Pages

Selasa, 03 Juni 2014

Momok dibalik keutamaan Kurikulum 2013

Aturan serta regulasi pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai rencana besar merekayasa penciptaan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi penerus bangsa di masa depan. Rencana tersebut semakin meyakinkan khalayak umum bahwa pomeo “ganti menteri ganti kurikulum” mendekati benar adanya. Ditengah banyaknya protes dan riuh-riuh ketidaksetujuan yang muncul dari kalangan praktisi, akademisi dan pemerhati pendidikan, ternyata arus mendesakkan kurikulum belum ada nama 2013 untuk diterapkan sangat kuat. Sungguh ironis memang, jika pendidikan merupakan kunci keberhasilan pembangunan manusia Republik Indonesia seutuhnya harus didesakkan sedemikian rupa tanpa adanya “rembug bareng” yang melibatkan semua komponen pendukung pendidikan dalam men-desaign kurikulum. Jika begitu adanya, upaya membangun sumber daya manusia yang mampu bersaing di tingkat internasioal sama saja dengan “menjaring angin”.
Sungguh indah kiranya jika para penentu Aturan serta regulasi kurikulum di republik ini untuk sedikit saja melirik ke belakang, mengamati-mempelajarai-dan melakukan refleksi terhadap perjalanan kurikulum di Republik Indonesia sepanjang masa. Pernyataan founding fathers bangsa tercinta Ir. Soekarno dengan kata JAS MERAH (Jangan sekali-sekali Melupakan Sejarah) patut menjadi pijakan bagaimana pentingnya melihat sejarah pencapaian kurikulum masa lampau untuk melakukan perbaikan pada kurikulum yang akan dilaksanakan sekarang untuk pencapaian masa depan. Setidaknya, langkah ini diperlukan agar hasil akhir dari implementasi kurikulum 2013 nantinya sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Republik Indonesia dan mampu bersaing pada era yang jauh lebih modern di masa depan.
Kemiskinan di Republik Indonesia yang mencapai 60 % dari jumlah 240 juta penduduk bukanlah justifikasi yang tepat dalam menganalisis perlunya perubahan kurikulum. Fenomena sosial yang menjadi tontonan menarik setiap detik layaknya sebuah sinetron yang “menghibur hati” seperti; artis terjerat Narkoba, pemerkosaan remaja, tawuran pelajar, pernikahan dini, dan masih banyak yang lainnya inilah “ancaman dan tantangan” dunia pendidikan. Segitiga emas yang terdiri dari Sekolah- Lingkungan masyarakat-dan Keluarga bermetafosis menjadi lingkaran setan yang sulit sinergis dalam peningkatan mutu pendidikan. Ketika siswi dirumah dibiarkan memakai pakaian super minim dan seksi, masyarakat juga tidak memberikan “teguran/sanksi moral” maka tentu saja tidak in line dengan pendidikan di sekolah. Sementara itu, pembelajaran dikelas yang cenderung konvensional tentu saja kalah dengan hiburan televisi yang menyampaikan pesan bertentangan dengan norma/perAturan serta regulasi sekolah dan masyarakat. Jadi, bukan kurikulum yang gagal dalam menciptakan pendidikan yang luar biasa bagi siswa, tapi kurangnya sistem kontrol dan pengawasan pihak-pihak terkait terhadap setiap pengaruh luar dengan kemasan menarik yang datang.
Ironisnya, segala bentuk permasalahan sosial tersebut diambillah kesimpulan yang kurang tepat bahwa “kambing hitam” dari masalah tersebut adalah penyalahgunaan Tekhnologi Informasi (TI). Sehingga, yang menarik dan menghentak publik bahwa di dalam kurikulum 2013 pelajaran IT dihapuskan.  Bagi penulis, sampai detik ini belum ada alasan yang super sangat rasional terkait penghapusan mata pelajaran IT tersebut. Era globalisasi yang syarat dengan kompetisi disegala bidang kehidupan harus mendapatkan antisipasi super jitu dari bangsa tercinta ini, terlebih lagi bagi ouput pendidikan. Salah satu senjata ampuh antisipasi era tersebut adalah IT dan bahasa inggris. Harus diakui, bahwa IT merupakan media efektif memamerkan dan memasarkan semua karya anak bangsa, media untuk melakukan akses semua ilmu pengetahuan yang terbebas dari ruang dan waktu yang sangat memperkaya khasanah keilmuwan siswa, IT adalah media komunikasi yang memperpendek jarak tempuh dan nilai positif lainnya. Pertanyaannya, kenapa pelajaran IT harus dihapuskan???
Penghapusan mata pelajaran IT adalah mimpi buruk yang menunggu bom waktu untuk meledak di masa yang akan datang. Bagaimana tidak, pada jamannya nanti ketika era globalisasi yang memaksa manusia sangat tergantung IT, bangsa-bangsa lain sumber daya manusianya sudah sangat mampu dan terampil tapi bangsa Republik Indonesia harus rela tetap menjadi obyek pasar/ “tanah jajahan” yang nikmat bagi bangsa lain. Disamping itu, penghapusan mata pelajaran IT akan menimbulkan kesenjangan sosial yang panjang dalam masyarakat. Orang tua yang sangat peduli pendidikan dan mempunyai uang lebih akan memberikan kesempatan anaknya belajar IT diluar jam sekolah, tentu saja hal ini tidak akan dilakukan dengan orang tua yang latar pendidikannya rendah dan kurang beruntung secara ekonomi.
Perkembangan tekhnologi informasi yang begitu pesat di republik tercinta ini seakan tidak seiring sejalan dengan peningkatan kualitas kompetensi pembelajaran IT untuk menyongsong era digital yang sudah semakin menjamur. Sungguh sangat ironis memang jika era globalisasi yang tidak bisa ditolak kehadirannya tanpa dukungan sumber daya manusia yang mampu menjadi operator tangguh. Semuanya harus sirna hanya dengan kesimpulan yang terkesan over generalism bahwa IT membawa dampak buruk bagi masyarakat dengan mengambil contoh-contoh negatif dan mengubur contoh-contoh positif. Perilaku menyimpang dalam pemanfaatan IT sebenarnya sangat mudah bagi negara untuk menerapkan Aturan serta regulasi sistem kontrol terhadap pemblokiran situs-situs yang tidak sehat seperti yang telah dilakukan Kementrian Informasi dan Komunikasi.
Potensi kesenjangan sosial dari lulusan satuan pendidikan juga akan terlihat dari kemampuan bahasa inggris sebagai bahasa internasional yang memungkinkan setiap manusia Republik Indonesia untuk menempuh ilmu diluar negeri. Siswa dengan latar belakang kemampuan ekonomi dan pengetahuan orang tua yang tinggi akan memberikan ilmu tambahan bahasa inggris melalui les privat, namun hal ini tidak terjadi pada siswa dengan latar belakang sebaliknya.
Implementasi kurikulum 2013 juga membawa prahara dan dilema bagi guru/ pendidik kelas di tingkat SD dan guru/ pendidik mata pelajaran ditingkat pendidikan menengah SMP/SMA/SMK. Pengurangan mata pelajaran dan jumlah jam pelajaran merangsang rasa paranoid para guru/ pendidik terhadap nasib sertifikasinya yang menuntut jumlah jam mengajar minimal 24 jam. Selanjutnya, bagaimanakah nasib guru/ pendidik yang mengajajar mata pelajaran yang “terhapus” dari kurikulum 2013???.    
Persoalan lain terkait kurikulum tanpa nama 2013 ini juga terlihat dari distribusi terpusat terkait pengadaan buku-buku penunjang siswa, guru/ pendidik, dan silabus yang menjadi pegangan wajib guru/ pendidik. Pertanyaannya, apakah pendistribusian tersebut tidak akan memunculkan potensi korupsi yang luas dan terkesan “legal” dalam dunia pendidikan?. Jika semua pegangan tersebut bersifat wajib dan dibebankan kepada siswa/guru/ pendidik/satuan pendidikan, bukankah hal tersebut sangat memberatkan lembaga pendidikan?. Apapun yang terjadi nanti, semoga pendidikan bernafaskan kapitalisme tidak terjadi lagi dalam pendidikan di republik ini.
Harus disadari bahwa pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat, setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Sehingga, alangkah lebih indah dan cerdasnya jika kurikulum tanpa nama 2013 dipikirkan secara jitu demi peningkatan kualitas SDM bangsa Republik Indonesia sebelum diimplementasikan.
Kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014 menebar kegelisahan bagi guru/ pendidik yang kritis. Beda halnya dengan guru/ pendidik yang manggut-manggut tidak peduli dengan kebijakan bersikap masa bodoh, yang penting kesekolah siswa bisa atau tidak yang penting gaji jalan dengan dalih tugas kita hanya mengajar bukan menentukan kebijakan. Akhirnya guru/ pendidik dikungkung Kurikulum : Dilema kurikulum 2013
Pak Mentri Pendidikan M Nuh ( dalam acara Mata Najwa: Metro TV ), menganggap bahwa permasalahan pendidikan adalah karena kurikulum sebelumnya masih banyak kekurangan sehingga perlu penyempurnaan. Sehingga untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan menerapkan Kurikulum 2013 hasil rancangan Kemendikbud yang sudah dilakukan uji publik. Padahal menurut Ibu Welyn : materi uji publik yang dilakukan kementrian berubah-ubah dan hanya dalam bentuk power point saja tidak dipublikasikan draf secara menyeluruh.
Pak Yohanes Surya ini lebih terpukul lagi dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 ini dikarenakan mata pelajaran keahliannya di hapuskan dan di integrasikan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Walaupun sudah dilakukan pengintegrasian materi IPA dengan Bahasa Indonesia tetap saja telah menghilangkan 70% materi IPA sesungguhnya.
Ketika Kurikulum 2013 ini dikatakan oleh Kemendikbud sudah direncanakan pada tahun 2010 yang lalu jadi bukan Kurikulum yang kejar tayang, Ibu Welyn hanya ingin tahu dimana draf perbaikan kurikulum tersebut, walaupun sudah berkunjung di Puskur website resmi mereka tetap tidak ada pencerahan.
Ibu Retno Listyarti dari FSGI berpendapat bahwa Pemerintah terlalu cepat untuk menerapkan kurikulum 2013 yang belum teruji kelayakannya. Dengan dalih akan ada Master Teacher yang akan menularkan kurikulum ini kepada seluruh guru/ pendidik di Indonesia Kemendikbud tetap akan memberlakukan Kurikulum 2013 tahun ajaran baru 2013/2014. Retno Listyarti ( dalam acara Mata Najwa: Metro TV ) menyatakan Pemerintah tidak menganggarkan dana untuk pelatihan guru/ pendidik hal ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari DPR. Hanya menyiapkan buku-buku pelajaran yang siap pakai tanpa ada pelatihan materi terlebih dahulu. Ada guru/ pendidik SD sampai dia pensiun tidak pernah mengikuti pelatihan katanya. Sebaik apapun kurikulum itu apabila guru/ pendidik tidak mendapatkan pelatihan maka kualitas pendidikan tidak akan membaik. Guru/ pendidik di China mendapatkan pelatihan minimal 100 jam per tahun untuk mengembangkan pengetahuannya bandingkan dengan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar