Beberapa pakar pendidikan menilai, berbagai ingar-bingar ujian nasional (UN) yang mencuat belakangan ini bersumbu pada sistem UN yang tidak tepat. Digunakannya UN sebagai barometer penentu kelulusan dinilai tidak tepat karena akan memicu upaya kecurangan demi mencapai kelulusan.
"Akar masalahnya di situ, kalau UN dipakai sebagai alat pemetaan, saya pikir takkan ada masalah. Tetapi, jika dipakai sebagai alat kelulusan, maka semua orang akan mengejar itu. Lagi pula dananya terlalu besar, lebih baik untuk yang lain," ujar Dekan Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Johannes AA Rumeser saat ditemui Rabu di Kemanggisan, Jakarta Barat.
Pria yang akrab disapa Jo ini lebih jauh menjelaskan, UN akan lebih baik jika hanya digunakan untuk pemetaan. Pasalnya, pemetaan akan sangat berguna sebagai upaya monitoring pemerataan pendidikan. "Karena pemetaan hanya digunakan sebatas evaluasi. Ketika UN digunakan untuk menentukan suatu kelulusan, maka memicu orang untuk melakukan kecurangan," tandasnya.
Ditemui sore hari sebelumnya, Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat menegaskan, UN merupakan bentuk evaluasi pendidikan yang kontradiktif.
Menurut dia, UN hanya mendidik anak serta orangtuanya untuk berorientasi pada hasil. "Mereka hanya korban. Jika ada pelaku (kecurangan), maka pelaku sekaligus korban, korban dari sistem yang tragis," ujarnya.
Pakar pendidikan lainnya, Utomo Dananjaya, memandang, kasus ini adalah refleksi penegakan kebenaran dalam masyarakat yang telah bobrok. Menurut Utomo, UN hanya menghasilkan manusia-manusia yang permisif terhadap kecurangan. "Benahi dulu UN-nya," tegasnya singkat.
Sumber: http://edukasi.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar