbol lain seperti lesung-alu, munthuk-cobek dan sebagainya juga bermakna sejenis. Pelukisan seksual dalam khasanah filsafat Jawa dikenal dengan isbat curiga manjing warangka yang arti lugasnya adalah keris masuk kedalam sarungnya.
Pendidikan seks model Jawa yang serba menggunakan unggah-ungguh agar tidak “saru” tersebut disebakan karena hubungan seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia. Keharmonisan yang beraroma kenikmatan tinggi jika menggunakan seluruh tubuh untuk mencari dan mengekspresikan kepuasan satu sama lain. Hubungan seksual demikian adalah seks yang sesungguhnya dan yang memberi arti yang sangat dalam.
Secara edukatif, anak bisa diberi pendidikan seks semenjak ia bertanya diseputar seks. Bisa jadi pertanyaan anak tidak terucap lewat kata-kata, untuk itu ekspresi anak harus bisa ditangkap oleh orang tua atau pendidik. Clara Kriswanto, sebagaimana yang dikutip oleh Nurhayati Syaifuddin,menyatakan bahwa pendidikan seks untuk anak usia 0-5 tahun adalah dengan teknik atau strategi :
1. Membantu anak agar ia merasa nyaman dengan tubuhnya.
2. Memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sayang dari orang tuanya secara tulus.
3. Membantu anak memahami perbedaan prilaku yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar. Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi, tidak boleh disentuh, dan dilihat orang lain.
4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan perempuan.
5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan berbohong kepada anak seperti ”adik datang dari langit atau dibawa burung”. Penjelasan disesuaikan dengan keingintahuan atau pertanyaan anak misalnya dengan contoh yang terjadi pada binatang.
6. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang mampu menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya sendiri.
7. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap bagian tubuh dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan dan penis adalah alat kelamin pria ketimbang mengatakan dompet atau burung.
8. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi.
9. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi kepada orang tua untuk setiap pertanyaan tentang seks.
10. Perlu ditambahkan, teknik pendidikan seks dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang susunan keluarga (nasab) sehingga memahami struktur sosial dan ajaran agama yang terkait dengan pergaulan laki-laki dan perempuan. Saat anak sudah bisa nalar terhadap struktur tersebut orang tua bisa mengkaitkannya dengan pelajaran Fiqh.
11. Membiasakan dengan pakaian yang sesuai dengan jenis kelaminnya dalam kehidupan sehari-hari dan juga saat melaksanakan salat akan mempermudah anak memahami dan menghormati anggota tubuhnya.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa teknik pendidikan seks tersebut dilakukan dengan menyesuaikan terhadap kemampuan dan pemahaman anak sehingga teknik penyampaian dan bahasa amat perlu dipertimbangkan.
VI. Guru Pendidikan Seks
Tugas mendidik anak pada dasarnya menjadi kewajiban kedua orang tua tetapi karena berbagai keterbatasan tugas orang tua tersebut dibagi dengan kerabat dekat, guru, ustadz, kyai, atau pendidik beserta masyarakat lingkungan di mana anak tersebut tinggal.
Pada anak usia 0-5 tahun peran orang tua dan guru PAUD menjadi dominan karena mobilitas mereka banyak berpusat pada keluarga dan PAUD. Di luar itu anak usia dini berinteraksi dengan teman bermainnya yang sebaya dalam groupnya. Kebanyakan ibu yang mengambil peran lebih dibandingkan dengan yang lain. Ibu sebagai penjaga dan pendidik (seks) anak pada usia dini diharuskan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai terhadap materi dan strategi pembelajarannya.
Ibu dan perempuan yang pada umumnya sangat dekat dengan anak-anak memerlukan pendidikan yang cukup dan tidak bisa lagi ditolerir mereka hanya diajar oleh orang tua secara natural tanpa desain pembelajaran dan pendidikan yang memadai. Pendidikan perempuan yang berkualitas harus diupayakan terus menerus jika masyarakat menginginkan kehidupan masa depannya menjadi lebih baik dan berperadaban.

VII. Tempat Pendidikan Seks
Terkait dengan tempat pendidikan seks bagi anak, patut direnungkan pernyataan menarik dari Kuntowijoyo tentang generasi Muslim saat ini yang sulit dikendalikan oleh tokoh-tokoh agama dan spiritual dan berkoordinasi dengan ulamanya meskipun ia memiliki pemahaman keagamaan yang memadai. Menurut Kunto, hal ini disebabkan karena mereka jauh dari masjid dan belajar secara anonim, dalam artian mereka belajar tidak berhadapan dengan guru atau ustadz di masjid sebagaimana jaman dahulu biasa dilakukan oleh para remaja desa. Saat ini para pemuda Muslim belajar Islam dari koran, majalah, radio, TV, dan internet. Tidak ada lagi komunikasi antara guru- murid sehingga tiada pula interaksi dan ikatan batin dan ruhaniyah (spiritual) di antara mereka. Generasi baru Muslim ini telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Tangisnya kalah keras oleh gemuruh teriakan-teriakan reformasi, generasi yang tanpa rujukan yang jelas, generasi yang tidak mempedulikan anatomi dan rujukan keilmuannya yang disebutnya sebagai Muslim tanpa masjid.
Pendidikan seks bagi anak sejak dini harus dilakukan oleh orang tua dan guru dengan berpusat pada masjid. Masjid dalam arti harfiah yaitu tempat sujud yang berada di setiap rumah keluarga Muslim karena itu setiap rumah idealnya disediakan ruang khusus untuk beribadah. Atau di masjid dalam arti syar’i yaitu bangunan yang digunakan untuk beribadah terutama shalat dan menjadi pusat kegiatan pendidikan dan sosial umat. Anak semenjak dini harus diperkenalkan dengan masjid sebagai pusat gerak kehidupannya sehingga secara psikis-sosio-spiritual, karakter mereka akan terbangun secara positif.
Agar masjid memiliki peran edukatif seperti sebagai tempat mendidik anak-anak, remaja, dan orang tua masjid harus didesain dengan memperhatikan kebutuhan warga jamaahnya semisal pendidikan seks, pendidikan kreatif, atau lainnya. Pendidikan seks yang diadakan oleh remaja atau takmir masjid di masjid akan memiliki nilai lebih karena sentuhan spiritualnya yang lebih kental. Masjid bisa sebagai pendidikan alternatif di saat biaya pendidikan melambung sulit dijangkau oleh masyarakat umum.
Masjid memberikan multi pelajaran bagi yang memanfaatkannya sehingga mereka mampu menyerap ilmu untuk kebahagiaan di duninya dan mengambil hikmah untuk persiapan ia kembali dan menghadap kepada tuhannya.
.
VIII. Penutup
Pendidikan seks terhadap anak usia dini membutuhkan pendalaman terhadap materi agar tepat sesuai dengan kebutuhan, usia, dan tingkat pemahaman dan kedewasaan anak. Di samping itu diperlukan strategi atau teknik penyampaian yang komunikatif – efektif. Sebagaimana petuah C.W. Longenecker kompetisi dalam mengarungi kehidupan tidak selamanya dimenangkan oleh orang yang kuat tetapi seringkali diraih oleh orang yang berfikir untuk mengatur strategi. Selalu berfikir kreatif untuk mengatur strategi dalam rangka mencapai hidup yang lebih bahagia dan sejahtera.
Kebahagiaan dan kesejahteraan tidaklah diwariskan tetapi diusahakan. Banyak orang ilmuan, tokoh populer, dan jaya dalam hidupnya tetapi tidak mampu menelurkan generasi berkualitas sekaliber dirinya, tetapi banyak juga orang kebanyakan yang mampu mencetak generasi mulia dan brilian karena mau berfikir kreatif dengan mencoba strategi baru yang lebih baik untuk dirinya dan anak-anak atau generasinya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar