TEORI BELAJAR KONEKSIONISME MENURUT THORNDIKE
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapai tujuan pendidikan hanya bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh murid sebagai anak didik. [1]
Belajar itu berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Artinya dengan ilmu dan teknologi hasil kelompok belajar manusia tertindas itu juga dapat digunakan untuk membangun benteng pertahanan.
Iptek juga dapat dipakai untuk membuat senjata penangkis agresi sekelompok manusia tertentu yang mingkin bernafsu serakah atau mengalami gangguan Psycopaty yang berat watak merusak.
Sedangkan manfaat dari mempelajari teori belajar adalah dapat menimbulkan tingkah laku organisme dengan adanya hubungan antara Stimulus (rangsangan) dengan Respond an dapat memperkuat hubungan antara Stimulus dan Respon tersebut.
Salahsatu teori belajar adalah behaviorisme, karena sangat menekankan perilaku atau tingkah-laku yang dapat diamati. Teori ini dirintis Edward L. Trhorndike (1874-1949), yang lebih dikenal dengan teori koneksionisme. [2]
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun Behaviorisme. Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan.
Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh pengaruh dari Thorndike teori belajar Thorndike di sebut “Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian di hadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Berdasarkan hal itu, penulis ingin membahas teori dalam makalah ini, dengan harapan agar dapat dijadikan referensi dalam proses belajar dan demi kepentingan pengembangan wawasan para tenaga pendidik.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Ingin mendapatkan pemahaman proses belajar mengajar dan pengaruhnya dalam di lingkungan sekolah dan lain-lain
2. Untuk mendapatkan gambaran secara utuh tentang proses belajar mengajar yang baik
3. Pengaruh yang dihasilkan dari proser belajar mengajar
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Mengajarkan tentang prinsip-prinsip dan pengertian dasar teori belajar mengajar agar nantinya menjadi pembahasan menarik untuk dikembangkan
2. Memahami pengertian proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi tenaga pengajar dan anak didik
D. MANFAAT PEMBAHASAN
1. Diharapkan kepada para guru, proses belajar mengajar ini memberi satu masukan agar dijadikan referensi atau langkah-langkah perbaikan dalam mendorong kemajuan siswa
2. Bagi guru, diharapkan terjalinnya hubungan yang baik di antara siswa di kelas
3. Bagi guru juga diharapkan penelitian ini dijadikan bahan perbandingan untuk kepentingan pendidikan
BAB II
KAJIAN TEORITIK
Teori Koneksionisme (Thorndike)
Pengaruh pemikiran Thorndike dalam studi psikologi khususnya dalam psikologi belajar sangat besar. Hampir setengah abad teorinya menguasai ahli teori belajar lainnya. Hal ini ditunjukan dengan adanya ahli yang setuju maupun yang tak setuju terhadap pendapatnya atau teorinya.. Thorndike merupakan contoh dari seorang teoritis yang karyanya dipandang mendominasi psikologi dan pendidikan pada masanya.
Edward Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan kemudian Universitas Harvard telah membentuk ide-ide Thorndike mengenai psikologi.
Dalam melakukan eksperimennya, pilihan pertamanya mengadakan penyelidikan terhadap anak-anak (human learning) tetapi kemudian lingkungannya membuat ia mulai mempelajari binatang (animal learning) sebagai penggantinya. Percobaan pada binatang digunakan untuk membuktikan teorinya.
Berdasarkan pada serentetan studi mengenai ayam dan kucing Thorndike mengkonsepsikan aktivitas problem solving binatang dengan istilah asosianistis. Melalui murid muridnya dan sejumlah besar kertas kerja dan bukunya, Thorndike secara serentak memberi pcngaruh dasar pada penelitian psikolog belajar dan penerapan praktis di dalam psikologi pendidikan. Pengamatan terhadap cara kehidupan Thorndike memberikan beberapa pedoman tentang teori apa yang diharapkan dari padanya. Teorinya merupakan kumpulan prinsip baik prinsip mayor maupun minor, secara relatif. [3]
Thorndike tidak terikat kepada kerangka umum untuk menuntun penelitiannya atau untuk mengintegrasikan macam-macam prinsipnya. Di dalam uraian berikut akan terlihat beberapa hukum yang diperoleh dari penelitiannya. Maisng-masing hukum tcrsebut melibatkan studi yang sistematis.
I. Dasar Teori Thorndike
Jika dibandingkan dengan peralatan yang komplek dan perencanaan penelitian yang rumit sekarang ini, maka prosedur yang dilaksanakan Thorndike kelihatannya sangat bersahaja dan sederhana. Thorndike telah melakukan studinya melalui observasi sepintas dan laporan yang bersifat anekdot, sebagai dasar untuk menarik kesimpulan tentang belajar manusia dan binatang. Untuk masa itu pcrcobaan Thorndike telah direncanakan secara kreatif dan bijaksana.
Percobaan yang dilakukan terhadap ayam adalah sebagai berikut: Ayam ditempatkan pada sebuah kotak dengan jalan yang berliku-liku. Kotak itu mempunyai dua pintu keluar, yang satu ke arah kotak yang lain, yang tertutup dan yang satu lagi menuju tempat makanan.
Sedangkan percobaan pada kucing tugasnya lebih kompleks. Satu dinding kotak akan terbuka dan memberi jalan ke luar dan masuk ke tempat untuk mendapatkan makanan, bila satu tombol atau beberapa dinding itu didorong. Dengan percobaan yang dilakukan berkali-kali barulah ayam dan kucing itu mendapatkan makanan setelah menemukan jalan ke arah makanan tersebut. Asumsinya bahwa diperlukan waktu untuk melihat usaha kucing keluar dari kotak.
Thorndike ingin mengetahui apakah kegiatan semacam ilu dipengaruhi oleh ide ataukah karena seseorang mengetahui proses hubungan dengan cara membentuk hubungan antara salu situasi dengan kegiatan tertentu sebagai akibat dari hadiah semacam itu. Dia berpendapat bahwa usaha coba-coba yang berulang kali dilakukan mengakibatkan adanya hubungan antara corak dari situasi masalah dengan respon tertentu yang dibuatnya.
Data menunjukkan bahwa kucing tidak mempunyai pikiran (akal), hanya perlu teori bahwa sesuatu respon tertentu telah dipilih oleh anak kucing dalam situasi lain. Hubungan itu secara bertahap telah diperkuat antara respon dengan corak situasi tertentu.
Menurut pandangan Thorndike, respon-respon ini meliputi beberapa modifikasi melalui pengalaman sebelumnya, bersamaan dengan tindakan lain yang dapat dikenali sebagai bagian dari kecenderungan respon pembawaan organisme.
Misalnya mengenai situasi tentang seekor anak kucing di dalam satu kotak, kemungkinan responnya adalah mencakar, mendengkur/ mengeong, melompat dan seterusnya.
Situasi:
a. mencakar lantai
b. mendesis dan membongkok
c. tidur
d. lari di sekitar kotak
e. manipulasi palang
f. pintu dan membukanya
Hukum-hukum Utama (Mayor).
Berdasarkan penelitian disertasi doktornya, Thorndike menyimpulkan beberapa prinsip dan hukum-hukum yang dapat mengikhtisarkan proses belajar. Dia menyajikan hukum ini dalam beberapa buku yang ditulisnya. Namun secara periodik ia telah membuat perubahan-perubahan berdasarkan data dan interpretasi yang baru, dan berdasarkan kritik yang konstruktif. Thorndike menyebutkan tiga hukum utamanya itu dengan nama: Hukum latihan hukum pengaruh dan hukum kesiagaan. [4]
a. Hukum latihan.
Secara singkat hukum ini berpegang pada hal-hal yang sama dan belajar terjadi melalui latihan dari tindakan tertentu. Di dalam teori Thorndike yakni koneksionisme seseorang dapat menyatakan bahwa latihan dapat menguatkan ikatan atau hubungan. Thorndike kemudian memperkenalkan dua aspek lain, yakni hukum kegunaan dan hukum ketidak-gunaan.
(1) Hukum kegunaan ; Bila suatu hubungan dapat dibuat antara satu situasi dengan satu respon maka kekuatan hubungan dalam situasi yang memiliki pcrsamaan itu akan bertambah. Diakui oleh Thorndike bahwa besamya kekuatan hubungan dipengaruhi oleh bermacam hal seperti tenaga/kekuatan dan lamanya waktu dari masa latihan.
(2) Hukum ketidak-gunaan. Hukum ketidak-gunaan mengikuti hukum kegunaan yakni tanpa latihan suatu hubungan akan Iemah. Dengan perkataan lain suatu hubungan yang dapat diubah antara satu situasi dengan satu respon tidak terjadi dalam situasi yang sama, maka hubungan itu akan lemah. Dalam perkembangan selanjutnya Thorndike mengurangi peranan dari hukum latihan ini di dalam teorinya.
b. Hukum pengaruh.
Hukum pengaruh dapat dinyatakan bahwa bila hubungan antara situasi dengan satu respon dibuat dan disertai atau diikuti kejadian dalam keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan akan bertambah. Sebaliknya bila dibuat dan disertai atau diikuti oleh satu kejadian/keadaan yang menjengkelkan, maka kekuatan hubungan akan berkurang. Dalam kehidupan, manusia cenderung mengerjakan apa yang menyenangkan dan menolak apa yang tidak menyenangkan.
c. Hukum kesiapan.
Fungsi utama dari hukum kesiapan adalah mengikat pengamalan tentang tingkah laku kepada fisiologi. Usaha Thorndike untuk menghubungkan pengamatan tingkah laku kepada fisiologi tidak banyak didorong oleh kenyataan. Hubungan semacam ilu dapat dibuat, tapi hal itu terjadi akibat dari pengaruh teori William James dan yang lainnya pada awal abad 20, yang berpendapat bahwa hukum-hukum psikologi akan lebih dekat berhubungan dengan apa yang dikenal atau yang disetujui yaitu hubungan yang bersifat fisiologis. Yang jelas Thorndike memberikan fokus pada hubungan yang menjelaskan karakteristik yang bersifat fisiologikal.
Sesuatu tindakan yang memuaskan atau menjengkelkan dapat dengan tepat diramalkan sebagai karakteristik dari tingkah laku internal. [5]Oleh karena itu Thorndike berpendapat bahwa :
(1) Pengalaman yang memuaskan itu akan terjadi apabila satu unit pengantara siap menggerakkan respon.
(2) Pengalaman yang menjengkelkan akan terjadi apabila satu unit pengantara tidak menggerakan respon dan atau tidak siap dipaksa menggerakkan satu respon.
Jadi hukum kesiapan itu berhubungan dengan kesiapan yang temporer dari unit pengantara untuk menggerakkan syaraf dan pengaruhnya dalam menentukan apakah tindakan itu dialami sebagai yang memuaskan atau menjengkelkan.
3. Hukum-hukum Minor.
Sebaliknya dari fisiologis pada tingkah laku, ada beberapa aspek lain dari tingkah laku anak kucing yang kelihatannya begitu teratur menggambarkan karakteristik yang umum daripada belajar. Thorndike berminat terhadap karakteristik ini yang disebutnya sebagai hukum minor. Hukum minor terscbut adalah ; multiple respon atau reaksi yang berbeda-beda; set atau sikap, partial activity, assimilation atau analogy serta assosiative shifting.
Hukum multiple respons atau varied reaction.
Hukum ini menyebutkan bahwa dalam situasi yang baru pada umurnnya tindakkan subyek menunjukkan respon yang banyak atau reaksi yang bermacam-macam. Hal ini berarti bahwa dalam perbuatan belajar terdapat kemungkinan dari masing-masing respon yang dapat merupakan sesuatu yang dipelajari dan dapat mendatangkan kepuasan (bergantung pada kondisi yang berlaku), sehingga memungkinkan satu keseragaman dari hubungan dapai diperkuat di dalam situasi ini. [6]
Hukum set atau attitude.
Hukum set atau attitude berpendapat bahwa organisme akan melakukan aksi dalam satu situasi yang diberikan, sesuai dengan keadaan dan sikapnya untuk membuat respon tertentu.
Hukum partial activity.
Hukum ini mengatakan balnva bagian dari situasi itu mungkin mempunyai pengaruh yang kuat pada semua atau sebagian tingkah laku subyek, sehingga beberapa respon mungkin secara praktis terikat pada semua rangsangan yang tcrjadi pada situasi tcrsebut.
Hukum assimilation atau analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa bila organisme berhadapan dengan situasi yang baru, organisme itu akan beraksi sebagaimana ia bereaksi pada situasi lain yang pernah dihadapinya.
Hukum assosiative shifting.
Hukum ini mengatakan bahwa sesuatu respon yang dapat dilakukan dapat dipelajari dengan cara diasosiasikan dengan suatu situasi yang dihayatinya. Oleh karcna itu perubahan terjadi secara bertahap dan merespon secara spontan terhadap pengaruh rangsangan yang terdahulu dan kemudian ia membangun hubungan dengan masing-masing rangsangan yang baru disajikan.
Berdasarkan hukum-hukum di atas, Thorndike sampai kepada penyelidikan mengenai transfer dari latihan dalam perbuatan manusia. Menurut Thorndike apa yang dipelajari terdahulu akan mempengaruhi apa yang dipelajari kemudian. Apabila yang dipelajari kemudian banyak persamaan dengan hal yang telah dipelajari sebelumnya maka akan terjadi transfer yang positif sehingga hal baru akan mudah dipelajari. [7]
Bila terjadi sebaliknya yakni hal baru banyak berbeda dengan yang telah dipelajarinya, maka akan sulit untuk dipelajarinya. Di sini terjadi transfer yang negatif. Misalnya orang yang biasa menulis dengan tangan kanan akan sulit bila menulis dengan tangan kiri.
4. Belajar Pada Manusia (Human Learning).
Walaupun data utama yang diperolehnya dari percobaan dengan binatang, Thorndike tetap menaruh perhatian terhadap belajar manusia. Belajar pada manusia masih terdiri dari :
(a). Keterasingan dan kekuatan hubungan. Perbedaan mungkin terletak di dalam faktor-faktornya misalnya derajat spesifikasi yang lebih rendah dalam memberikan respon.
(b). Manusia dapat bereaksi terhadap isyarat yang keragamannya lebih luas di dalam satu situasi-sehingga-membuat belajar pada manusia lebih umum daripada binatang.
(c). Tingkah laku manusia masih merupakan kebiasaan tetapi tidak begitu didominasi oleh situasi latihan yang asli seperti terjadi pada binatang.
(d). Perbedaan manusia dan binatang dalam belajar bahwa satu situasi lebih berpartisipasi secara aktif di dalam belajar mengenai pemilihan semua elemen yang paling kritis dan penting. Perbedaan ini bagaimanapun tidak menggambarkan ketegasan dalam pertukaran dari binatang kepada manusia, tetapi menggambarkan perubahan dalam tekanan.
Thorndike sebenamya tidak banyak melakukan percobaan terhadap binatang, setelah ia menerima jabatan di Universitas Columbia, sebab subyek manusia lebih mudah didapatkan bagi mahaguru tersebut. Pikiran dasar tentang kekuatan hubungan dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena yang bermacam-macam. Topik-topik yang menurut pertimbangannya penting dan dapat dibicarakan dalam batas-batas terjadinya hubungan dapat digunakan untuk menguji aspek teorinya.
Penerapan Teori Pada Topik Khusus
Ada tiga topik yang dikaji oleh Thorndike dalam hubungannya dengan keterbatasan-keterbatasan koneksionisme sebagai teorinya :
a. Teori transfer.
Agak meragukan juga bahwa belajar pada suatu bidang dapat mempengaruhi belajar pada bidang yang lain. Seorang yang dapat mengetik dengan cepat akan dapat belajar main piano dengan cepat daripada yang tak pernah belajar mengetik yang keduanya mempunyai kesamaan kegiatan. Thorndike tclah mcndahului menulis makalah yang bcrsifat teori namun ide ini sudah agak pudar, walaupun masih dipakai dalam Teori pendidikan. Koncksionismc mencrangkan sccara luas tentang transfer fenomena tanpa menggunakan disiplin formal atau mental.
b. Pengaruh Penyebaran.
Pengaruh penyebaran (spread of effect) adalah nama yang di berikan Thorndike tentang fenomena yang ditemukan agak terlambat dalam usaha penelitiannya yang akhirnya dipergunakan untuk mengkoreksi teorinya agar lebih baik. Beberapa hukum yang dikoreksi adalah sebagai berikut:
(1) Hukum latihan ditinggalkan oleh karena dianggap tidak tepat. Pengulangan semata-mata tidak memperkuat hubungan stimulus-respon, demikian juga hukum ketidak-gunaan tidak melemahkan suatu hubungan stimulus- respon.
(2) Hukum pengaruh direvisi: hadiah mempengaruhi hubungan stimulus-respon, sedang hukuman tidak mempengaruhi hubungan.
Pengaruh penyebaran adalah suatu hadiah yang tidak saja memperkuat respon yang menimbulkan hadiah itu, tetapi juga memperkuat respons-respons lain yang berdekatan dengan respons tersebut.
c. Belajar Tanpa Sadar
Berdasarkan pengamatan dalam eksperimen-eksperimennya Thorndike berkesimpulan bahwa :
(1) Proses belajar adalah incremental (terjadi sedikit demi sedikit) bukan insightful (sekaligus).
(2) Proses belajar tidak menggunakan idea atau penalaran. Thorndike mengamati bahwa gerakan-gerakan binatang dalam kurungan adalah yang instingtive. Pada binatang tidak tampak tingkah laku berpikir, atau melihat situasi secara keseluruhan..
(3) Semua mamalia, termasuk manusia, belajar dengan cara yang sama, yaitu proses belajarnya mengikuti hukum-hukum yang sama.
BAB III KESIMPULAN
Belajar itu berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Artinya dengan ilmu dan teknologi hasil kelompok belajar manusia tertindas itu juga dapat digunakan untuk membangun benteng pertahanan.
Edward L. Trhorndike (1874-1949), yang lebih dikenal dengan teori koneksionisme bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan.
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Bagaimana mengajar dengan baik ?
Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan. Memberi tahu bukanlah mengajar. Mengajar yang baik adalah : tahu apa yang hendak diajarkan, artinya tahu materi apa yang akan diberikan, respons apa yang akan diharapkan, dan kapan harus memberi ”hadiah”, serta pentingnya tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Ilyas. Psikologi Pendidikan. Semarang : Toha Putra. 1996
Biography of Thorndike, Wikipedia 2009
Al Husna Zikra, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, 1986
Choirul Ihwan, Manajemen Pendidikan, Problematika dan Tantangannya, Santri PonPes UII, 2007
Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2005
Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri
Nasution, MN, 2000. Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Jakar
[1] Azhari, Ilyas. Psikologi Pendidikan. Semarang : Toha Putra. 1996, h 26
[2] Biography of Thorndike, Wikipedia 2009
[3] Al Husna Zikra, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, 1986 h 18
[4] Choirul Ihwan, Manajemen Pendidikan, Problematika dan Tantangannya, Santri PonPes UII, 2007, h 2-6
[5] Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2005, h 36
[6] Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, h 35.
[7] Hanafiah, M. Jusuf, dkk, 1994. Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri, h 10
0 komentar:
Posting Komentar