POSISI MADRASAH
DALAM KONTEKS OTONOMI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU No.29 tahun 199) tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah, memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan.
Disadari bahwa pemberian porsi yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di bidang pendidikan membawa sejumlah implikasi, seperti bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk menjalankan peran yang lebih besar menjadi sentral dalam pelaksaan desentralisasi pendidikan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan seperti sekarang terdapat persoalan yang muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan yang pada dasarnya terkonsentrasi pada tingkat kabupaten dan kota. Lebih dari itu, desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat sekolah
Otonomi pendidikan dimaksudkan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkunagn setempat. Dampak dari pemberlakun kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut juga sangat dirasakan oleh lembaga madrasah yang nota bene juga merupakan institusi pendidikan (Islam).
Madrasah yang selama ini lebih akrab di juluki “anak tiri” dari Kementrian Pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah seakan telah jatuh dan tertimpa tangga. Alasan itu cukuplah logis, karena selain selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah melalui dewan kependidikan yang dimiliki, alasan lain yang muncul adalah dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, seolah madrasah ditinggal begitu saja oleh pemerintah.
Anggapan tersebut boleh saja salah, karena kalau kita telusuri jauh, sebenarnya madrasah yang selama ini hidup dan berkembang di Indonesia adalah manifestasi dari suara akar rumput, dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah lembaga madrasah dalam konteks otonomi dan desentralisasi pendidikan terus menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu instrument pendidikan berciri khas Islam yang dimiliki oleh Indonesia.
B. Sejarah Kemunculam dan Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia
1. Latar Belakang Kemunculan Madrasah di Indonesia
Dalam sejarah pendidikan Islam, lembaga madrasah sudah menjadi fenomena menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad H) , khususnya ketika Wazir Bani Saljuk Nizam Al-Mulk mendirikan Madrasah Nizamiyyah di Baghdad. Kebanyakan penulis sejarah Islam juga membuktikan bahwa lembaga pendidikan itu merupakan salah satu bentuk khas dari tradisi pendidikan dalam Islam .
Sebelum pendirian madrasah, praktek-praktek pendidikan Islam lebih banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab disamping beberapa pusat studi seperti Dar al-Hikmah. Pada masa pertengahan, madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam par excellence, menjadi tren hamper disemua wilayah kekuasaan Islam. Tentu saja, sejalan dengan perkembangan masa yang terus membawakan perubahan-perubahan, eksistensi madrasah di dunia Islam tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian, dari yang semula bersifat ekslusif menjadi lembaga pendidikan yang lebih terbuka, baik dari sudut kelembagaan, metodologi, maupun kurikulum dan pengelolaannya .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan madrasah sebagai-istilah sebutan-untuk satu jenis pendidikan Islam di gunakan di Indonesia . Namun, beberapa pihak menyepakati bahwa kemunculan madrasah didasarkan atas pengertian umum yang memaknai bahwa lembaga madrasah telah masuk dan berkembang di Indonesia seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia .
Walaupun belum menemukan kata sepakat, mayoritas peneliti lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa menyerupakan antara madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M dengan madrasah yang berkembang di Indonesia adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Kalaupun mau dihubungkan, hal iru lebih tepat bila dikaitkan dengan pesantren. Pasalnya, bila diukur dari ketentuan fisik, menurut George Maksidi, ditemukan kesamaan diantara keduanya, yaitu sama-sama terdiri dari masjid, asrama dan ruang belajar .
Sejalan dengan semua di atas, agaknya lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri; dan hal itu dimulai pada awal abad ke-20. kesimpulan ini didasarkan atas penyisiran bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal abad ke-20 merupakan pengaruh dar gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah .
Berbeda dengan tesis H. Maksum, ada pendapat lain yang disampaikan oleh Karel A Steenbrink seorang sarjana Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda tentang pertumbuhan lembaga madrasah di Indonesia. Dalam penelitiannya yang menelusuri pertumbuhan marasah di Indonesia, dia menyimpulkan bahwa kemunculan madrasah adalah respon pesantren sebagai akibat adanya lembaga pendidikan modern secara berjenjang yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda . Hal ini diamini oleh Abdu Rachman Assegaf yang menjabarkan bahwa isi dari kebijakan kolonial Belanda adalah pemerintah Belanda memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2 yang menyatakan “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah” .
Dari perdebatan ini, ada dua kemungkinan kebenaran eksistensi historis awal kemunculan lembaga madrasah di Indonesia, yakni adanya pembaharuan Islam dan adanya pengaruh kebijakan pendidikan yang diterpakan oleh pemerintah colonial belanda. Terlepas dari perdebatan ini, menurut hemat penulis, yang jelas madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam dan perlu mendapat perhatian atau apresiasi yang memadai dari bebrbagai kalangan sebagai lembaga pendidikan berciri khas Islam yang asli dan muncul dari rahim tradisi Indonesia.
2. Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia
Memulai tulisan tentang perkembangan madrasah di Indonesia, penulis membagi setting historisi ini dalam dua fase, yaitu perkembangan madrasah di era orde lama dan madrasah di era orde lama.
Perkembangan madrasah pada masa orde lama sangat identik dengan peran Departemen Agama yang resmi didirikan pada tanggal 3 januari 1946. lembaga inilah yang yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan diberbagai sekolah, disamping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu document disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: pertama, memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikulir (swasta), kedua, memberikan pengetahuan umum di madrsasah, ketiga, mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) .
Salah satu gambaran yang cukup menonjol dari perkembangan madrasah adalah didirikannya kedua lembaga milik Depag diatas. Menurut mahmud Yunus, kedua madrasah ini menandai perkembangan yang sangat signifikan, yaitu dimana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang professional dalam bidang keagamaan. Terutama PGA yang nantinya akan menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis menjadi motor bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah, sehingga bias dikatakan bahwa lembaga tersbut menjamin perkembangan madrasah di Indonesia . Salah satu hasil yang cukup menonjol dari pembinaan madrasah pada masa Orde Lama adalah pengembangan yang intensif terhadap madrasah keguruan, baik dalam bentuk Pendidikan Guru Agama maupun Sekolah Guru Hakim Agama.
Pada perkembangan lembaga madrasah selanjutnya, secara historis pada masa Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah pada dasarnya lebih bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini, di era tahun 70-an sampai 80-an, madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidkan nasional, akan tetapi hanya menjadi lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Departemen Agama. Secara akademik, alasan utamanya adalah alasan politis bahwa system pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandartkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Fenomena kepedulian pemerintah dalam membenahi kelembagan madrasah mulai muncul pada tahun 1975. Pada tahun tersebut, pemerintah menggulirkan kebijkan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Latar belakang kemunculan keputusan ini sebagaimana terulang dalam dictum pertimbangannya yang menyatakan “Bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional pada umumnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa pada khusunya, serta memberikan kesempatan yang sama pada tiap-tiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengajaran yang sama bagi warga negara, perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, agar lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi” .
Dalam konteks di atas, sejumlah diktum lain yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagia-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum. Dalam Bab I, pasal 1, ayat (2) dari surat keputusan itu dinyatakan bahwa madrasah itu meliputi tiga tingkatan:
1. Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar
2. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
3. Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas .
3. Integrasi Madrasah dalam Sitem Pendidikan Nasional
Akhir decade 80-an dunia pendidikan Islam di Indonesia memasuki era integrasi, ditandai dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan dengan Undang-Undang kependidikan sebelumnya, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan. Dalam Undang-Undang ini tertuliskan bahwa pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan, dan pendidikan keagamaan. Walaupun secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam, tetapi dalam prakteknya UU ini memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam .
Implikasi dari UUSPN ini terhadap pendidikan madrasah dapat diamati pada kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, sampai jenjang Aliyah. Secara umum perjenjangan itu parallel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah umum, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan terintegrasi itu, Madarsah Ibtidaiyah pada dasarnya adalah “Sekolah Dasar Berciri khas Islam” Madrasah Tsanawiyah adalah “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri khas Islam”. Kedua-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam katagori pendidikan dasar. Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan sebagai “Sekolah Menengah Umum Berciri khas Islam”.
C. Konsep Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
1. Sejarah Lahirnya Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomi bersal dari bahasa yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987 : 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Ototnomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan sendiri” (Danurejdo, 1977), “perundangan sendiri” (Koesoemahatmadja, 1979 : 9) “mengatur atau memerintah sendiri” (Riant Nugroho, 2000 : 46). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan, juga mengandung pengertian pemerintahan (bestuur) .
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar, diantaranya Syarif Saleh mengertikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menetukan hokum sendiri, dan pemerintah sendiri. Sugeng Istanto meyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenagng untuk mengatur dan megurus rumah tangga daerah. Sementara itu Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemadirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wuhud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. S.H. Sarundajang menulis bahwa hakikat otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenag otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya; (3) Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenag pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya, dan ; (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, ide tentang otonomi dan desentralisasi sebenarnya telah lama dimulai, yakni sejak tahun 1973, tepatnya sejak ditetapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok penyelenggaraan pemerintahan yang membagi tugas antara pusat dan daerah. Langkah kearah desentralisasi dilanjutkan beberapa tahun berikutnya melaui Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1992 dan diperkuat lagi melaui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1995. sejak Peraturan Pemerintah tersebut diberlakukan, uji coba desentralisasi yang hasilnya memberikan kekuasaan Daerah Tingkat II ternyata tidak berjalan lancar, sebab daerah belum siap melaksanakan dan mendukung pengelolaan program pengembangan secara independent .
Upaya ke arah pelaksanaan desentralisasi semakin gencar dengan maraknya tuntutan terhadap reformasi total atas penyelenggaraan pemetintahan Orde Baru oleh kekuatan rakyat yang menginginkan adanya perubahan. Puncaknya pada tahun 199 telah ditetapkan dua perundang-undangan, yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang mengatur kewenagan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.
Sebagai suatu keputusan politis, desentralisasi berarti pemberian wewenag dari pemilik wewenang kepada pelaksana penguasa di bawahnya. Desentralisasi juga mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintahan. Pertama, perubahan yang berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat yang secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Para pengelola dan pengambil kebijakan pendidikan di daerah dituntut untuk menyadari bahwa keberadaan pendidikan merupakan tanggung jawab yang harus di emban dengan baik. Dalam kerangka ini, pemerintahan daerah harus berupaya agar pendidikan yang selama ini kurang diperhatikan secara proporsional dibandingkan dengan sector politik, ekonomi dan tehknologi oleh pemerintah pusat, harus diposisikan secara strategis sebagai dasar pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kedua, perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini, desentralisasi menunjukkan adanya pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan daerah kabupaten kota sebagai sentra desentralisasi. Pergeseran kewenangan ini berkaitan erat dengan kosentrasi pengambilan kebijakan yang diberikan kepada struktur lebih bawah dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan berkenaan dengan pendidikan. Desentralisasi pendidikan juga mengandung arti adanya pelimpahan kewenangan pemerintah kepada masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan untuk ikut serta bertanggung jawab dalam memajukan pendidikan .
Dengan mengamati maksud dan tujuan dari kebijakan otonomisasi dan desentralisasi bidang pendidikan di atas, Hasbullah menyatakan setidakanya ada tiga tantangan besar yang harus dipikul oleh bidang pendidikan di Indoensia seiring dengan diberlakukannya peraturan tersebut, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, dan; (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah system pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong partisipasi masyarakat .
2. Tantangan Yang Dihadapi Lembaga Madrasah di Era Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Otonomi pendidikan di satu sisi tidak dapat dipisahkan dari gerakan global, yaitu proses demokratisasi, atau menurut istilah komtemporer adalah “proses menuju masyarakat madani”. Di seluruh dunia muncul gerakan-gerakan dari bawah (grass-root) yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan . Suyanto juga memaparkan bahwa dalam menghadapi persaingan global abad ke-21 kemampuan tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing di tingkat global, dan bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan SDM, terutama dalam era otonomi seperti sekarang .
Otonomi pendidikan sebenarnya adalah sebuah upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat pemiliknya agar hidup dari, oleh dan untuk masyarakat, agar layanan pendidikan lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien, dan efektif. Namun, persoalannya sekarang adalah apakah kebijakan otonomi pendidikan yang terangkum dalam otonomi daerah tidak membawa dampak tertentu dalam implementasinya? Lalu, bagaimanakah prospek lembaga madrasah dalam menghadapi pemberlakukan Undang-Undang tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, posisi lembaga madrasah dalam struktur pendidikan nasional bagaikan seorang anak tiri. Penulis katakan demikian karena, madrasah sampai saat ini belum masuk dalam struktur Departemen Pendidikan, dan masih istiqomah menjadi santri dari Departemen Agama. Sedangkan di sisi lain kita sadar, bahwa urusan Departemen Agama sangatlah kompleks, yaitu sebagai induk dari urusan-urusan keagamaan yang ada di Indonesia. Hal ini memungkinkan terjadinya pertarungan kepentingan, antara urusan agama dengan urusan kependidikan yang ada di bawahnya (madrasah. Red). Berbeda dengan lembaga madrasah yang selama ini dikelola oleh swata, yang memang nota bene sejak dari awal sudah tumbuh dan berkembang oleh, dari dan utuk masyarakat, sehingga tidak akan terkejut menghadapi kebijakan pemerintah mengenai otonomi pendidikan.
Sebuah tantangan yang harus dijawab oleh lembaga madrasah dalam konteks otonomi pendidikan, adalah: (1) apa sebenarnya makna lembaga madrasah ditengah-tengah masyarakat otonom dan peran apa yang dimainkannya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah, khususnya di bidang pengembangan Pendidikan Islam? dan (2) mampukah lembaga madrasah meng-guide perhatian masyarakat dan pemerintah daerah otonom, sehingga mereka mampu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan finansialnya untuk pengembangan lembaga madrasah ke depan? .
Persoalan lain yang perlu ditanggapi serius oleh lembaga madrasah adalah, di era global seperti sekarang ini, dimana kita sebagai keseluruhan bangsa Indonesia harus siap bersaing dengan dunia global, dengan berbagai standarisasi dan kompetensi tertentu. Pertanyaanya adalah, mampukah out put lembaga madrasah bersaing dengan lulusan sekolah umum dalam menghadapi pasar global dan dunia kerja. Sebelum jauh menuju kesana, kita juga harus melihat dalam kasus UAN, apakah prosentase peserta didik madrasah yang lulus dari UAN lebih besar dari lembaga sekolah umum.
Berbagai persolan di atas kiranya cukup kompleks untuk sekedar merenungkan dan memikirkan kembali, apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga madrasah untuk mempertahankan eksistensinya di negara ini, apakah masih mampu menunjukkan tajinya seperti yang sudah menjadi memori masa lalu, atau pamornya akan semakin meredup seiring dengan dikembalikannya posisi kebijakan pendidikan ke tangan asalnya yaitu masyrakat.
D. Reposisi Lembaga Madrasah dalam Konteks Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Memasuki era otonomi seperti sekarang ini, sudah bukan waktunya lagi memperdebatkan apakah pendidikan agama dimasukkan ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Yang harus dilakukan adalah melihat relitas madrasah sebagai “instrument pendidikan”. Oleh karena itu, kini saatnya pemerintah rela memasukkan institusi madrasah ke dalam bidang pendidikan. Mengingat, praktek sentralisasi manajemen pendidikan (baik umum maupun keagamaan) selama ini dinilai gagal. Selama ini Pemerintah Pusat dirasa tidak mampu menangani kasus-kasus kriminalitas pendidikan seperti KKN, pungutan liar, pembocoran naskah ujian, dan berbagai kasus serupa lainnya .
Madrasah sendiri dalam pertumbuhan dan perkembanagnnya yang dilakukan sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 telah menunjukkan banyak banyak kemajuan. Beberapa indicator yang menunjukkan keberhasilan pengembangan madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (terutama negeri) sudah banyak dan cukup bagus dan baik. Bahkan ada beberapa madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sarana pendidikan yang mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium, dan perpustakaan. Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun diluar negeri .
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam pengembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan peroeangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Ketika sekarang banyak pihak berbicara tentang otonomi pendidikan, strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based manajemen), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenal hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan bermuara pada system madrasah (school based management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom.
Pilihan otonomisasi dan desentralisasi pendidikan secara tidak langsung telah memberikan madrasah kepada pemilik awalnya, yaitu masyarakat, dengan kata lain berarti Departemen Agama telah menyerahkan penyelenggaraan madrasah ke pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan pengakuan pemerintah terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai keunikan tersendiri dan sebagai bagian dari diversifikasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dalam menghadapi era otonomi pendidikan, madrasah harus melakukan tindakan-tindakan yang mendukung terhadap kebijakan tersebut, hal ini disebabkan bahwa sebenarnya inilah kekuatan madrasah itu sendiri, yakni kembali kepada mainstream awal, dimana madrasah sendiri itu muncul sebagai kekuatan rakyat tersendiri. Namun, dengan istilah “menang angin” seperti sekarang juga harus dijadikan landasan berpijak bagi institusi madrasah untuk terus berbenah dan melakukan re-orientasi terhadap tujuan, metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Sebab kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga madrasah akan tertinggal. Dengan demikian, perlu dilakukan tinjauan kembali tentang posisi madrasah di dalam dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan kata lain madrasah sendiri harus merumuskan kembali posisinya atau reposisi madrasah. Apabila tidak demikian, madrasah akan kehilangan identitasnya dan menjadi seperti sekolah yang menjadi anak emas pemerintah selama ini .
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan madrasah sebagai bahasa penjelas dari reposisi madrasah itu sendiri. Pertama, madarasah harus mengakomodasi berbagai masukan dan kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah.
Kedua, madrasah hendaknya menajdi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi keilmua di lembaga pendidikan ini. Madrasah hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta memebrikan kebebasan kepada para siswa untuk mendalami pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan pilihan minatnya.
Ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang responsive terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan efisien dalam proses pendidikan harus di kedepankan oleh madrasah .
E. Penutup
Disadari ataupun tidak, otonomi pendidikan memeberikan kesempatan luas terhadap lembaga pendidikan madrasah menuju kemandirian dan keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Tetapi semua itu menuntut tanggungjawab dari diri sendiri bersama seluruh masyrakat. Karena, tidak sepantasnyalah kita selalu meyalahkan birokrasi atau pemerintah sebagai penghambat kemajuan madrasah
Pemberlakukan otonomi pendidikan inipun yang seharusnya dijadikan madrasah untuk merekonstruksi mainstream awalnya. Juga dengan situasi seperti ini, seharusnya menggerakkan hati nurani para pengeola madrasah untuk terus membuka diri terhadap perubahan yang ada. Disertai dengan perbaikan-perbaikan dari segi tujuan, metode serta manajerialisasi yang selama ini dirasa menjadi titik lemah lembaga madrasah.
Daftar Pustaka
Abdu Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Proklamasi ke Reformasi, Kurnia Kalam, Yogyakarta 2005
Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Ar-Ruzz, Yogyakarta 2006
Ainur Rafiq Dawam dan Ahmad Ta’rifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Listafariska Putra, Yogyakarta 2004
Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2006
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1975 jo. 037/U/1975 jo. No. 36 tahun 1975 tentang Penigkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999
Mastuki, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia, Bagian Proyek EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta 2001
Muhaimin, Wacana Pengembangan Kependidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003
Sindhunata (Editor), Mengagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta 200.
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global). PSAP Muhammadiyah, Jakarta 2006
Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional tahun 1989
DALAM KONTEKS OTONOMI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU No.29 tahun 199) tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat Kepada Pemerintah Daerah, memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi dalam upaya pembangunan daerahnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi terhadap perubahan terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan.
Disadari bahwa pemberian porsi yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di bidang pendidikan membawa sejumlah implikasi, seperti bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk menjalankan peran yang lebih besar menjadi sentral dalam pelaksaan desentralisasi pendidikan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan seperti sekarang terdapat persoalan yang muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan yang pada dasarnya terkonsentrasi pada tingkat kabupaten dan kota. Lebih dari itu, desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat sekolah
Otonomi pendidikan dimaksudkan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkunagn setempat. Dampak dari pemberlakun kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut juga sangat dirasakan oleh lembaga madrasah yang nota bene juga merupakan institusi pendidikan (Islam).
Madrasah yang selama ini lebih akrab di juluki “anak tiri” dari Kementrian Pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah seakan telah jatuh dan tertimpa tangga. Alasan itu cukuplah logis, karena selain selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah melalui dewan kependidikan yang dimiliki, alasan lain yang muncul adalah dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, seolah madrasah ditinggal begitu saja oleh pemerintah.
Anggapan tersebut boleh saja salah, karena kalau kita telusuri jauh, sebenarnya madrasah yang selama ini hidup dan berkembang di Indonesia adalah manifestasi dari suara akar rumput, dengan berbagai keunikan yang dimiliki. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mampukah lembaga madrasah dalam konteks otonomi dan desentralisasi pendidikan terus menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu instrument pendidikan berciri khas Islam yang dimiliki oleh Indonesia.
B. Sejarah Kemunculam dan Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia
1. Latar Belakang Kemunculan Madrasah di Indonesia
Dalam sejarah pendidikan Islam, lembaga madrasah sudah menjadi fenomena menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad H) , khususnya ketika Wazir Bani Saljuk Nizam Al-Mulk mendirikan Madrasah Nizamiyyah di Baghdad. Kebanyakan penulis sejarah Islam juga membuktikan bahwa lembaga pendidikan itu merupakan salah satu bentuk khas dari tradisi pendidikan dalam Islam .
Sebelum pendirian madrasah, praktek-praktek pendidikan Islam lebih banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab disamping beberapa pusat studi seperti Dar al-Hikmah. Pada masa pertengahan, madrasah dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam par excellence, menjadi tren hamper disemua wilayah kekuasaan Islam. Tentu saja, sejalan dengan perkembangan masa yang terus membawakan perubahan-perubahan, eksistensi madrasah di dunia Islam tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian, dari yang semula bersifat ekslusif menjadi lembaga pendidikan yang lebih terbuka, baik dari sudut kelembagaan, metodologi, maupun kurikulum dan pengelolaannya .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, tidak diketahui secara pasti kapan madrasah sebagai-istilah sebutan-untuk satu jenis pendidikan Islam di gunakan di Indonesia . Namun, beberapa pihak menyepakati bahwa kemunculan madrasah didasarkan atas pengertian umum yang memaknai bahwa lembaga madrasah telah masuk dan berkembang di Indonesia seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia .
Walaupun belum menemukan kata sepakat, mayoritas peneliti lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa menyerupakan antara madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M dengan madrasah yang berkembang di Indonesia adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Kalaupun mau dihubungkan, hal iru lebih tepat bila dikaitkan dengan pesantren. Pasalnya, bila diukur dari ketentuan fisik, menurut George Maksidi, ditemukan kesamaan diantara keduanya, yaitu sama-sama terdiri dari masjid, asrama dan ruang belajar .
Sejalan dengan semua di atas, agaknya lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri; dan hal itu dimulai pada awal abad ke-20. kesimpulan ini didasarkan atas penyisiran bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada awal abad ke-20 merupakan pengaruh dar gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaharuan Islam di Timur Tengah .
Berbeda dengan tesis H. Maksum, ada pendapat lain yang disampaikan oleh Karel A Steenbrink seorang sarjana Teologi Universitas Katolik Nijmegen Belanda tentang pertumbuhan lembaga madrasah di Indonesia. Dalam penelitiannya yang menelusuri pertumbuhan marasah di Indonesia, dia menyimpulkan bahwa kemunculan madrasah adalah respon pesantren sebagai akibat adanya lembaga pendidikan modern secara berjenjang yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda . Hal ini diamini oleh Abdu Rachman Assegaf yang menjabarkan bahwa isi dari kebijakan kolonial Belanda adalah pemerintah Belanda memberlakukan ordonansi Indische Staatsregeling pasal 179 ayat 2 yang menyatakan “pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing. Dan, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah” .
Dari perdebatan ini, ada dua kemungkinan kebenaran eksistensi historis awal kemunculan lembaga madrasah di Indonesia, yakni adanya pembaharuan Islam dan adanya pengaruh kebijakan pendidikan yang diterpakan oleh pemerintah colonial belanda. Terlepas dari perdebatan ini, menurut hemat penulis, yang jelas madrasah adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam dan perlu mendapat perhatian atau apresiasi yang memadai dari bebrbagai kalangan sebagai lembaga pendidikan berciri khas Islam yang asli dan muncul dari rahim tradisi Indonesia.
2. Sejarah Perkembangan Madrasah di Indonesia
Memulai tulisan tentang perkembangan madrasah di Indonesia, penulis membagi setting historisi ini dalam dua fase, yaitu perkembangan madrasah di era orde lama dan madrasah di era orde lama.
Perkembangan madrasah pada masa orde lama sangat identik dengan peran Departemen Agama yang resmi didirikan pada tanggal 3 januari 1946. lembaga inilah yang yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan diberbagai sekolah, disamping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu document disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: pertama, memberikan pengajaran agama disekolah negeri dan partikulir (swasta), kedua, memberikan pengetahuan umum di madrsasah, ketiga, mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) .
Salah satu gambaran yang cukup menonjol dari perkembangan madrasah adalah didirikannya kedua lembaga milik Depag diatas. Menurut mahmud Yunus, kedua madrasah ini menandai perkembangan yang sangat signifikan, yaitu dimana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang professional dalam bidang keagamaan. Terutama PGA yang nantinya akan menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis menjadi motor bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah, sehingga bias dikatakan bahwa lembaga tersbut menjamin perkembangan madrasah di Indonesia . Salah satu hasil yang cukup menonjol dari pembinaan madrasah pada masa Orde Lama adalah pengembangan yang intensif terhadap madrasah keguruan, baik dalam bentuk Pendidikan Guru Agama maupun Sekolah Guru Hakim Agama.
Pada perkembangan lembaga madrasah selanjutnya, secara historis pada masa Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah pada dasarnya lebih bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini, di era tahun 70-an sampai 80-an, madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidkan nasional, akan tetapi hanya menjadi lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Departemen Agama. Secara akademik, alasan utamanya adalah alasan politis bahwa system pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandartkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.
Fenomena kepedulian pemerintah dalam membenahi kelembagan madrasah mulai muncul pada tahun 1975. Pada tahun tersebut, pemerintah menggulirkan kebijkan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Latar belakang kemunculan keputusan ini sebagaimana terulang dalam dictum pertimbangannya yang menyatakan “Bahwa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional pada umumnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa pada khusunya, serta memberikan kesempatan yang sama pada tiap-tiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengajaran yang sama bagi warga negara, perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah, agar lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi” .
Dalam konteks di atas, sejumlah diktum lain yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagia-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum. Dalam Bab I, pasal 1, ayat (2) dari surat keputusan itu dinyatakan bahwa madrasah itu meliputi tiga tingkatan:
1. Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar
2. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
3. Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas .
3. Integrasi Madrasah dalam Sitem Pendidikan Nasional
Akhir decade 80-an dunia pendidikan Islam di Indonesia memasuki era integrasi, ditandai dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan dengan Undang-Undang kependidikan sebelumnya, UU ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan jenis pendidikan. Dalam Undang-Undang ini tertuliskan bahwa pendidikan nasional mencakup jalur sekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan, dan pendidikan keagamaan. Walaupun secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam, tetapi dalam prakteknya UU ini memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam .
Implikasi dari UUSPN ini terhadap pendidikan madrasah dapat diamati pada kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, sampai jenjang Aliyah. Secara umum perjenjangan itu parallel dengan perjenjangan pada pendidikan sekolah umum, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan terintegrasi itu, Madarsah Ibtidaiyah pada dasarnya adalah “Sekolah Dasar Berciri khas Islam” Madrasah Tsanawiyah adalah “Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Berciri khas Islam”. Kedua-duanya, MI dan MTs, termasuk dalam katagori pendidikan dasar. Sedangkan Madrasah Aliyah, pada dasarnya dikategorikan sebagai “Sekolah Menengah Umum Berciri khas Islam”.
C. Konsep Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
1. Sejarah Lahirnya Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan
Perkataan otonomi atau autonomi bersal dari bahasa yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987 : 9). Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Ototnomi diartikan sebagai zelfwetgeving atau “pengundangan sendiri” (Danurejdo, 1977), “perundangan sendiri” (Koesoemahatmadja, 1979 : 9) “mengatur atau memerintah sendiri” (Riant Nugroho, 2000 : 46). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan, juga mengandung pengertian pemerintahan (bestuur) .
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar, diantaranya Syarif Saleh mengertikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menetukan hokum sendiri, dan pemerintah sendiri. Sugeng Istanto meyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai hak dan wewenagng untuk mengatur dan megurus rumah tangga daerah. Sementara itu Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemadirian, tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wuhud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. S.H. Sarundajang menulis bahwa hakikat otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenag otonominya itu diluar batas-batas wilayah daerahnya; (3) Daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenag pangkal dan urusan yang diserahkan kepadanya, dan ; (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain .
Dalam konteks kenegaraan Indonesia, ide tentang otonomi dan desentralisasi sebenarnya telah lama dimulai, yakni sejak tahun 1973, tepatnya sejak ditetapkan Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok penyelenggaraan pemerintahan yang membagi tugas antara pusat dan daerah. Langkah kearah desentralisasi dilanjutkan beberapa tahun berikutnya melaui Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1992 dan diperkuat lagi melaui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1995. sejak Peraturan Pemerintah tersebut diberlakukan, uji coba desentralisasi yang hasilnya memberikan kekuasaan Daerah Tingkat II ternyata tidak berjalan lancar, sebab daerah belum siap melaksanakan dan mendukung pengelolaan program pengembangan secara independent .
Upaya ke arah pelaksanaan desentralisasi semakin gencar dengan maraknya tuntutan terhadap reformasi total atas penyelenggaraan pemetintahan Orde Baru oleh kekuatan rakyat yang menginginkan adanya perubahan. Puncaknya pada tahun 199 telah ditetapkan dua perundang-undangan, yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang selanjutnya disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang mengatur kewenagan pemerintah dan provinsi sebagai daerah otonom.
Sebagai suatu keputusan politis, desentralisasi berarti pemberian wewenag dari pemilik wewenang kepada pelaksana penguasa di bawahnya. Desentralisasi juga mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintahan. Pertama, perubahan yang berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat yang secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Para pengelola dan pengambil kebijakan pendidikan di daerah dituntut untuk menyadari bahwa keberadaan pendidikan merupakan tanggung jawab yang harus di emban dengan baik. Dalam kerangka ini, pemerintahan daerah harus berupaya agar pendidikan yang selama ini kurang diperhatikan secara proporsional dibandingkan dengan sector politik, ekonomi dan tehknologi oleh pemerintah pusat, harus diposisikan secara strategis sebagai dasar pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kedua, perubahan berkenaan dengan desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini, desentralisasi menunjukkan adanya pelimpahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan daerah kabupaten kota sebagai sentra desentralisasi. Pergeseran kewenangan ini berkaitan erat dengan kosentrasi pengambilan kebijakan yang diberikan kepada struktur lebih bawah dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan berkenaan dengan pendidikan. Desentralisasi pendidikan juga mengandung arti adanya pelimpahan kewenangan pemerintah kepada masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan untuk ikut serta bertanggung jawab dalam memajukan pendidikan .
Dengan mengamati maksud dan tujuan dari kebijakan otonomisasi dan desentralisasi bidang pendidikan di atas, Hasbullah menyatakan setidakanya ada tiga tantangan besar yang harus dipikul oleh bidang pendidikan di Indoensia seiring dengan diberlakukannya peraturan tersebut, yaitu (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai; (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global, dan; (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah system pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik, serta mendorong partisipasi masyarakat .
2. Tantangan Yang Dihadapi Lembaga Madrasah di Era Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Otonomi pendidikan di satu sisi tidak dapat dipisahkan dari gerakan global, yaitu proses demokratisasi, atau menurut istilah komtemporer adalah “proses menuju masyarakat madani”. Di seluruh dunia muncul gerakan-gerakan dari bawah (grass-root) yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan . Suyanto juga memaparkan bahwa dalam menghadapi persaingan global abad ke-21 kemampuan tenaga ahli kita belum cukup memadai untuk bersaing di tingkat global, dan bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan SDM, terutama dalam era otonomi seperti sekarang .
Otonomi pendidikan sebenarnya adalah sebuah upaya untuk mengembalikan pendidikan kepada masyarakat pemiliknya agar hidup dari, oleh dan untuk masyarakat, agar layanan pendidikan lebih memenuhi kebutuhan, lebih cepat, lebih efisien, dan efektif. Namun, persoalannya sekarang adalah apakah kebijakan otonomi pendidikan yang terangkum dalam otonomi daerah tidak membawa dampak tertentu dalam implementasinya? Lalu, bagaimanakah prospek lembaga madrasah dalam menghadapi pemberlakukan Undang-Undang tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, posisi lembaga madrasah dalam struktur pendidikan nasional bagaikan seorang anak tiri. Penulis katakan demikian karena, madrasah sampai saat ini belum masuk dalam struktur Departemen Pendidikan, dan masih istiqomah menjadi santri dari Departemen Agama. Sedangkan di sisi lain kita sadar, bahwa urusan Departemen Agama sangatlah kompleks, yaitu sebagai induk dari urusan-urusan keagamaan yang ada di Indonesia. Hal ini memungkinkan terjadinya pertarungan kepentingan, antara urusan agama dengan urusan kependidikan yang ada di bawahnya (madrasah. Red). Berbeda dengan lembaga madrasah yang selama ini dikelola oleh swata, yang memang nota bene sejak dari awal sudah tumbuh dan berkembang oleh, dari dan utuk masyarakat, sehingga tidak akan terkejut menghadapi kebijakan pemerintah mengenai otonomi pendidikan.
Sebuah tantangan yang harus dijawab oleh lembaga madrasah dalam konteks otonomi pendidikan, adalah: (1) apa sebenarnya makna lembaga madrasah ditengah-tengah masyarakat otonom dan peran apa yang dimainkannya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah, khususnya di bidang pengembangan Pendidikan Islam? dan (2) mampukah lembaga madrasah meng-guide perhatian masyarakat dan pemerintah daerah otonom, sehingga mereka mampu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan finansialnya untuk pengembangan lembaga madrasah ke depan? .
Persoalan lain yang perlu ditanggapi serius oleh lembaga madrasah adalah, di era global seperti sekarang ini, dimana kita sebagai keseluruhan bangsa Indonesia harus siap bersaing dengan dunia global, dengan berbagai standarisasi dan kompetensi tertentu. Pertanyaanya adalah, mampukah out put lembaga madrasah bersaing dengan lulusan sekolah umum dalam menghadapi pasar global dan dunia kerja. Sebelum jauh menuju kesana, kita juga harus melihat dalam kasus UAN, apakah prosentase peserta didik madrasah yang lulus dari UAN lebih besar dari lembaga sekolah umum.
Berbagai persolan di atas kiranya cukup kompleks untuk sekedar merenungkan dan memikirkan kembali, apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga madrasah untuk mempertahankan eksistensinya di negara ini, apakah masih mampu menunjukkan tajinya seperti yang sudah menjadi memori masa lalu, atau pamornya akan semakin meredup seiring dengan dikembalikannya posisi kebijakan pendidikan ke tangan asalnya yaitu masyrakat.
D. Reposisi Lembaga Madrasah dalam Konteks Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Memasuki era otonomi seperti sekarang ini, sudah bukan waktunya lagi memperdebatkan apakah pendidikan agama dimasukkan ke dalam bidang agama atau bidang pendidikan. Yang harus dilakukan adalah melihat relitas madrasah sebagai “instrument pendidikan”. Oleh karena itu, kini saatnya pemerintah rela memasukkan institusi madrasah ke dalam bidang pendidikan. Mengingat, praktek sentralisasi manajemen pendidikan (baik umum maupun keagamaan) selama ini dinilai gagal. Selama ini Pemerintah Pusat dirasa tidak mampu menangani kasus-kasus kriminalitas pendidikan seperti KKN, pungutan liar, pembocoran naskah ujian, dan berbagai kasus serupa lainnya .
Madrasah sendiri dalam pertumbuhan dan perkembanagnnya yang dilakukan sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 telah menunjukkan banyak banyak kemajuan. Beberapa indicator yang menunjukkan keberhasilan pengembangan madrasah dilihat dari kondisi fisik madrasah (terutama negeri) sudah banyak dan cukup bagus dan baik. Bahkan ada beberapa madrasah yang dijadikan model dilengkapi dengan sarana pendidikan yang mewadahi seperti pusat belajar, laboratorium, dan perpustakaan. Guru-guru madrasah juga telah ditingkatkan kompetensi dan kemampuannya melalui berbagai pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun diluar negeri .
Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan Islam, diantaranya madrasah, lahir dan dari dan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan madrasah pada hakikatnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat secara demokratis. Meskipun dalam pengembangannya madrasah dikelola oleh yayasan, pengurus, bahkan peroeangan, kehidupan madrasah tetap ditopang dan dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Ketika sekarang banyak pihak berbicara tentang otonomi pendidikan, strategi pendidikan dengan pendekatan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat (community based manajemen), madrasah khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang mengenal hal tersebut. Inilah kekuatan utama yang dimiliki oleh madrasah. Selanjutnya CBM akan bermuara pada system madrasah (school based management) yakni pengelolaan pendidikan yang dilakukan oleh madrasah secara otonom.
Pilihan otonomisasi dan desentralisasi pendidikan secara tidak langsung telah memberikan madrasah kepada pemilik awalnya, yaitu masyarakat, dengan kata lain berarti Departemen Agama telah menyerahkan penyelenggaraan madrasah ke pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan pengakuan pemerintah terhadap madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai keunikan tersendiri dan sebagai bagian dari diversifikasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Dalam menghadapi era otonomi pendidikan, madrasah harus melakukan tindakan-tindakan yang mendukung terhadap kebijakan tersebut, hal ini disebabkan bahwa sebenarnya inilah kekuatan madrasah itu sendiri, yakni kembali kepada mainstream awal, dimana madrasah sendiri itu muncul sebagai kekuatan rakyat tersendiri. Namun, dengan istilah “menang angin” seperti sekarang juga harus dijadikan landasan berpijak bagi institusi madrasah untuk terus berbenah dan melakukan re-orientasi terhadap tujuan, metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Sebab kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat dipastikan lembaga madrasah akan tertinggal. Dengan demikian, perlu dilakukan tinjauan kembali tentang posisi madrasah di dalam dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan kata lain madrasah sendiri harus merumuskan kembali posisinya atau reposisi madrasah. Apabila tidak demikian, madrasah akan kehilangan identitasnya dan menjadi seperti sekolah yang menjadi anak emas pemerintah selama ini .
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan madrasah sebagai bahasa penjelas dari reposisi madrasah itu sendiri. Pertama, madarasah harus mengakomodasi berbagai masukan dan kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan madrasah.
Kedua, madrasah hendaknya menajdi lembaga inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi keilmua di lembaga pendidikan ini. Madrasah hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta memebrikan kebebasan kepada para siswa untuk mendalami pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan pilihan minatnya.
Ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang responsive terhadap berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan efisien dalam proses pendidikan harus di kedepankan oleh madrasah .
E. Penutup
Disadari ataupun tidak, otonomi pendidikan memeberikan kesempatan luas terhadap lembaga pendidikan madrasah menuju kemandirian dan keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan kemasyarakatan. Tetapi semua itu menuntut tanggungjawab dari diri sendiri bersama seluruh masyrakat. Karena, tidak sepantasnyalah kita selalu meyalahkan birokrasi atau pemerintah sebagai penghambat kemajuan madrasah
Pemberlakukan otonomi pendidikan inipun yang seharusnya dijadikan madrasah untuk merekonstruksi mainstream awalnya. Juga dengan situasi seperti ini, seharusnya menggerakkan hati nurani para pengeola madrasah untuk terus membuka diri terhadap perubahan yang ada. Disertai dengan perbaikan-perbaikan dari segi tujuan, metode serta manajerialisasi yang selama ini dirasa menjadi titik lemah lembaga madrasah.
Daftar Pustaka
Abdu Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Proklamasi ke Reformasi, Kurnia Kalam, Yogyakarta 2005
Ali Riyadi, Politik Pendidikan; Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Ar-Ruzz, Yogyakarta 2006
Ainur Rafiq Dawam dan Ahmad Ta’rifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Listafariska Putra, Yogyakarta 2004
Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2006
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1975 jo. 037/U/1975 jo. No. 36 tahun 1975 tentang Penigkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999
Mastuki, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah Di Indonesia, Bagian Proyek EMIS Perguruan Agama Islam Tingkat Dasar Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta 2001
Muhaimin, Wacana Pengembangan Kependidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003
Sindhunata (Editor), Mengagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius, Yogyakarta 200.
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global). PSAP Muhammadiyah, Jakarta 2006
Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional tahun 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar