PENDIDIKAN AKHLAK DAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF
PEMIKIRAN IBN MISKAWAYH DAN AL-GHAZALI
1. Pendahuluan
Ketika membicarakan kualitas kehidupan manusia,
terutama kehidupan kolektifnya, akhlak dan karakter merupakan dua hal yang
sangat penting; bahkan para ilmuan yang melakukan kajian dalam bidang filsafat
antropologi pada setiap zaman memandang akhlak dan karakter sebagai indikator
utama kualitas kehidupan manusia baik secara individual maupun secara kolektif.
Akhlak secara sederhana dapat diartikan
sebagai standar perilaku dan karakter secara sederhana dapat diartikan sebagai
watak atau tabiat yang dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan pandangan hidup
seseorang atau kelompok masyarakat. Akhlak sebagai standar prilaku juga
dilandasi oleh nilai-nilai yang dianut, dipedomani dan diyakini oleh manusia,
baik secara individual maupun secara kolektif. Akhlak dan karakter dibangun di
atas landasan nilai dan keyakinan manusia.[1]
Manusia memang adalah makhluk multi dimensi; secara
sederhana dalam penampilan lahiriah (struktur fisik), manusia sama dengan
hewan; untuk hidup memerlukan nutrisi, dalam bentuk makanan, minuman, dan
tempat tinggal. Akan tetapi, kebutuhan hidup manusia tidak terbatas sampai di
situ; manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan intelektualnya, pemenuhan
kebutuhan moral dan akhlaknya, dan pembentukan karakternya. Membahas kualitas
hidup manusia tidak cukup dilakukan dari segi kebutuhan struktur fisiknya saja,
tetapi harus juga dilakukan dari segi intelektual, moral dan karakternya; bahkan
unsur yang paling membedakan manusia dari segala makhluk ciptaan Tuhan, lainnya
adalah intelektual, moral dan karakternya. Itulah sebabnya, para ilmuan
pengkaji manusia terdahulu mendefinisikan manusia sebagai “hayawan nathiq”,
yaitu hewan yang berfikir dan berbudaya.
Pada era 1970an, para ilmuan Muslim Indonesia, melalui
Prof. Mukti Ali, mengembangkan konsep membangun manusia seutuhnya, sebagai
kontribusi IAIN (para ilmuan Muslim Indonesia) terhadap kebijakan pembangunan
nasional Indonesia, tetapi sayangnya konsep itu tampaknya tidak berjalan sesuai
dengan yang dikehendaki karena sarat dengan pengaruh dan intervensi kehidupan
politik waktu itu. Pada dasarnya konsep membangun manusia Indonesia seutuhnya
adalah membangun manusia dengan segala dimensi dan potensinya, fisiknya,
intelektualnya, akhlak dan karakternya, dan juga agamanya. Pembangunan akhlak
dan karakter sangat erat kaitannya dengan agama.
Sejak dari awal kemerdekaan, perbincangan tentang
akhlak dan karakter ini sudah muncul.
Para pendiri negara ini sudah mulai membicarakannya secara serius.
Pidato-pidato Bung Karno tentang character building (pembangunan
karakter) bangsa dan pandangan hidup bangsa (world-view) atau istilah
yang sering digunakan beliau “weltanschauung” membuktikan hal itu. Para
pendiri bangsa ini yakin seyakin-yakinnya bahwa membangun manusia Indonesia tidak
cukup dengan membangun dan memenuhi kebutuhan fisik dan materialnya. Pemenuhan
kebutuhan fisik dan material manusia tidak cukup untuk membuat manusia hidup
manusiawi; bahkan kalau hanya memenuhi kebutuhan fisik dan material itu dapat
membuat mereka makin tidak manusiawi, serakah, arogan, asosial, dan amoral.
Makalah ini mencoba mengangkat konsep pendidikan
akhlak dan karakter dari sudut pandang dua ilmuan Muslim masa lampau, Ibn
Miskawaiyh (930-1030 ) dan al-Ghazali (1058-1111), dengan harapan bahwa
pandangan mereka dapat menjadi bahan renungan dan rujukan bagi kita dalam
rangka membangun pendidikan akhlak dan karakter. Keduanya mempunyai perhatian
yang khusus terhadap akhlak dan karakter.
Di antara tokoh nasional kita yang juga mempunyai perhatian khusus
terhadap pembangunan etik dan karakter ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994);
pemikirannya sedikit banyak akan ditampilkan sebagai pembanding untuk
memudahkan memahami arti penting pembangunan akhlak dan karakter bagi bangsa
dan masyarakat kita.
2. Akhlak dan Karakter
Akhlak berasal dari bahasa Arab al-khuluq yang
berarti prilaku[2]. Menurut
istilah, akhlak diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu
keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Berarti
akhlak berkaitan dengan pertimbangan nilai baik dan buruk (values) dan
secara sadar dilakukan oleh pelaku. Pertimbangan nilai (baik dan buruk) inilah
yang diyakini oleh pelaku sebagai standar prilaku, yang menjadi ukuran
penilaian atas prilakunya. Karena pada prinsipnya standar prilaku itu
menyangkut penilaian masyarakat secara kolektif. Dalam perspektif Islam ruang
lingkupnya meliputi ruang waktu kehidupan manusia secara total, dari dunia
sampai akhirat, maka sumber standar pertimbangan nilai itu tidak cukup nalar
manusia meskipun secara kolektif, harus berasal dari Tuhan yang menciptakan
manusia dan totalitas kehidupannya. Itulah sebabnya, akhlak dalam Islam harus
bersumber dari sumber-sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Jika ingin makalah ini silahkan menghubungi kami,
[1]
Ada beberapa istilah yang berkaitan erat dan sering digunakan menunjukkan
entitas yang sama, yaitu, akhlak, karakter, kepribadian, watak, dan tempramen. Kepribadian
adalah keseluruhan cara di mana seorang individu
bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain.[1]
Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat
yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang (Wikipedia). Character: all
the qualities and features that make a person, groups of people, and places
different from others. Trait : a
particular quality in your personality. Personality : the various aspects of a
person’s character that combine to make them different from from other people.
Temperament : a person or an animal’s nature as shown in the way they behave or
react to situasion or people. A S
Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dectionary, Sixth Edition, Oxford : Oxford University Press, 2003, pp.
208, 982, 1391, 1436.
[2]
Kamal al-Yazijy, Al-Nushush al-Falsafiyah al-Muyassarah 3th ed.,
Bayrout : Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1963, h. 159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar