RSBI Sudah Salah Kaprah masih di jalankan.
Internasionalisasi pendidikan di Indonesia dengan menggalakkan sekolah berbasis internasional ( SBI ) bertujuan memperkuat daya saing bangsa di dunia internasional dinilai salah kaprah. Pendidikan semestinya dititikberatkan pada tujuan kepentingan bangsa, yakni mempertahankan dan mengembangkan jati diri bangsa serta kemandirian bangsa.
Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam diskusi soal Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi yang dilaksanakan oleh Komisi X DPR di Jakarta.
Internasionalisasi pendidikan yang diwujudkan antara lain dalam bentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), misalnya, justru menguntungkan pihak asing. Hal ini disebabkan sekolah di Indonesia harus membeli kurikulum berikut buku-buku asing. Bahkan, guru asing pun didatangkan dengan fasilitas dan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan guru Indonesia. Sehingga pemerintah tutup mata ketika penyelenggara pendidikan merendahkan martabat guru dan bangsa kita sendiri. Pendidikan mestinya mendorong anak memiliki rasa bangga kepada bangsanya sendiri. Namun, kenyataannya, pendidikan yang dianggap unggul adalah yang bangga pada sistem pendidikan negara lain serta merasa ”minder” pada kemampuan bangsa sendiri.
Diskriminasi sosial
Lebih parah lagi, internasionalisasi pendidikan menimbulkan diskriminasi sosial karena hanya anak keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan ”internasional”. Kalaupun diberikan kuota 20 persen untuk siswa miskin, hanyalah untuk pencitraan bahwa pemerintah memperhatikan keluarga miskin. Pemerintah tidak merasakan bagaimana perasaan anak-anak miskin di tengah mayoritas keluarga kaya yang fasilitas serta lingkungan sosialnya jauh berbeda.
Bagi sekolah yang menyelenggarakan kelas reguler dan kelas internasional pun kondisinya tetap saja menimbulkan diskriminasi. Hal ini disebabkan fasilitas di kelas internasional dilengkapi penyejuk ruangan (AC), meja dan kursi bagus, proyektor untuk pengajaran, dan sebagainya. Adapun di kelas reguler, fasilitas seadanya.
Kita sudah melihat RSBI bermasalah, kini Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi pun tetap saja memiliki roh UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Internasionalisasi pendidikan hanya akan membuka peluang komersialisasi pendidikan. Hal ini membuka pintu bagi pemilik modal asing untuk memasarkan jasanya di bidang pendidikan ke Indonesia. Padahal, pendidikan semestinya harus bebas dari intervensi asing.
Demikian salah satu pokok persoalan yang mengemuka dalam diskusi soal Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi yang dilaksanakan oleh Komisi X DPR di Jakarta.
Internasionalisasi pendidikan yang diwujudkan antara lain dalam bentuk rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), misalnya, justru menguntungkan pihak asing. Hal ini disebabkan sekolah di Indonesia harus membeli kurikulum berikut buku-buku asing. Bahkan, guru asing pun didatangkan dengan fasilitas dan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan guru Indonesia. Sehingga pemerintah tutup mata ketika penyelenggara pendidikan merendahkan martabat guru dan bangsa kita sendiri. Pendidikan mestinya mendorong anak memiliki rasa bangga kepada bangsanya sendiri. Namun, kenyataannya, pendidikan yang dianggap unggul adalah yang bangga pada sistem pendidikan negara lain serta merasa ”minder” pada kemampuan bangsa sendiri.
Diskriminasi sosial
Lebih parah lagi, internasionalisasi pendidikan menimbulkan diskriminasi sosial karena hanya anak keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan ”internasional”. Kalaupun diberikan kuota 20 persen untuk siswa miskin, hanyalah untuk pencitraan bahwa pemerintah memperhatikan keluarga miskin. Pemerintah tidak merasakan bagaimana perasaan anak-anak miskin di tengah mayoritas keluarga kaya yang fasilitas serta lingkungan sosialnya jauh berbeda.
Bagi sekolah yang menyelenggarakan kelas reguler dan kelas internasional pun kondisinya tetap saja menimbulkan diskriminasi. Hal ini disebabkan fasilitas di kelas internasional dilengkapi penyejuk ruangan (AC), meja dan kursi bagus, proyektor untuk pengajaran, dan sebagainya. Adapun di kelas reguler, fasilitas seadanya.
Kita sudah melihat RSBI bermasalah, kini Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi pun tetap saja memiliki roh UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Internasionalisasi pendidikan hanya akan membuka peluang komersialisasi pendidikan. Hal ini membuka pintu bagi pemilik modal asing untuk memasarkan jasanya di bidang pendidikan ke Indonesia. Padahal, pendidikan semestinya harus bebas dari intervensi asing.
0 komentar:
Posting Komentar