Jika Sekolah Tidak Memberikan Kepuasan Intelegensi Dan Kreatifitas Siswa
Manusia dengan segala usaha yang dilakukannya akan
mengharapkan sesuatu setelah pelaksanaannya. Harapan ini berpangkal dari suatu
keinginan atau kemauan untuk berprestasi sebagimana Mc. Clelland dalam Chauhan
yang dikutip oleh Effendi dkk[1] manusia berbeda dalam hal motif berprestasi.
Motif berprestasi disini merupakan pendorong manusia untuk berprestasi dalam
segala usaha yang dilaksanakan. Selanjutnya harapan tersebut akan berujung pada
suatu rasa kepuasan kerja didalam bathinnya. Harapan sendiri menurut Hamalik[2]
adalah keyakinan sementara bahwa suatu hasil akan diperolehnya setelah
dilakukannya suatu tindakan tertentu.
Kemudian
Mc. Clelland dalam Chauhan yang dikutip oleh Effendi dkk menambahkan bahwa sifat individu yang
bermotif tinggi adalah menyukai pekerjaan yang menuntut kemampuan dan usaha
sendiri, antisipasi yang baik terhadap aktivitas yang akan dilakukan dan selalu
ingin mengetahui hasil dari usaha yang dilakukan. Dari pendapat mereka
diketahui bahwa motivasi tinggi terhadap suatu usaha memiliki tiga inti yakni
suka, antisipasi dan hasil kerja[3].
Siswa
juga demikian dalam usahanya yakni belajar sebagaimana M.Arifin menyatakan
bahwa belajar adalah sebuah kegiatan anak didik dalam menerima, menanggapi serta
menganalisa bahan-bahan pelajaran yang disajikan oleh guru yang berakhir pada
kemampuan anak menguasai bahan pelajaran yang disajikan. Dengan kata lain
belajar adalah suatu rangkaian proses kegiatan response yang terjadi dalam
suatu tingkah laku baik jasmaniah maupun rohaniah akibat pengalaman atau
pengetahuan yang
diperoleh.[4].
Ia dituntut dengan motivasi tinggi agar mendapatkan hasil yang maksimal
sehingga akan memberikan kepuasan dalam batinnya kelak. Kepuasan belajar akan
kelihatan jika kenyataan yang dihadapi lebih besar daripada keinginan yang
diharapkan. Begitu juga sebaliknya ketidakpuasan dalam belajar akan kelihatan
jika kenyataan yang dialami lebih kecil daripada keinginan yang diharapkan.
Sedangkan usaha yang harus dilakukan
oleh siswa dalam belajar menurut Sudirman N adalah perubahan perilaku yang
dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian tentang
pengetahuan, sikap dan nilai serta ketrampilan.[5]
Lebih jelas Burhan Nurgiyantoro menambahkan dengan belajar adalah usaha memperoleh
dan mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan atau belajar adalah usaha
mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman.[6].
Kepuasan
belajar bagi siswa akan terlihat jika ia merasakan ada hubungan antara
kebutuhan belajar dengan dirinya sehingga nantinya akan timbul rasa kepuasan
dalam dirinya. Hal ini sebagaimana Ahmad Rohan dan Abu Ahmadi mengatakan bahwa seseorang individu akan
terdorong melakukan sesuatu bila merasakan ada hubungan. Kebutuhan itu
menimbulkan ketidakseimbangan, rasa ketegangan yang menuntut kepuasan supaya
kembali kepada keseimbangan (balancing).
Dissatisfaction in on essential element
in motivation.[7] Kepuasan ini akan terlihat pada prestasi
belajar yang menurut Wirawan adalah hasil yang dicapai seseorang dalam usaha
belajarnya yang dinyatakan dengan nilai angka atau nilai kategoris. Prestasi
ini selanjutnya dipandang sebagai kemampuan yang sungguh-sungguh dapat diamati
(actual ability) dan dapat diukur
langsung dengan menggunakan alat ukur atau tes tertentu.[8]
Ada
beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan bekerja dalam hal ini berkaitan dengan
kerja seorang siswa yakni belajar yang dikutip oleh Effendi dkk menurut
Vincke adalah intelegensi, keterampilan,
pengalaman, masa kerja dan motivasi[9].
Kemudian Ghisseli dan Broen menambahkan
dengan pengalaman kerja dan jenis kelamin. Yoder juga menambahkan dengan
keahlian, pengalaman, umur, pendidikan dan latihan, karakter fisik,
intelegensi, inisiatif, bakat, stabilitas emosi, sikap terhadap pekerjaan serta
kepribadian[10] .
Dari
beberapa pendapat di atas menyatakan bahwa kepuasan bekerja dipengaruhi oleh
banyak faktor. Akan tetapi pada penelitian ini akan dibahas tentang kepuasan
belajar dimana merupakan kerja seorang siswa yang dipengaruhi oleh dua faktor
saja yakni sikap dan intelegensinya tentang belajar.
[1] Sofian Effendi, Syafri Salim dan M. Alwi Dahlan (Penyunting), Membangun
Martabat Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan (Yogyakarta:
Gadjah Mada Press, 1993), hal: 520.
[2] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal: 109.
[3] Sofian Effendi dkk, Membangun, hal: 521.
[4] M. Arifin, Hubungan Timbal Balik
Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), hal: 172.
[5] Sudirman N, Ilmu Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal: 99.
[6] Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: BPFE,1990), hal: 58.
[7] Ahmad Rohan dan Abu Ahmadi , Pengelolaan
Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,1991), hal: 12.
[8] Wirawan, ”Faktor-Faktor yang Bertalian dengan Perbedaan Antara Prestasi Kemampuan
Diri Pelajar di Yogyakarta”, dalam Jurnal
Psikologi, vol I, tahun 6, (Yoyakarta: UGM, 1976), hal: 24.
[9] Sofian Effendi dkk, Membangun, hal: 521.
[10] Sofian Effendi dkk, Membangun, hal: 521.
0 komentar:
Posting Komentar