VIVAnews - Banyaknya guru yang bukan lulusan sarjana pendidikan dipermasalahkan. Tujuh orang mahasiswa dari kampus berlatar belakang pendidikan menggugat Undang-undang tentang Guru dan Dosen ke Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Sholeh mengatakan, Pasal 9 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah memberi ruang kepada sarjana non pendidikan untuk menjadi guru.
"Hal ini telah menimbulkan diskriminasi pada sarjana yang berlatar belakang kependidikan," ujarnya dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Jumat, 5 Oktober 2012.
Pasal 9 menyebutkan; "Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat."
Sedangkan dalam Pasal 8 menyebutkan; "Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional."
Pemohon menilai pasal ini multitafsir karena tidak menyebutkan secara rinci sarjana dari disiplin ilmu kependidikan. Sehingga menimbulkan kebijakan diskriminatif karena ada penafsiran yang berbeda oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan.
"Tidak ada kejelasan harus sarjana pendidikan, sehingga memunculkan tafsir yang membolehkan sarjana non kependidikan menjadi guru," kata Sholeh.
Oleh karena itu, pemohon meminta Mahkamah memberikan tafsir terhadap pasal yang dimaksud. "Kami minta ada tafsir dari Mahkamah yang menyatakan calon guru harus memiliki latar belakang sarjana kependidikan," ungkapnya.
Terkait permohonan tersebut, hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan agar pemohon lebih menekankan permohonan pada aspek normatif. Karena menurutnya, uraian pemohon lebih banyak mengungkapkan tindakan ketidakadilan konkret.
"Paparan ketidakadilan normatif malah tidak dijelaskan. Seharusnya permohonan ini mengangkat permasalahan pada ranah normatif saja, bukan pada ranah konkret," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar